SANTAP KARYA: Katamu, rindu.




Dini hari, sepatah ucapmu yang dulu selalu kau lantunkan begitu saja terngiang, menggoreskan sedikit luka tapi tetap meninggalkan senyuman di garis bibirku. Dulu aku begitu kalut dalam mencintaimu, begitu hilang dalam ke-egoisan untuk tidak bersamamu demi merehatkan perasaanku yang sudah tak lagi ber-asa, begitu tenang mengabaikan daun yang jatuhnya tidak lagi ke tanah melainkan ke aliran sungai yang hentinya tidak pernah bisa ditebak.
Entah ia memilih untuk berhenti atau tetap mengalir hingga hilang dan terlupakan. Lalu aku lupa akan satu hal bahwa, mengabaikan perihal mencintaimu adalah hal yang tidak pernah bisa kutarik ketiadaannya. Sesekali ku ucap rindu walau hanya semilir angin yang menjadi jawabnya, sesekali ku cari engkau dalam bayangan ribuan manusia dan sekali lagi hanya hembusan nafas yang menjawabnya dengan alunan waktu yang sudah ditetapkan.
Aku,
Mengingat rindu yang pernah kau ucap dengan penuh ketulusan daun yang tidak pernah membenci angin ketika ia diharuskan untuk jatuh ke bumi. Aku mengingat lantunan lagu yang kau putar untuk sekedar menenangkan aku kala badai datang tanpa sedikitpun memberi kabar. Aku jua merindumu dengan segala kesederhanaan rasa yang ku miliki hingga saat ini.
Tapi waktu sudah berjalan menyusuri hari tanpa berhenti, kau lupa pada siapa dulu kau merindu, sengaja mengumpati rasa kagum mu pada aku yang dulu selalu kau rindu saat malam tiba dengan segala kemanisannya yang bersifat sementara. Kau membual tentang apa yang seharusnya kau ucap hari ini.
Katamu,
Adalah rindu yang selalu kau ucap ketika kau temui aku tiada untuk beberapa saat, atau saja ketika kau tidak melihatku, atau jua ketika kau ingat betapa polosnya aku meredam segala amarahku dan menangis kecil padamu memohon untuk tidak meninggalkanku. Tapi sekali lagi kusadari itu hanyalah bagian dari kisah lalu yang tidak pernah ikut berjalan bersama aku yang telah mengikat janji pada waktu untuk terus berjalan tanpa menengok atau membawamu bersebelahan denganku.
Katamu, rindu.
Terimakasih.