HANTU MUKA HANCUR DI BIMBEL TERKENAL KOTA BANDUNG

 HANTU MUKA HANCUR DI BIMBEL TERKENAL KOTA BANDUNG

Kisah Oleh: Lintang


Penyunting naskah : Qonitah Zalikhah Yuselly


(Berdasarkan kisah nyata narasumber bernama Lintang)

Aku tidak pernah menyangka kalau tempat belajar yang dulu kukira membawa masa depan, justru menyimpan sesuatu yang membuatku sulit tidur selama bertahun-tahun.

Namaku Lintang. Waktu itu aku masih duduk di bangku SMA dan mengikuti bimbel terkenal di Bandung tempat yang katanya paling lengkap dan nyaman. Tapi sejak kejadian itu, setiap kali aku melewati gedungnya, tengkukku selalu dingin, seolah ada yang menatap dari balik jendela lantai dua.

Malam itu, kelas berjalan seperti biasa. Tutor menulis rumus di papan tulis dengan cepat, dan aku sibuk menyalin ke buku catatan. Tiba-tiba, klik! lampu mati. Suara teman-temanku panik, beberapa menjerit kecil. Gelap hanya beberapa detik, lalu lampu menyala lagi.

Namun sesuatu telah berubah.
Papan tulis itu bersih.

Padahal beberapa detik sebelumnya penuh dengan coretan spidol hitam dan merah. Tidak ada yang menghapus, tidak ada yang mendekat ke depan. Tutor menatap kami dengan wajah bingung. Salah satu temanku bilang ia melihat bayangan seseorang berdiri di depan papan sebelum lampu padam. Tapi tidak ada siapa pun di sana.

Seisi ruangan hening. Udara tiba-tiba dingin, padahal AC sudah dimatikan. Aku mencoba menenangkan diri dengan berpikir logis mungkin ilusi cahaya. Tapi entah kenapa, firasatku mengatakan tidak.

Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk salat di mushola bimbel sebelum kelas dimulai. Musholanya kecil, hanya cukup empat orang, dengan lampu kuning yang berkedip pelan di langit-langit. Aku sendirian.

Baru saja rakaat kedua, aku mendengar suara lembut seperti kain diseret di lantai. Awalnya aku pikir ada yang masuk. Tapi saat aku menoleh…

Di pojok ruangan berdiri seorang perempuan bermukena putih.
Mukena itu kusut dan basah di ujungnya, seperti baru terendam air. Wajahnya menunduk, tapi dari celah kain yang menutupi kepala, aku bisa melihat kulit pucat yang nyaris transparan.

Aku cepat-cepat menunduk, melanjutkan salat dengan gemetar. Namun setiap kali aku sujud, terasa hawa dingin mengitari tubuhku—dan suara langkah perlahan mendekat dari belakang.

Ketika aku mengucap salam ke kanan dan ke kiri… sosok itu sudah tepat di sampingku.

Wajahnya mendongak. Senyumnya terlalu lebar, matanya hitam tanpa cahaya. Dari bibirnya terdengar bisikan lirih, seperti angin melewati celah pintu,

“Sudah waktunya belajar lagi…”

Aku menjerit dan berlari keluar tanpa menoleh. Nafasku tersengal, jantungku berdebar seolah ingin pecah. Sejak malam itu, aku tidak pernah lagi berani salat di mushola bimbel itu. Bahkan aku memutuskan pindah bimbel beberapa minggu kemudian.

Namun yang paling membuatku tak bisa tenang adalah kejadian yang kulihat setelahnya.
Suatu sore, aku melewati gedung itu bersama temanku. Kami berhenti di lampu merah, dan mataku tanpa sengaja menatap ke arah lantai dua—kelas tempat semuanya bermula.

Dari balik jendela, samar-samar terlihat seorang perempuan ber-mukena putih, berdiri menghadap papan tulis.
Dan di papan yang dulu bersih, kini tertulis kalimat dengan spidol hitam besar:

“Aku belum selesai mengajar.”

Lampu di ruangan itu menyala redup. Tapi aku tahu… tidak ada kelas malam di hari itu.