Gen Z dan Quarter Life Crisis: Antara Ambisi dan Keresahan
Karya : Syahbila Zalva
Usia dua
puluhan sering digambarkan sebagai masa paling indah: muda, bebas, penuh
energi. Tapi di balik itu, banyak anak muda justru merasa hidupnya berantakan.
Baru lulus kuliah, belum punya kerja tetap, tabungan tipis, ditambah
teman-teman sudah pada pamer pencapaian di Instagram. Rasanya seperti
ketinggalan kereta. Inilah yang sering disebut quarter life crisis.
Bagi Gen Z,
krisis seperempat abad ini bukan sekadar bingung mau kerja apa atau nikah
kapan. Lebih dari itu, ada rasa tertekan oleh ekspektasi dari banyak arah.
Orang tua ingin anaknya cepat mapan, masyarakat mengukur sukses dari gaji dan
status, sementara dalam hati kita ingin bebas mengejar passion. Konflik antara
“harus realistis” dan “ingin idealis” inilah yang bikin pikiran ruwet.
Masalahnya
makin rumit karena media sosial. Scroll sebentar di TikTok atau Instagram,
langsung muncul orang yang sudah punya usaha, bisa kerja remote sambil
jalan-jalan ke luar negeri, atau bahkan menikah dengan pesta yang mewah.
Bandingkan dengan diri sendiri yang masih bingung arah, jelas bikin insecure.
Padahal hidup tiap orang punya jalannya masing-masing.
Tapi
sebenarnya, quarter life crisis bukan
akhir dunia. Justru ini bisa jadi momen penting untuk mengenal diri lebih
dalam. Dari rasa bingung itu kita belajar bahwa hidup nggak harus selalu sesuai
timeline yang orang lain buat. Kita bisa gagal, bangkit lagi, coba hal baru,
bahkan ganti arah hidup.
Gen Z punya
kelebihan seperti kreatif, melek digital, dan berani bereksperimen. Jadi,
daripada tenggelam dalam overthinking, mungkin lebih baik pelan-pelan fokus ke
langkah kecil. Tidak perlu buru-buru jadi “sukses versi orang lain”, cukup jadi
versi terbaik diri sendiri.
Karena pada
akhirnya, quarter life crisis bukan
pertanda kita salah jalan. Itu hanya bagian dari proses tumbuh dewasa, semua
orang melewatinya cuma bedanya kita sering lupa kalau kehidupan bukan lomba
cepat-cepat untuk sampai tujuan.