KISAH MUDIK UDIN
(design&written by: samroyani, penulis pecinta kopi hitam)
Tahun ini sama saja,
Udin baru dapat cuti 5 hari sebelum lebaran. Itu perihal cuti, namun perihal
pulang ke kampung halaman terasa berbeda, mudik tahun ini dia tahu di rumah tak
akan lagi bertemu bapaknya. Dikubur, itu saja yang Udin ingat tentang bapaknya
akhir-akhir ini setelah setengah tahun lalu bapaknya meninggal. Malas rasanya
dia pulang kampung, sadar betul bahwa di rumah masa kecilnya dulu sekarang
hanya tinggal ada Bang Asep, kakaknya Udin, beserta istri dan ketiga anaknya.
Tahun-tahun
sebelumnya momentum mudik selalu menyenangkan, walaupun hanya ada bapak. Ibunya
Udin sudah meninggal juga, kejadiannya saat Udin pertama kali membuka mata dan melihat dunia.
Ibunya meninggal saat melahirkan Udin. Yang Udin ketahui tentang ibunya hanyalah
wajah cantik dengan tahi lalat di pipi dari foto usang yang disimpan bapaknya. Perihal
kepribadian yang Udin ketahui tentang ibunya hanyalah cerita dari bapaknya yang
mengatakan bahwa beliau wanita yang baik dan pandai bernyanyi, selebihnya Udin
nyaris tak tahu.
Yang Udin kenal
dengan baik adalah bapaknya, sosok tak sempurna memang bila dilihat dari segi
fisik, bapaknya hanya punya satu tangan. Sudah cacat dari lahir. Namun dari
segi sifat bapaknya itu sangat sempurna di mata Udin, beliau pekerja keras,
jujur, disiplin, dan juga penyayang tentunya. Yang paling Udin suka dari bapaknya adalah kesetiaan,
beliau tidak pernah dekat dengan wanita lain setelah ibunya meninggal, apalagi menikah. Bagi
Pak Ujang, ayahnya Udin, hanya ada satu wanita dalam hidupnya yaitu istrinya
yang telah memberikan 2 orang putra yang sangat dicintainya.
Nostalgia memang
tak ada ujungnya seperti melihat ke angkasa, hanya langit dan langit yang Udin temukan.
Mengingat kenangan bersama bapaknya memang menyenangkan, namun dia sadar tidak
bisa berlama-lama karena jam sudah menunjukan pukul 6 pagi, satu jam menjelang
keberangkatan kereta. Setelah barang siap dan oleh-oleh untuk ketiga
keponakannya dia masukan kedalam tas besar di punggungnya dia langsung
berangkat ke stasiun bersama Mas Amir, ojeg langganannya.
Sampai di
stasiun Udin tak mau berlama-lama, langsung masuk kereta dan mencari nomor
kursinya. Dia simpan barang bawaan dan kemudian duduk manis sedikit meregangkan
punggung yang sudah terasa pegal karena beban tasnya. Tak perlu menunggu lama
beberapa menit kemudian Udin kembali menutup mata. Saat terbangun dari tidurnya
Udin tak menyangka sudah pulas selama 4 jam lebih, sudah hampir sampai tempat
tujuannya.
Setengah sadar
Udin melihat ke samping, ternyata ada seorang wanita cantik yang sedari tadi
mungkin duduk bersebalahan dengannya. Dengan wajah kusam khas orang baru bangun
tidur dia tanpa sadar langsung melemparkan senyum manis tanda sapa untuk wanita
itu, tak mengira ternyata wanita itu juga balik membalas senyumnya. Untuk Udin yang masih
lajang senyuman seperti itu memeliki sejuta makna, terlebih yang tersenyum
adalah wanita secantik itu. Dalam hati ingin dia menyapa, menanyakan nama, namun
entah turunan dari mana Udin selalu saja jadi pengecut bila berhadapan dengan
wanita.
Akhirnya momen
itupun terlepas dari genggamannya. Wanita itupun pergi seiringan dengan kereta
yang juga berhenti di stasiun tempat Udin juga tuju. Penuh sesal memang, namun sudahlah Udin pikir, "belum jodoh".
Ketika kakinya melangkah
keluar dari kereta, susana berbeda terasa. Suasana nyaman yang menyadarkan
bahka kini dia berada di kampung halaman. Tak lama menikmati suasana itu
langsung ada seorang pria yang menepuk bahunya, "Ojeg mas? Mari saya antar
ada diskon lebaran" ujar pria itu dengan senyum penuh iklan pemasaran
jasanya. Ya sudahlah Udin rasa, daripada belama-lama, sumpek juga kalau harus
diam di kawasan stasiun.
30 menit saja
dia lalui bersama si tukang ojek menelusiri jalanan yang masih dia ingat setiap
sudut-sudutnya. Tak sadar sudah sampai di tujuan, di depan rumah sederhana
tempat dia dulu lahir dan dibesarkan.
Tanpa harus
mengetuk pintu, ternyata di depan halaman rumah sudah ada si kembar Nina dan
Nani, keponakan tercinta yang beberapa hari kebelakang hampir setiap sore dan
malam menelpon meminta paman tercinta mereka itu untuk pulang dan membawa
hadiah karena tahun ini mereka tamat puasa.
"Ooooommm
Udin, mamah, bapak, kakak, ini om udah datang!" teriak Nina yang kemudian
menyusul Nani berlari memeluk Udin.
Lelah di
perjalanan hilang rasanya melihat senyum mereka, Udin bicara dalam hati
"aku pulang pak..."
Tak lama Mirna,
istri Bang Asep keluar dan segera menyapa Udin. Setelah itu disusul Rido, keponakan
tertuanya yang datang mendorong kursi roda orang yang paling malas dia temui
hari itu, Bang Asep. Rido pun langsung menghampiri dan mencium tangan pamannya
itu, namun Bang Asep terlihat masih ragu untuk menyapa adiknya.
Dengan penuh keraguan
Asep mencoba untuk menyapa, "Alhamdulilah sudah datang dek, apa kabar?" ujar Asep,
namun Udin sama sekali tak menggubrisnya dan tetap bercengkrama dengan ketiga
ponakannya. Asep sangat mengerti akan hal itu, dia tahu Udin masih marah atas
kejadian sebelumnya.
Melihat itu
Mirna langsung coba menenangkan suaminya, mengusap bahu, mengharapkan
keikhlasan atas prilaku Udin saat itu. Kemudian Udin pun masuk ke rumahnya,
tidak duduk di ruang tamu, dia langsung berjalan ke ruang keluarga membaringkan
badannya diatas karpet depan TV dan melanjutkan berbincang dengan para ponakannya,
sementara itu Mirna mendorong kursi roda tempat suaminya enam bulan terakhir ini lumpuh, semenjak
kejadian naas itu Asep kehilangan kedua kakinya dari lutut kebawah.
Iya, kejadian itu, hari
ketika bapak meninggal. Kecelakaan yang terjadi hari itu telah merubah banyak
hal dalam keluarga kecil Udin.
6 bulan yang
lalu, hujan deras, sore hari di waktu dan tempat yang kurang beruntung motor yang dikendarai Asep yang
sedang memboncang bapaknya itu mengalami sebuah kecelakaan. Ban motor tua itu
selip dan terjatuh di tengah jalan, sialnya tepat di belakang mereka ada sebuah
truk yang juga sedang melaju kencang. Sang supir tak sempat menginjak rem hingga
akhirnya melindas Asep dan bapaknya yang terjatuh di depan mobil besarnya. Kaki
Asep terlidas dan lepas detik itu juga, namun bapaknya lebih parah, badannya
remuk digilas ban mobil yang 'kagok' itu. Kejadian itulah yang merubah sikap Udin
terhadap kakaknya, baginya Aseplah penyebab kematian bapak, dia telah
'membunuh' orang tuanya sendiri. Kurang lebih seperti itulah dalam benak Udin.
Semenjak
kejadian itu, sudah setengah tahun lamanya Udin tak pernah lagi mengucapkan
sepatah kata pun pada kakaknya. Saat ini pun sama. Kalau bukan karena rindu
pada tiga ponakannya dia tak sudi melihat wajah kakaknya lagi.
Siang itu Udin
sempat bertanya pada Mirna masalah keuangan keluarga, mengingat saat ini Bang Asep cacat
dan berhenti dari pekerjaannya sebagai supir ambulance.
"Gausah
khawatir dek, kebutuhan keluarga bisa terpenuhi dari penghasilan toko
peninggalan bapak..." ujar kakak iparnya itu menenangkan Udin.
Meskipun masih
marah dan kecewa pada kakaknya, Udin tetap memedulikan anak dan istri Bang
Asep, terbukti setiap bulan dia mengirimkan setengah dari gajinya pada Mirna. Meskipun
sudah dilarang oleh Mirna namun tetap Udin melakukannya.
Beberapa hari berlalu,
Udin di kampung halaman sangat menikmati cuti kerjanya. Sesekali dia pergi
jalan-jalan dengan ponakannya, kadang berkunjunh ke teman masa kecilnya, dan
beberapa kali dia mengunjungi toko bapaknya di pasar.
Khusus setiap sore
menjelang
adzan maghrib dia habiskan di makam ibu dan bapaknya, berdoa atau sekedar
membersihkan makam kedua orang paling berharga dalam hidupnya itu dari rumput-rumput
liar. Di rumah tentu dia habiskan dengan bercengkrama dengan ponakannya, namun
sikapnya terhadap Bang Asep masih sama, membisu seperti batu.
Malam takbiran
pun tiba, esok adalah hari pertama bagi Udin lebaran tanpa Bapaknya. Rido sudah
pergi bersama temannya untuk bertugas memukul bedug di masid dan Mirna bersama
kedua gadis kembarnya sibuk di dapur menyiapkan hidangan untuk hari raya. Untuk
Udin dia hanya ingin berdiam saja di halaman rumah menikmati kopi hitam dan
rokoknya.
Saat itu tanpa
Udin sadari ternyata Bang Asep menghampirinya. "Gak ikut takbiran sama
Rido dek?" tanya Asep pada adiknya yang terlihat sedikit terkejut namun
tetap berpura-pura tuli tak menggubrisnya.
"Masih
ngerokok aja dek? Jaga kesehatan kamu, rokok itu gak baik buat badanmu," mendengar itu Udin
terlihat sedikit kesal namun tetap menahan rapat mulutnya.
Selama beberapa
menit mereka terdiam, membisu, Bang Asep tentu saja bingung harus bagaimana lagi agar
adiknya itu mau menggubrisnya. Akhirnya Asep berinisiatif, memberanikan diri, mengangkat
topik pembicaraan yang selama ini ragu dia ungkapkan pada Udin.
"Dek, abang
tahu kamu
marah, kecewa. Abang gak nyalahin kamu soal itu, abang ikhlas. Ini emang salah
abang. Sedikit banyaknya emang bapak meninggal gara-gara abang, tapi kami harus tahu abang gak bisa berbuat
apa-apa. Ini sudah takdir Allah –“
Belum selesai Asep bicara Udin langsung naik darah
mendengar perkataan abangnya itu. Rokok dia matikan, gelas kopinya dia banting, dan kemudian
tangannya langsung mencengkram keras kerah baju Asep. Kemudian setelah sekian lama
akhirnya Udin angkat bicara pada Asep.
"Abang
salah! Ini semua salah abang! Jangan bawa-bawa Allah, coba aja kalau abang mikir waktu itu
lagi ujan, atau kalau aja abang cek dulu motor butut abang itu pasti kejadiannya gabakal
kaya gini!
Anjing kaya abang yang udah ngebunuh bapak sendiri gak berhak bawa-bawa nama Tuhan!
Kenapa harus bapak bang? Kenapa?!"
Setelah itu Udin pun menangis tersedu-sedu, menangis sekencang-kencangnya,
meluapkan seluruh emosi yang selama ini terpendam.
"Aku rindu
bapak bang..." ujar Udin dalam tangisnya yang kemudian disusul dengan
pelukan Asep yang terus mengucapkan kata "maaf" lagi dan lagi. Tanpa
disadari ternyata adegan itu juga ditonton Mirna dan si kembar dari depan pintu
rumah. Mereka pun ikut menangis.
"Semua itu pemintaan bapak
dek..." ujar Mirna.
"Maksud mbak apa?"
tanya udin yang kebingungan menanggapi pernyataan tiba-tiba dari mirna itu.
"Hari itu kamu ingat kan
nelpon bapak? Kamu bilang udah seminggu gak masuk kerja karena sakit. Di
kosanmu gak ada orang yang bisa kamu minta anter ke dokter karena kosanmu itu sepi kan? Hari itu bapak
langsung panik, meskipun sudah kami larang karena sedang hujan lebat bapak tetap
memaksa mas Asep untuk diantar ke stasiun membeli tiket ke tempatmu. Bapak
kecelakaan sepulang membeli tiket sore itu dek..."
Mendengar itu, bagai dunia terbalik, Udin makin
terluka mengetahui penyebab semua ini sebenarnya adalah dia sendiri. Tangisnya
semakin menjadi, "Abang kenapa gak cerita? Maaf bang maafin adekmu yang goblok
ini..."
"Abang khawatir menambah
beban pikiranmu dek, abang yang harusnya minta maaf".
Malam itu pun
dihabiskan dengan kata "maaf" dan air mata. Sesal menyelimuti kedua
saudara itu yang sebenarnya memang saling menyayangi sedari dulu. Orang bilang
tak baik menyeasali dan menangisi kematian, namun yang harus disadari adalah
sebenarnya yang mereka sesali bukanlah kematian itu sendiri, namun sesal
terhadap perbuatan sebelum dan setelah kematian itu terjadi. Tak ada yang salah
dari kematian, yang sering salah adalah sikap kita terhadap kematian. Penyesalan
dan maaf adalah hal baik, obat yang tepat untuk memerbaiki penyesalan itu...
Hari baru pun
dimulai, hari raya. Lebaran yang berbeda tanpa kehadiran bapaknya, namun Udin
dan kakaknya juga
mendapatkan hal baru, pembelajaran tentang betapa berartinya sikap saling terbuka
dan saling menerima dalam keluarga.
Suasana hari
raya merubah segalanya, mudik kali ini telah mengubah kehidupan Udin. Keluarga
kecil itu kembali menemukan bahagia. Di penghujung hari tamu tak terduga datang
ke rumah mereka, mengejutkan, khususnya untuk Udin. Keluarga sopir truk yang terlibat
dalam kecelakaan itu datang, bersilaturahmi, barbagi rasa dan duka yang sama
mereka sesali selama ini. Yang paling mengejutkan adalah anak perempuan dari
supir itu, Aisyah namanya, yang ternyata adalah wanita cantik yang beberapa
hari yang lalu duduk di samping Udin saat dalam kereta.
Akhirnya mereka pun
berkenalan, berbagi cerita mengobrol di halaman depan rumah sementara kakaknya berbincang dengan
keluarga Aisyah di dalam rumah. Cocok, hanya itu kata yang tepat dari Udin untuk
menggambarkan Aisyah dan Udin pun entah kenapa merasa yakin bahwa Aisyah pun
merasakan hal yang sama.
"Dek masuk
sini, bawa Aisyah sekalian," pinta Asep pada adiknya.
Kemudian mereka
berdua pun masuk kedalam rumah, "ada apa bang?" tanya Udin.
"Kamu
bakalan nikah dek.”
"Sama siapa bang? Jangan
ngaco ah!"
"Ya sama Aisyah."
Terkejut Udin mendengar itu. Badannya menggigil,
kaki dan bayangannya
tak henti bergetar. Saat dia tengok kearah keluarga Aisyah, mereka kompak tersenyum dan kompak
menganggukan kepala, begitu juga Aisyah dengan senyum manisnya tersipu dihadapan Udin.
Tak ada kata lain yang keluar dari mulu udin selain,
"Alhamdulilah..."
Sungguh, mudik
tahun ini sangat luar biasa bagi Udin.
Oleh: Samsul R. (Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2016, dan Anggota JMPS 2017/2018)