samar; 01

samar; 01

oleh : Annisa Fadhilah


Dalam sayup-sayup lampu kuning hangat dan pepohonan rindang di kafe tersembunyi daerah Dago, aku bisa melihat ia tertawa dan menghasilkan ekspresi tertawa paling menawan yang pernah kutemukan di muka bumi. Rasa-rasanya ingin kututup wajahnya ketika tertawa agar orang lain tak perlu tahu ada jenis ekspresi tertawa yang sesempurna itu.

Ciri khasnya merapihkan rambut gondrong lurus sebahu dan gerakan tangannya yang menaikkan kacamata turun dari batang hidungnya adalah gerakan-gerakan yang aku romantisasi sedemikian rupa hingga aku sadar kata sempurna hanya pada Samar, orang yang aku sukai sejak kali pertama aku mendengar suaranya memenuhi telingaku dengan irama yang menenangkan.

Salted caramel yang ia pesan ternyata ditambahi gula aren hingga sedari tadi ia memperhatikanku yang baru sekali menyeruput kopi dingin itu, “Maaf ya, Sha. Pasti kamu nggak suka kopinya karena terlalu manis.”

“Ini mah, manisnya gara-gara kamu.” Aku sebagai perempuan jadi tergila-gila melemparkan gombalan kacang supaya melihat ia tertawa. Sebuah upayaku untuk terus menikmati keindahan ciptaan Tuhan, meskipun setelah kalimat kacang tersebut aku akan langsung bergidik geli.

Benar saja, keindahan ciptaan Tuhan itu memberikanku getaran hangat dalam tubuh.

“Aduh, Sha.” Dia kini menatapku dengan tatapannya yang tampak sangat tenang, tidak menusuk tapi membuatku berdarah-darah karena harus menahan senyum. “Tapi, aku beneran minta maaf kalau kopinya manis dan kamu kurang suka. Nanti kalau baristanya udah balik dari warung, aku pesenin yang baru ya.”

Ia selalu begitu.

“Mar, aku suka. Kopinya tetep enak kok. Nggak langsung aku nggak mau minum gitu.”

“Tapi, kan, tetap saja, Sha, kopi manis bukan kesukaanmu.”

Aku tersenyum seraya menatap wajah itu, wajahnya yang teduh, tenang dan damai. Entah ada apa di dalam isi kepalanya, aku selalu bertanya-tanya, sebanyak apa beban yang ia pikul, ia tutup rapat, sampai aku tak mampu melihat kesedihan dalam setiap ekspresi yang ia berikan ketika berhadapan denganku.

Matanya kembali menatap suasana kafe yang malam itu semakin dingin, udara kota Bandung seakan tak pernah membiarkan kami hangat pada malam hari, dinginnya menusuk kulit, tapi bersama Samar, yang aku rasakan hanya rasa tenang.

Kepalanya menunduk tiba-tiba, “Kamu pernah berpikir untuk jatuh cinta lagi, Sha?”

Kujawab pertanyaan mendadak itu dengan anggukan pelan yang membuatnya menatapku, “Udah siap untuk jatuh lagi?”

Pertanyaannya membingungkan. Jatuh cinta terdengar indah, bukan? Tapi, kalau pertanyaannya aku siap jatuh atau tidak, jawabannya mungkin jadi ragu-ragu. Karena jatuh itu menyakitkan. Sama seperti jatuh cinta, dalam beberapa persoalan, tentu saja.

“Jatuh itu rasanya sakit, Mar,” ucapku sambil menatapnya dengan tatapan yang kucoba datar sebisa mungkin. “Kalau jatuh cinta kedengarannya menyenangkan.”

“Tapi, tetap jatuh kan, Sha, intinya.”

Terkadang menghadapi laki-laki yang abu-abu ini membuatku cukup kelimpungan. Jutaan kupu-kupu dan kebingungan kadang ia lemparkan padaku begitu saja. Seakan-akan aku harus selalu siap-siap tameng kalau saja ia akan melemparkan batu besar pada tubuhku.

Sesuai namanya, ia Samar, yang lagi-lagi akan tetap kusukai dengan jelas.