Pesan Untuk si Bungsu
Setiap manusia yang lahir ke dunia pasti dikelilingi oleh orang-orang tersayang. Ayah dan ibu adalah dua sosok utama di antara orang-orang tersayang itu. Aku, salah seorang di antara milyaran manusia yang lahir di dunia ini, juga begitu menyayangi kedua orang tuaku. Tapi, kali ini aku akan mengurai benang panjang nan kusut yang bersemayam dalam memori, yang banyak orang kenal dengan sebutan kenangan, bersama cinta perdanaku sebagai anak perempuan. Ya, orang yang biasa aku panggil dengan sebutan "papah".
Papah adalah pahlawanku, seorang yang hebat, tampan, pemberani, pekerja keras, tak pernah mengeluh dan masih banyak lagi kata-kata baik yang mungkin tak bisa mendeskripsikan beliau sepenuhnya. Aku dekat sekali dengan papah. Ikatan batin kami terbentuk sejak aku masih kecil. Walaupun papah sibuk dengan dunia kerjanya, tapi beliau selalu hadir menyempatkan diri untuk mengantar-jemputku pergi les mengaji. Aku selalu senang melihat wajahnya di balik jendela kaca mobil ketika beliau menjemputku pulang. Melihat wajahnya seperti aku merasa diberi rasa aman dan damai.
Tak terasa waktu berjalan cepat, tahun demi tahun terlewati dengan begitu mudahnya. Para ilmuwan fisika bilang bahwa waktu adalah relatif, terasa lama ketika kita berada di kondisi yang tidak menyenangkan namun terasa cepat ketika kita merasa nyaman. Teori ini berlaku juga dalam hidupku. Aku beranjak remaja, begitu juga papah kian bertambah usianya dan tak muda lagi. Masa pensiun adalah keniscayaan yang harus papah hadapi. Walaupun begitu, alih-alih merasa sedih, justru aku merasa senang. Pensiun menjadi pertanda bahwa papah akan sering berada di rumah dan menghabiskan waktu bersamaku. Momen bersama papah adalah momen yang selalu menyenangkan dalam hidupku.
Kala itu, aku sudah duduk di bangku SMA. Setiap pulang sekolah, aku selalu menceritakan semua kegiatanku, dimulai saat aku datang ke sekolah, bermain dengan teman-temanku bahkan saat teman-temanku membuat contekan ulangan bahasa Jepang yang membuat aku kesal. Bukan karena munafik, sok pintar atau tidak bisa diajak kerjasama, namun sedari kecil aku selalu diajarkan oleh kedua orang tuaku untuk terus bersikap jujur dan melakukan suatu hal dengan penuh tanggung jawab. Aku merasa apa yang dilakukan oleh teman-temanku tidak sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai yang aku yakini. Papah mendengarkan ceritaku dengan baik dan hanya tersenyum lembut. Sorotan matanya seolah-olah berbicara bahwa ia begitu bangga denganku. Namun saat itu aku tidak peduli. Aku masih kesal karena perbuatan teman-temanku yang aku anggap tidak adil. Huh, sangat menyebalkan!
Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Dan hari itu pun tiba. Hari dimana sebagian hatiku hancur. Papah jatuh sakit dan harus dibawa ke rumah sakit. Saat itu aku sedang disibukkan oleh kegiatan di sekolah menjelang ujian praktik kenaikan kelas. Ketika sibuk mengurus ini dan itu di sekolah, tiba-tiba aku mendapat telepon dari kakakku. Tanpa basa basi, suara di ujung telepon itu menyuruhku untuk segera ke rumah sakit. Dengan perasaan panik dan jantung berdebar hebat, aku menjelaskan bahwa aku akan segera ke rumah sakit setelah pulang berganti pakaian. Tapi kakak mendesakku untuk langsung bergegas ke rumah sakit tanpa banyak alasan.
Di perjalanan menuju rumah sakit, perasaanku tak karuan, pikiranku diselimuti oleh hal-hal negatif yang justru seharusnya aku buang jauh-jauh. Sesampainya di rumah sakit, aku menjadi tahu alasan kenapa kakak mendesakku untuk segera ke rumah sakit. Belum sempat aku mengatur napas karena tadi terburu-buru ke rumah sakit, sudah kulihat papah yang kondisinya sedang kritis yang membuat napasku makin tersengal-sengal. Banyak alat bantu pernapasan yang dipasangkan di tubuhnya. Seketika dadaku terasa sakit dan sesak, jantungku terasa berhenti sesaat, seolah-olah ada yang menusuk dadaku hingga tepat menembus ke relung sukma. Berdiriku limbung. Lidahku kelu tak mampu berucap. Aku hanya bisa merasakan hangat di sekitar ujung mataku. Semakin lama, tak kuasa aku menahan air mataku untuk keluar. Aku hanya bisa menangis sambil melafalkan doa dalam hati. Pah, ayo bertahan, papah pasti kuat!
Setelah tim medis berusaha penuh menolong papah, takdir berkata lain. Manusia hanya bisa berencana dan berharap tapi Tuhan yang menentukan. Tuhan telah membuat garis takdir untuk masing-masing manusia bahkan sebelum ia lahir. Tepat saat azan Isya berkumandang, papah telah menghembuskan napas terakhirnya. Ketika itu air mataku sudah tak mampu untuk keluar lagi karena sudah habis. Namun, napasku masih terisak-isak. Aku sudah mulai dewasa, aku harus tegar menerima segala kenyataan dalam hidup ini, mau pahit ataupun manis. Aku tahu mengapa papah dipanggil oleh Tuhan terlebih dahulu. Hal ini karena Tuhan lebih sayang padanya dan tidak ingin melihatnya sakit lagi. Hilang sudah sosok yang aku banggakan dalam hidup ini. Meskipun berat, aku mencoba ikhlas. Ketika kehilangan, kita mungkin merasa sedih namun kita tak tahu apa rencana Tuhan ke depannya.
Hari itu menjadi hari terberat untuk aku dan keluarga. Banyak harapan yang belum tercapai, namun aku hanya bisa mengirimkan doa baik untuknya. Papah akan selalu menjadi cinta pertamaku dan selalu ada tempat untuk papah di hatiku. Papah selalu ingin aku menjadi anak yang taat beribadah, berjiwa besar, selalu semangat dalam meraih cita-cita, menebar kebaikan untuk sesama dan bertanggung jawab. Mungkin, aku yang sekarang masih jauh dari kata sempurna. Namun aku berjanji untuk menjadi manusia yang selalu berproses dan memperbaiki diri. Itulah pesan terakhir papah kepada aku, Si Bungsu. Makasih yaa pah udah hadir dalam hidupku.
-Dilla Rifa