Aku Perempuan, Bukan Objek

#OpiniJMPS

Aku Perempuan, Bukan Objek
*



“Mbak, badannya bagus!” “Hei, sayang.. sendirian aja?” “Hei, cantik...” semua perempuan pasti pernah mendengar kalimat-kalimat tersebut dilontarkan oleh seseorang yang tidak di kenal di jalanan, di gang, maupun di angkutam umum. Kalimat tersebut terdengar sangat lazim dan normal, tetapi jika kita ulas sedikit lebih dalam, kalimat-kalimat tersebut bisa menjadi salah satu contoh pelecehan seksual secara verbal.


Pelecehan seksual dibagi menjadi tiga bentuk yakni pelecehan seksual berbentuk verbal, pelecehan seksual nonverbal, dan pelecehan seksual secara fisik. Contoh dari pelecehan seksual berbentuk verbal adalah ada pada kalimat pertama pada paragraf ini. Pelecehan seksual verbal ini sering dianggap lazim dan lumrah di kalangan masyarakat Indonesia khususnya, yang saat ini masih menganggap pendidikan mengenai seksualitas adalah hal tabu. Banyak sekali perempuan, bahkan saya sendiri, pernah mengalami pelecehan seksual verbal tetapi kita tak tahu harus berbuat apa karena kita berpikir bahwa hal tersebut hanyalah candaan atau humor pelaku. Bentuk pelecehan seksual kedua adalah bentuk pelecehan nonverbal yaitu memperlihatkan alat kelamin, melakukan gerakan-gerakan tak senonoh, menggesekan alat vital kepada seseorang, dan lain-lain. Lalu bentuk pelecehan seksual ketiga adalah bentuk pelecehan seksual fisik. Biasanya masyarakat telah mengetahui bahwa pelecehan seksual bentuk ini adalah pelecehan seksual yang genting dan harus diadili meskipun masih banyak dari korban yang memilih bungkam karena ketakutan dan pandangan masyarakat mengenai dirinya. Contoh dari bentuk pelecehan ini adalah pemerkosaan, meraba-raba tubuh seseorang yang tidak mengizinkan dan menginginkannya.

Isu gender memang masih dianggap tabu di Indonesia. Masyarakat seperti menutup mata akan hak perempuan dan kesetaraan perempuan apalagi mengenai seksualitas. Nyatanya, Indonesia saat ini darurat kejahatan seksual yang artinya banyak sekali kasus mengenai pelecehan seksual tetapi dibarengi dengan hukum yang tidak setimpal. Jika kita melihat kembali tentang kebiasaan dan kebudayaan di Indonesia, maka kita takkan terkejut jika Indonesia saat ini masih sangat tabu terhadap isu gender ini. Budaya patriarki yang kental dan menganggap bahwa perempuan itu adalah makhluk yang tidak setara dengan laki-laki dan bahwa perempuan hanyalah sebagai “milik” dan “objek seksual” masyarakat. Sehingga setiap langkah dan gerak perempuan seperti dipasung dan hak atas tubuh dan jiwanya pun dikontrol oleh masyarakat. Dalam kondisi ini, perempuan sulit keluar dari posisi yang rentan akan pelecehan seksual yang dilakukan individu maupun kelompok serta sulit untuk terbebas dari siklus kekerasan yang terjadi tersebut. Tak hanya di jalanan saja, ternyata pelecehan seksual pun kerap terjadi di lingkungan pendidikan maupun di rumah tangga. Dalam ranah pendidikan, contohnya banyak sekali guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap muridnya. Dan kasus ini tak hanya terjadi satu atau dua kali tetapi lebih dari itu. Lalu jika pendidikan saja sudah ternodai dengan kasus seperti itu, maka apa yang akan memutus tali rantai dan siklus kekerasan seksual ini?

Banyak kekerasan dalam rumah tangga yang kerap terjadi, tetapi korban biasanya tak berani untuk menyuarakan kesakitannya karena ia merupakan “milik” suami. “Milik” berarti bisa diperlakukan bagaimana pun oleh pemilik, dan “milik” hanya bisa mengikuti perintah si pemilik tadi. Banyak sekali kasus kekerasan seksual di dalam rumah tangga yang merugikan pihak perempuan, tetapi perempuan di sini lagi-lagi dibatasi oleh pikiran bahwa perempuan hanyalah subordinat dari laki-laki. Padahal perempuan pada keadaan apapun selalu memiliki pilihan dan memiliki hak untuk menyuarakan isi hatinya karena setiap orang sejatinya memiliki hak asasi manusia sejak lahir tanpa terkecuali.

Tak akan puas rasanya jika kita membahas mengenai pelecehan seksual hanya dari sisi perspektif korban saja. Banyak yang beranggapan bahwa pelecehan seksual terjadi karena kesalahan korbannya sendiri. Banyak pula yang menyalahkan pakaian korban yang katanya memprovokasi pikiran-pikiran kotor pelaku untuk melakukan hal yang tak senonoh dan amoral. Padahal dalam kasus pemerkosaan, yang salah adalah seseorang yang melakukan tindak pemerkosaan bukan seseorang yang memakai pakaian tertentu. Sebetulnya, banyak sekali perempuan yang secara umum dianggap sudah tertutup yaitu memakai kerudung panjang (syar’i) sesuai ketentuan Islam tetapi masih menerima tindakan-tindakan amoral terhadap dirinya. Bahkan sejak saya duduk di bangku SD yang notabene dianggap sebagai “anak kecil” yang belum waktunya di-seksualitas-kan, saya kerap mengalami pelecehan seksual. Lalu apa yang salah dari semua ini? Kita sebagai perempuan atau bahkan laki-laki pun yang mengalami pelecehan seksual, harus melakukan apa? Apakah setiap mengalami pelecehan seksual kita harus melaporkannya kepada polisi? Tetapi apakah polisi akan memproses kasus yang masyarakat dianggap lazim ini? Lalu apakah masyarakat akan mendukung korban, tanpa bertanya pada saat itu korban menggunakan pakaian apa, ditemani siapa dan apakah korban menikmatinya juga?

Untuk membahas isu ini memang sepertinya kompleks dan problematik. Tetapi kita tak perlu menguasai teori-teori gender, feminisme atau hak asasi manusia untuk mengerti akan isu ini. Kita hanya perlu menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia dan mengerti akan privasi dan hak seseorang. Hal terkecil yang bisa seseorang lakukan untuk menghentikan rantai kekerasan seksual ini adalah dengan berhenti bungkam. Menjadi korban dari pelecehan seksual biasanya mengalami perasaan menyalahkan diri sendiri karena masyarakat berpikir bahwa pakaian korbanlah yang salah. Dan biasanya masyarakat melakukan penghakiman-penghakiman lainnya yang membuat nyali korban ciut. Tetapi bukan itu, bungkam adalah hal yang salah dari korban. Jika “suara” korban lantang, maka dunia akan mendengar. Jika suara saja tak cukup, maka pendidikan mengenai seksualitas harus dipahami oleh masyarakat Indonesia. Jika membahas gender, masyarakat Indonesia seperti takut dan bersembunyi dari fakta yang ada bahwa masalah dan isu-isu ini adalah genting dan harus ditindak lanjuti. Bahwa hak asasi manusia adalah kepemilikan semua orang, tanpa memandang ras, etnis, kebangsaan, agama dan gender. Semua orang berhak atas otoritas tubuhnya dan jika seseorang melanggar otoritas akan tubuhnya tadi, maka orang tersebut telah menyalahi hak seseorang atas tubuhnya. Semua orang berhak mengklaim kemerdekaan atas tubuhnya.

Sistem patriarki ini takkan pernah berhenti. Perempuan dipandang sebagai objek seksual pun takkan berhenti sampai perempuan sendiri yang menyuarakan haknya dan kemerdekaan atas dirinya. Patriarki sudah mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Merubah tatanan patriarki yang telah mengakar selama ratusan tahun di Indonesia, rasanya sangat sulit. Pendidikan adalah salah satunya jalan keluar yang bisa mengeluarkan Indonesia, khususnya perempuan Indonesia untuk keluar dari belenggu patriarki. Selanjutnya, tidak hanya ditanggulangi dengan pemberhentian budaya bungkam tetapi pelaku sendiri harus menyadari bahwa korban bukanlah objek seksual, bukan boneka seksual yang bisa disentuh, diraba begitu saja tanpa izin dari korban. Kita semua harus mengerti akan hak asasi, hak yang diberikan Tuhan kepada semua manusia tanpa terkecuali. Menghargai, menghormati dan menjadi sopan terhadap orang lain tanpa melecehkan adalah bukan merupakan hal yang sulit. Semua bisa dilakukan dengan rasa kemanusiaan dan penghargaan atas martabat seseorang yang tinggi.

Memperingati Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret kemarin. Masyarakat Indonesia, khususnya yang berdomisili di Ibu Kota Jakarta, melakukan gerakan “Women’s March” dengan bermacam-macam tuntutan yang notabene semua tuntutan ini mengarah pada tuntutan untuk dikembalikannya hak asasi manusia dan mereka mengajak masyarakat untuk lebih peka dan peduli terhadap isu perempuan dan kemanusiaan.

Ternyata banyak sekali masyarakat yang mulai sadar akan hak asasi manusia atau pun hak perempuan  khususnya. Semoga dengan Women’s March yang dilakukan di Jakarta kemarin bisa menyadarkan masyarakat Indonesia bahwa Indonesia dalam kondisi yang sangat buruk dalam penegakan hak asasi manusia dan hak perempuan.

“Ternyata dari masa ke masa kemajuan perempuan itu merupakan faktor penting dalam usaha memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk Bumiputra tidak akan maju secara pesat bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan sebagai pendukung peradaban.” – R. A Kartini


Selamat Hari Kartini!

*) Oleh : Tiara Aulia Putri
(Mahasiswi Pendidikan Sosiologi UPI, 2016)

#JMPSASIK
#OPINIJMPS
#HMPSDekatBermanfaat