Yappa Maradda : Menghapus Praktik Budaya atau Melestarikan Kekerasan?

Yappa Maradda : Menghapus Praktik Budaya atau Melestarikan Kekerasan?

Oleh : Anis N Afifah 

 
Halo sobat JMPS!
Dilansir melalui unggahan video akun Instagram @wmnlyfepada tanggal 7/9/2023 lalu sempat terulang Kembali praktik budaya kawin tangkap di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Video tersebut merekam kejadian seorang Perempuan yang ditangkap paksa dan dibawa kabur menggunakan mobil pikapPolres Sumba telah menangkap 9 pelaku dan mengamankanmobil pikap yang digunakan pelaku.

Peristiwa ini langsung mendapat respon dari Martha Herbiselaku penggiat aktivis
Perempuan Sumba/penggiat SOPAN Sumba yang mengungkapkan bahwa tradisi ini sudah tidak relevan karena melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Apabila dilihat pada norma-norma pun termasuk kekerasan/penculikan pada perempuan yang dibalut budaya.

Lebih lanjut Martha Hebi, yang pernah meneliti tentang kawintangkapmemberikan penjelasan bahwa kawin tangkap merupakan kebiasaan “membawa lari perempuan” untuk dinikahi ini masih terjadi di beberapa wilayah di Sumba. Di Kabupaten Sumba Tengah, misalnyakebiasaan ini dikenal dengan istilah yappa maradda.
Praktiknyaperempuan lajang bisa saja tiba-tiba dihampiri oleh segerombolan laki-lakilalu dibekap, dan dibawa lari kerumah keluarga seorang laki-laki untuk dijadikan istri.

Walaupun perempuan tersebut meronta atau menjerit minta tolong, Martha mengatakan biasanya tidak ada warga yang membantunya karena dianggap sebagai “sebuah kebiasaan”. Proses yang selanjutnya terjadi kemudian dianggap sebagai "urusan adat".
Martha juga mengatakan bahwa perempuan yang ditangkapbiasanya masih memiliki relasi kekerabatan dengan pihaklaki-lakiRelasi itu pula yang akhirnya membuat praktik kawin tangkap sulit ditentang oleh keluarga korban. Peristiwaini juga tidak sesuai dengan syarat perkawinan UU RI No 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1 di mana perkawinan harusdidasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

Banyak korban pada akhirnya terpaksa menjalankan pernikahan secara paksa karena merasa tidak memiliki pilihan. Dalam fenomena seperti ini sudah tergambar jelas bahwa masih terdapat tradisi pedalaman Indonesia yang minim dalam mendukung dan memberikan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan

Masih didapati diskriminasi sesama Perempuan sehingga sulit untuk memperjuangkan hak-hak merekaMinimnya pandangan mengenai hak perempuan mengakibatkan diskriminasi sesama perempuan terjadi.
Perlu adanya solusi yang serius untuk mengurangi peristiwa kekerasan yang dibalut budaya seperti fenomena iniMenciptakan Perubahan budaya dan tradisi tentu memerlukan waktu dan kerja keras dari berbagai pihak. Oleh karena itupenting untuk terus bekerja sama dan berkoordinasi untuk memastikan hak setara bagi perempuan.

Nah sobat JMPS, sebenernya tak hanya tradisi Yappa Maradda dari Sumba saja yang menimbulkan peristiwa diskriminasi seperti initradisi Merarik Dari Lombok yang hampir serupa jugaMereka bahkan memiliki pandangan bahwa anak perempuan yang diculik akan menaikkan harga diri keluarga daripada anak perempuan yang dilamar atau diminta.

Karena menurut merekaapabila anak perempuan diculik berarti anak perempuan tersebut sangat bernilaisehingga ia harus diculikbukan dimintaMereka sering membuat perumpamaan hal ini dengan sebuah benda atau hewan ternakApabila sebuah benda tidak memiliki nilai yang tinggi maka benda tersebut bisa dimintaNamun faktanya sekarang banyak orang tua dari pihak perempuan merasa dirugikan dan menghambat impian keluarga maupun perempuan tersebut.

Menurut sobat JMPS peran seperti apa sih yang perlu kita lakukan? Perlukah kita menghapus praktik budaya tersebut untuk tetap memiliki identitas budaya atau terus melestarikan kekerasan seperti ini?

 








References

https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20230909091304-284-996774/mengenal-tradisi-kawin-tangkap-yang-viral-di-sumba-barat-daya
https://www.kompasiana.com/marcelinaraharjo5737/63e153104addee0e097681a2/menghapus-batas-gender-merevitalisasi-budaya-dan-tradisi-untuk-kesetaraan-gender?page=all#section1
Aniq, A. F. (2012). Konflik peran gender pada tradisimerarik di pulau Lombok.