Wabah dan Aksara Parau
Oleh : Sansa Bunga Agista
Pasal Satu: Bumi yang Basah dan Lapar akan Harapan.
Hujan tetap mengguyur, mentari tetap menyirami, basah bumi ini. Dua kosong dua satu, tidak hanya dari sisa hujan bulan Juni, perasaan lembap masih meyelimuti tiap sudut negeri.
Mereka,
Para buruh, pengagguran, pekerja menengah bawah menjerit pasrah, resah, marah.
Tuhan ataupun Tuan dan Puan, katanya.
Wabah alkemis ini, sampai kapan..
Kami kelaparan, hilang pekerjaan, tak ada pangan, lembaran kertas dan logam berwarna sirna.
Lalu apalagi yang tiada. Harapan, Tuan..
Kita, kataku.
Pikiran boleh kacau. Tapi nurani tak boleh padam, apalagi mati. Estesia, manusia tak boleh buta, apalagi pura-pura. Memberi sesuap nasi, sepeser rezeki apalagi setumpuk daging sapi tak menjadikan kita rugi.
Pasal Dua: Sirene Duka dan Cincin Kematian
Menghitung. Dua, tiga, empat ambulan lalu lalang. Sirene menjelma bising tangisan, ratapan, merepresentasikan duka, membentuk lingkaran hitam, pertanda mata telah dipinang oleh kematian.
Siapa bilang kita makhluk amerta, tidak hanya tentang dua kosong dua satu. Setelah melalui realita tanpa bumbu ekspektasi atau mengarungi rongga halusinasi pun, kita semua akan menjelma menjadi kunarpa, itu pasti.
Wabah ini membombardir hingga biokimia lupa resep keseimbangan, manusia merupa memoar pada pusara nisan yang dibumikan bak rentetan mobil yang terparkir dijalan.
Tapi manusia adalah wujud kemanusiaan, kawan. Mengingatkan resep menjaga kesehatan atau berbagi resep membuat sop bernutrisi pada platform media yang katanya tak bertepi juga teramat sangat berarti.
Pasal Tiga: Psikis yang Terkikis dan Tahun Kepalsuan.
Dua kosong dua satu. Sebusur senyum yang maya, mencipta macam ruang retrobulbar yang nyata tapi tak terbuka, realita rancu, empati dan keprihatinan semu.
Ucap kata tak hanya melumat raga, tapi juga membakar, membumi hanguskan jiwa-jiwa yang merana. Tiang dasar penyangga mental remuk, ambruk tanpa bentuk. Tersaruk, terlempar, tenggelam hilang dalam sukma yang bersemayam di angkasa.
Deretan doktrin berbagai versi dan kebohongan menyerbu akal dan nurani tanpa tahu diri, membelenggu, memberinya warna, kelabu. Lagi-lagi, ambruk tak berbentuk.
Menjadi apatis, sama sekali tak manis. Memupuk harmoni, estesia dan cinta kemudian menyemainya tampak lebih romantis.
Manusia memang mesti manis dan romantis dalam membantu jiwa-jiwa yang mengalami patah atau luka di sayapnya, agar kelak bisa terbang membuana bersama ribuan kalpataru baru dan nekara cinta paling purba.
Pasal Empat: Adendum dan Stanza Tambahan.
Pola matra dirangkai sedemikian rupa, supaya aksara pada pasal satu hingga tiga tidak hanya menjadi wacana yang sirna lalu purna begitu saja.
Tambahan dan penegasan bagi manusia, bagi akal dan nurani yang terpatri dalam jiwanya.
Patuhi titah pada setiap pasal, layaknya kau mematuhi titah raja sebagai seorang penggawa.
Tanpa keluh, tanpa kesal, tanpa menyesal.
Aksara di dalamya berisi anjuran tentang apa yang bisa kita lakukan disaat kelopak pada setiap kembang mulai berguguran.
Tak perlu menjadi malaikat surgawi dengan sayap safirnya yang murni. Jadilah manusia yang berhati, melalui niat tulus dan tindakan suci-berbagi. Tuhan membelaimu dengan jari-jemarinya seraya berkata “Bukan suara parau, kau adalah simfoni dunia paling indah dan menawan”.