Santap Karya: Mahasiswa Dalam Tiga Strata



Seorang teman memposting sebuah gambar dukungan untuk sepasang calon presiden mahasiswa REMA UPI (Republik Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia). Entah apa motif sesungguhnya apakah hanya bermaksud untuk menggerek elektabilitas satu pasangan calon atau justru hanya berdramaturgi ingin terlihat ikut terlibat dalam sebuah perayaan demokrasi di kalangan mahasiswa tersebut, dianggap aktivis organisasi dan motif latensi lainnya. Terlepas dari semua itu waktu pemilihan umum (Pemilu) yang semakin dekat menyebabkan kehidupan kampus sedikit agak ramai dengan baliho yang dipasang disetiap sudut universitas, sticker calon pasangan, propaganda dan sebuah keniscayaan yang selalu terjadi dalam sebuah pemilu, mahasiswa terkotak-kotak berdasarkan suara dan setiap golongan semakin menunjukan konsolidasi yang semakin kuat.
            Senada dengan hal di atas, pertanyaan serupa pernah saya tanyakan di sela-sela obrolan hangat jam makan siang bersama teman-teman “Rek milih nomor baraha euy?” Pertanyaan tersebut seperti menggantung dan tidak pernah punya daya tarik bagi orang lain untuk menjawab “Kurang tau lah, nu pasti mah teu ngaruh nanaon wa”. Miris memang dan sedikit kecewa mendengar jawaban yang kurang diharapkan. 
Belum menghilangkan rasa penasaran saya, saya pun bertanya kembali kepada kalangan mahasiswa yang aktif organisasi dan ikut terlibat dalam berbagai macam gerakan. Jawabannya sedikit berbeda dan memberikan sedikit marwah demokrasi di kalangan mahasiswa. “Pilih anu emang nyata ga, sikapna emang pemimpin, rencana na terarah jeng rekam jejak na oge kudu alus. Pilih tah anu kitu” Saya kira jawaban yang cukup bijaksana dan menunjukan kualitas seorang mahasiswa. Tapi sayangnya jawaban seperti ini kadang menunjukan diri seseorang tersebut tidak berada dalam pusaran arus utama kepentingan pemilu kali ini. Termasuk saya temui jawaban yang lumrah dikatakan “Pilih nomor iyeu weh ga”, “Jelas nomor eta lah”. Meskipun demikian motif dukungan yang dilandaskan pada rasio kita untuk mencerna setiap visi misi yang dipaparkan calon presiden kadang juga luluh lantah saat hal tersebut dikaitkan dengan asal usul identitas pasangan calon sehingga membuat pemilih mengubah haluan pilihannya menjadi pilihan yang teramat sangat subjektif.
            Dari berbagai jawaban yang saya temukan di atas. Memaksa saya untuk membuat sebuah asumsi dasar mengenai partisipasi politik dikalangan mahasiswa. Dalam sebuah setting akademik saya kira akan berbanding lurus dengan gerakan partisipasi politik yang cukup menggairahkan. Akan tetapi justru tidak selalu demikian. Budaya politik kampus juga diwarnai dengan strata tertentu atau tingkatan tertentu.
Golongan pertama adalah kaum partisipan yaitu kalangan mahasiswa yang melek akan isu kampus dan menggunakan pemahaman mereka juga untuk menyadarkan mahasiswa yang lainnya untuk ikut serta dalam sebuah gerakan politik dan berpartisipasi dalam pemilihan umum. Golongan ini cenderung ekslusif dan jumlahnya terbatas dan kadang mereka mempunyai status kader tertentu. Mereka dapat menolak sebuah isu berdasarkan persepsi yang mereka punya sehingga penilaian mereka akan sangat objektif.
            Kedua adalah kaum Kaula, yaitu mahasiswa yang cenderung pasif untuk mengetahui isu kampus dan menggunakan hak politiknya untuk terlibat dalam sebuah pemilihan. Mereka mempunyai tingkat pemahaman yang mumpuni mengenai isu kampus namun belum tercerahkan untuk turut berpartisipasi aktif dalam sebuah dialog isu tersebut dan menggunakan hak suara mereka.
Ketiga adalah kaum Parokial, yaitu mahasiswa yang sama sekali tidak tahu dalam ketidaktahuannya. Tidak ada gairah untuk terbuka dalam sebuah diskusi megenai isu kampus dan sama sekali tidak peduli dengan apa yang akan terjadi dalam kampus serta tidak tergerak untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan. Tidak sedikit berbagai tulisan yang saya temukan dalam beranda utama sebuah portal berita mengungkap berbagai kegelisahan yang ditujukan para senior mahasiswa jaman dulu untuk mahasiswa jaman now ini dan cenderung mendiskreditkan golongan mahasiswa ini.
Menjadi penting tidak penting membedakan mahasiswa berdasar pada beberapa golongan, hal yang lebih esensial dari pembagian ini justru bukan sebatas menaruh pemahaman bagi penjelasan tersebut. Akan tetapi sudah seharusnya setiap pemilihan yang dilakukan khususnya dalam skala universitas juga turut memberikan dampak nyata sebagai sebuah perubahan yang menjanjikan bagi seluruh kalangan.
            Bagaimanapun juga sebuah pemilu akan melahirkan pemimpin baru, konstelasi baru, regulasi baru dan semangat baru yang bisa berarah pada sebuah gerakan perubahan yang nyata dan bermanfaat atau justru sebaliknya hanya proses politik yang sarat akan kepentingan. Terlepas dari semua itu, hari ini dan kedepannya, tanggung jawab mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) akan dibebankan pada hasil pemilihan umum yang akan dilaksanakan pada 27 November mendatang. Pasangan nomor urut 1 Tyas – Fikri dan pasangan nomor urut 2 Fauzan – Junai harus mampu mengakomodasi berbagai aspirasi yang beragam dari berbagai kalangan. Tidak hanya harus mewakili satu golongan saja, akan tetapi seluruh kalangan harus merasakan kebermanfaatan dari suara yang mereka berikan pada pemilihan umum. Terbukalah, berpartisipasilah, suara kita bersama mengantarkan perubahan.
 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh: Ega Perkasa, Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2017-2018 dan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2015.