Menjemput Bintang Di Ujung Asa

 Menjemput Bintang Di Ujung Asa

Oleh: Ulwan & Tari



Langit malam itu penuh bintang, seolah Tuhan sedang melukis mimpi-mimpi di atas kanvas gelap. Dira duduk di balkon rumahnya, menatap bintang-bintang dengan mata yang penuh harap. Di tangannya ada selembar kertas yang telah lusuh karena terlalu sering dilipat dan dibuka. Itu adalah rencana hidupnya, daftar panjang impian yang ingin ia capai sejak kecil.


“Kamu yakin ini semua bisa tercapai, Dir?” tanya Raka, sahabatnya yang duduk di sebelahnya sambil menyeruput teh hangat.


Dira mengangguk percaya diri. “Kalau nggak yakin, buat apa aku menulisnya?” jawabnya sambil tersenyum kecil.


Raka tertawa pelan. “Mimpi itu bagus, tapi jangan lupa, jalan ke sana pasti ada rintangannya dan gak bakal mulus terus.”


Dira tahu benar ucapan Raka. Ia lahir di sebuah desa kecil di pinggir hutan, jauh dari gemerlap kota besar. Ayahnya seorang petani, dan ibunya menjual kue di pasar. Mereka hidup sederhana, tapi Dira selalu percaya bahwa hidup sederhana bukan alasan untuk berhenti bermimpi.


Impian terbesar Dira adalah menjadi seorang arsitek. Ia ingin merancang bangunan yang bisa mengubah kehidupan banyak orang. Tapi mimpi itu terasa jauh, seperti bintang di langit yang ia pandangi malam ini.


Hari-hari Dira dipenuhi dengan kerja keras. Setelah pulang sekolah, ia membantu ibunya membuat kue, lalu mengantar pesanan ke rumah-rumah. Di malam hari, ia belajar di bawah lampu minyak karena listrik di desanya sering padam. Buku-buku pelajaran dan video tutorial yang ia unduh di perpustakaan kota menjadi sahabat setianya.


“Dira, kamu harus ikut lomba desain itu,” kata Bu Santi, guru seni rupa Dira. Suatu hari di sekolah, Dira menatap selebaran yang disodorkan gurunya. Lomba desain arsitektur tingkat nasional. “Tapi, Bu, ini untuk anak kota yang punya fasilitas lengkap. Saya?”


“Jangan remehkan dirimu sendiri. Mimpi kamu besar, kan? Buktikan kalau kamu bisa,” ujar Bu Santi dengan nada tegas.


Dorongan itu membuat Dira mendaftar. Malam-malam berikutnya, ia habiskan untuk merancang sebuah desain rumah ramah lingkungan yang terinspirasi dari desanya. Rumah yang memanfaatkan bambu sebagai material utama, dengan sistem penangkapan air hujan dan panel surya sederhana. Ia ingin menunjukkan bahwa inovasi bisa lahir dari keterbatasan.


Hari pengumuman tiba. Dengan jantung yang tak berhenti berdebar, Dira membuka situs website lomba di warnet dekat pasar.


“Juara pertama, Dira Pratama!”


Tangannya gemetar. Ia membaca namanya berkali-kali, memastikan itu bukan mimpi. Air mata menetes tanpa ia sadari. Raka yang menemani di sampingnya memeluknya erat. “Aku selalu bilang kamu bisa, Dir!” seru Raka penuh bangga.


Kemenangan itu mengubah segalanya. Beasiswa datang menghampiri, membuka pintu ke universitas terbaik di ibu kota. Dira meninggalkan desanya dengan hati penuh semangat, tapi ia berjanji suatu hari akan kembali membawa perubahan.