Bukan Utusan Putri Aclepius

Bukan Utusan Putri Aclepius
Oleh : Annisa Fadhilah


Nyaring bunyi kicauan burung gereja pada tali-tali listrik di tepi jalan,

parau suara tatkala hembusan napas hangat itu menjalar begitu saja melewati telingaku

Degup jantung siapa yang suaranya mengalahkan jeritan marah sang Hades?

Punyaku?

Atau, punyaku karena“nya”?


Pagi itu, kornea mataku menangkap sosok pria tampan nan rupawan itu memikul sebuah keranjang kecil yang dianyam oleh bambu,

ia tersenyum manis sekali

Cahaya terang benderang itu berasal dari perawakannya yang tinggi menjulang, dengan indah dan damai berjalan ke arahku


Ia mengecup pelan leherku, bibirnya dingin, tapi membuat hatiku hangat

Aku mengenal aroma tubuhnya, namun, masih abu-abu


Ia tawarkan padaku sebotol kaca bening berisi cairan asing berwarna cokelat pekat yang membuatku merengut seketika

“Aku tak suka jamu,”

ucapku sambil membuang wajah


Aku tidak tahu apa itu–


Ia menarik lembut daguku dan mengecup bibirku pelan,

“Bukan jamu, Wahai Wanita Setengah Dewa. Ini obat mujarab. Kau sakit, Sayangku.”


Pernyataan itu mengupas luka di dadaku yang kemarin baru saja mengering

Aku mengaduh, bilang perih sekali

Ia menyobek lukaku hingga kembali dilumuri oleh darah-darah segar itu,

tapi ia justru tertawa pelan, wahai merdunya

Aku terpesona, wahai bodohnya


Sekali lagi, aku kenal aromanya, 

ia pasti utusan Panacea, putri Aclepius dan Epione

Pernah dengar, bukan? Iya, sang Dewi Pengobatan


Pria ini punya aroma kesembuhan, aroma obat dari segala obat

Kupikir dengan singkat bahwa benar katanya, obat mujarablah yang ia bawa


Ia menatapku penuh cinta,

sekarang aku kebingungan, ia utusan Panacea, Eros atau Aphrodite

Karena tenang dan indah sosoknya hampir membutakan mataku


Jari telunjuk kanannya yang lentik dan indah itu mengusap bibirku pelan, hingga mereka terbuka dengan beribu hasrat menguap begitu saja 

Jari itu masuk ke dalam mulutku dalam-dalam dengan perlahan dan ia masih menatapku lembut seraya tersenyum tipis

Kupikir aku sudah di surga, alangkah indahnya lengkungan sabit itu hingga dadaku bergemuruh

Lidahku terasa kelu, tapi mampu kurasa manis tangan milik sang pria tampan ini, bak permen stroberi kesukaanku


Aku tak sadar saking nikmatnya jari telunjuk itu, sampai kurasa panas menjalar dalam mulut, selanjutnya tenggorokanku, dan rasa panas itu berhenti di dadaku

Aku telah meminum cairan yang ia katakan bahwa itu adalah obat mujarab


Sialan!


Itu ramuan dukun, dan aku tahu rasanya

Ketika putus asa, aku pernah menelannya sampai hampir kehilangan jiwa ragaku

Tapi, aku Wanita Setengah Dewa

Ayahku menyelamatkanku,

padahal harapanku saat itu adalah mati, dengan sia-sia


“Aku bukan utusan Putri Aclepius, Sayangku.

Aku utusan Algea. Aku Putra Gaia.”


Benar saja, ia bukan utusan Panacea, Eros atau Aphrodite

Ia utusan Algea, sang pembawa pilu jiwa yang mematikan


Kukira lebih baik mati di tangan pria tampan,

dan lihatlah! Ayahku diam saja saat ini


Karena aku selalu bodoh, aku menganggapnya adalah utusan Putri Aclepius

Untuk membiarkan aku mati dalam damai, kutanamkan dalam pikiranku bahwa aku tetap meminum obat mujarab penyembuh lukaku dari sang Dewi Panacea,

bahkan tak sekadar penyembuh luka, tapi pembasmi nyawaku


Meskipun, itu datang,

dari Bukan Utusan Putri Aclepius