Kejawen, Sinkretisme?
Indonesia memiliki berbagai macam etnis yang salah satunya dimayoritaskan oleh Suku Jawa. Suku Jawa memiliki total 41% warga Indonesia yang tersebar di wilayah provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Suku Jawa yang memiliki ciri khas akan gotong royong serta tatakrama yang lemah lembut dan sopan inilah yang menjadi bagian dari keindahan identitas negara Indonesia.
Sejarah Suku Jawa berupa kebudayaan menjadi salah satu peradaban yang paling maju. Terlihat adanya bukti kerajaan-kerajaan yang berdiri di tanah Jawa memiliki warisan melimpah yang masih dapat dilihat pada masa kini. Terdapat warisankebudayaan pula pada Suku Jawa yang tentunya menjadi identitas tradisi masyarakat jawa. Hingga saat ini terdapat kebudayaan peninggalan nenek moyang yang dipercaya oleh masyarakat suku jawa yaitu budaya Kejawen.
Secara bahasa ‘kejawen’ berasal dari kata ‘Jawa’, maka dapat diartikan bahwa kejawen ialah segala hal yang berkenaan ataumelekat pada suku Jawa. Adat istiadat, kepercayaan, budaya, pandangan sosial, dan filosofis milik orang Jawa inilah yang bisa disebut kejawen. Ajaran kejawen hampir mirip seperti agama yang mengajarkan spiritualitas masyarakat Jawa kepada penciptanya. Walaupun disebut kepercayaan, kejawen padadasarnya adalah sebuah filsafat atau pandangan hidup.
Sejak dahulu kala, orang Jawa memang dikenal mengakui keesaan Tuhan. Itulah menjadi inti dari ajaran Kejawen sendiri, yakni yang dikenal dengan ‘Sangkan Paraning Dumadhi’, atau memiliki arti ‘dari mana datang dan kembalinya hamba Tuhan’. Maka pada dasarnya ajaran Kejawen ini untuk mendorong para penganutnya percaya akan eksistensi dari Tuhan.
Kejawen termasuk kepercayaan nenek moyang mereka yang dianggap sebagai salah satu agama suku (local religion) tertua di Indonesia yang keberadaannya di tanah Jawa jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Budha ke tanah Jawa. Bahkan ketika munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai penetapan ke 6 agama resmi pada bulan November 2017, masyarakat suku jawa yang menganut kepercayaan kejawen ini mulai timbul rasa diskriminatif. (Tambunan, 2020, 100)
Sebelum agama-agama pendatang tersebut masuk, masyarakat Jawa memiliki kepercayaan seperti animisme, dinamisme, ataupraktik perdukunan. Seiring perkembangan zaman kejawen ter-akulturasi oleh nilai dan pandangan dari agama pendatang baru seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam yang datang dari luarkawasan nusantara.
Aliran filsafat kejawen berkembang seiring dengan agama yang dianut pengikutnya. Maka biasa dikenal sebagai Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Budha Kejawen, dan Kristen Kejawen. Sebagian dari tradisi tersebut sudah diadaptasi oleh masyarakat dengan budaya Islam, seperti mengadakan shalawatan ketika upacara mitoni, membaca surat-surat Al-Qur'an ketika nyadran. Maka dapat kita amati bahwa para penganut kejawen ini dalam praktik keagamaanya akan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang Jawa. Di mana pengikut masing-masing aliran ituakan tetap melaksanakan adat dan budaya Kejawen yang tidak bertentangan dengan agama yang dipeluknya.
Kejawen memiliki nilai kebaikan yang perlu diamalkan penganutnya, layaknya pada setiap kepercayaan lain. Pada masyarakat Indonesia awam, pemahaman akan kejawen keraptak utuh. Tidak jarang kejawen hanya dipahami sebagai alirandan kegiatan yang berbau mistis, klenik, dan bersifat gaib.
“Dengan filsafat kejawennya itu, orang Jawa justru telah berhasil memayu hayuning bawana sehingga jutaan orang merasa aman, nyaman, dan tenteram hidup di Jawa selama ini,” (Budhi Santosa, 2021, 6). Semua hal tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari aspek spiritualitas dari masyarakat Jawa yang mempraktiknya dalam tindakan sehari-hari.
Ajaran kejawen memiliki tujuan, bahwa setiap mereka yang menganut akan menjadi, sebagai berikut:
1. Mamayu Hayuning Pribadhi (rahmat bagi diri sendiri ataupribadi)
2. Mamayu Hayuning Kaluwarga (rahmat bagi keluarga)
3. Mamayu Hayuning Sasama (rahmat bagi sesama manusia)
4. Mamayu Hayuning Bhuwana (rahmat bagi alam semesta)
Poin-poin ini membuat ajaran kejawen lebih berfokus pada konsep tentang keseimbangan kehidupan. Mereka sebagai penganut kejawen lebih banyak melakukan pembinaan secararutin dibanding melakukan perkuasan ajaran. Maka hal ini membuat para penganut ajaran kejawen lebih memandang pada kebermanfaatan hidup dari pada ajaran sebagai agama.
REFERENSI
Moningka, C., Owena, A., & Herlita, H. (2020, April). ADAPTASI SKALA IDENTITAS ETNIS: STUDI PADA ETNIS JAWA DAN ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA. In Prosiding Seminar Nasional Pakar (pp. 2-75).
Portal Informasi Indonesia. (2018, December15). Indonesia.go.id - Kejawen, Pedoman Berkehidupanbagi Masyarakat Jawa. Portal Informasi Indonesia. Retrieved February 25, 2022, fromhttps://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/kejawen-pedoman-berkehidupan-bagi-masyarakat-jawa
Rosmalia, P. (2022, January 8). Memahami Kejawen secara Utuh. Media Indonesia. Retrieved February 25, 2022, fromhttps://mediaindonesia.com/weekend/462990/memahami-kejawen-secara-utuh
Suharyati, T. (2020, March 1). Mengenal Suku Jawa, Sejarah, dan Kebudayaannya. detikTravel. Retrieved February 25, 2022, from https://travel.detik.com/travel-news/d-4921040/mengenal-suku-jawa-sejarah-dan-kebudayaannya
Tambunan, S. F. (2020). Tinjauan Etnofilosofi Pada Organisasi Penghayat Kepercayaan 'PPK Subud' yang Bernuansa Kejawen (Studi Kasus: Wilayah Yogyakarta). Uwais Inspirasi Indonesia.
Taufik, A. (2020, February 17). Lebih Dekat Dengan Kejawen, Pandangan Hidup Masyarakat Jawa. Good News FromIndonesia. Retrieved February 25, 2022, fromhttps://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/02/17/lebih-dekat-dengan-kejawen
Vannisa. (2020, April 23). Suku Jawa : Sejarah, Adat Istiadat, Bahasa dan Keseniannya. Perpustakaan.id. RetrievedFebruary 25, 2022, from https://perpustakaan.id/suku-jawa/