Hakekat
tujuan ujian nasional yang telah tertuang dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun
2003 (terutama Pasal 57, 58, dan 59) dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, pelaksanaan Ujian Nasional di sekolah/madrasah
merupakan sebagai bahan evaluasi terhadap kualitas pendidikan nasional dan
selanjutnya dapat dikelola menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan
pendidikan nasional. Selain itu dapat pula dijadikan sebuah indikator pada
level apa derajat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Namun pada pelaksanaanya
masih banyak orang yang memang tidak dapat memaknai hakekat tujuan UN itu
sendiri sehingga banyak terjadi kecurangan dalam pekansanaan UN.
Banyak
berbagai alasan mengenai kecurangan dalam pelakasanaan UN ini ada istilah yang
menyatakan bahwa UN adalah pencitraan sekolah, UN adalah taruhan kualitas
pendidik, dan UN adalah Ujian kemanusian, ketiga pernyataan itu memang sudah
sangat mulia, akan tetapi ketiga pernyataan tersebut menjadi sebuah beban bagi
pendidik yang berakhir pada dilema antara etika dan professional sebagai
pendidik selain pendidik, peserta didik juga tertimpa beban UN karena tidak sedikit siswa yang
merasa kecewa ketika tidak lulus UN hingga berakhir pada bunuh diri, hal
tersebut menjadikan citra UN sebagai beban oleh para peserta didik dan
masyaraka. Dalih - dalih unsur kemanusian ini yang membuka celah – celah praktek ketidakjujuran
pihak - pihak sekolah dalam pelaksanaan UN, lantas apakah hal ini wajar saja
ketika pelaksanaan yang bertujuan mulia ini dinodai ketidakjujuran ? sudah
tentu hal ini sangat bersebrangan dengan tujuan pendidikan nasional yang
sebagaimana tertuang dalam definisi pendidikan menurut UU Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003 bahwa Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Apabila melihat pada kenyataan pelaksanaan UN
jelas bukan yang tadinya Pendidikan ini memiliki tujuan mulia namun ternodai
dengan adanya ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN.
Meninjau
dari relevansi realita pelaksanaan UN dengan tujuan pendidikan nasional, maka
praktek kecurangan dalam pelaksanaan UN tidak berbanding lurus dengan tujuan
pendidikan nasional yang dapat dipaparkan sebagai berikut :
1. Dalam
definisi pendidikan menurut UU Sisdikna No 20 Tahun 2003 terdapat kalimat
“Memiliki Sprititual Keagamaan” sudah jelas memberikan contekan kepada siswa
pada saat UN berarti mengajarkan siswa untuk berbohong dimana perbuatan itu
sendiri ditentang oleh berbagai agama di Indonesia. Adapun hal ini juga sudah
melanggar pancasila pada sila pertama yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa, selain
itu sama saja selaku seorang pendidik yang menghalalkan segala cara dengan
meluluskan siswa merupakan pelanggaran dalam etika dan profesionalisme sebagai
seorang pendidik apabila hal ini terus terjadi bagaimana nasib negara kita
kedepanya karena pada dasarnya kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh SDM yang
tentu saja ditentukan oleh pendidikan, dan apabila kecurangan - kecurangan ini
dibiarkan begitu saja maka koruptor di Indonesia semakin banyak karena
mencontek adalah hal terkecil dimulainya korupsi.
2. Kecurangan
dalam pelaksanaan UN bersebrangan dengan tujuan dari pendidikan nasional yakni
potensi kecerdasan dan akhlak yang mulia, melihat kenyataan yang seperti ini
kecerdasan apa yang diharapkan apa hanya sekedar cerdas saja, apabila hanya hal
itu saja yang dituju tentu terbentuknya manusia yang utuh tinggal kenangan
karena manusia yang utuh dan tengah dibutuhkan oleh Indonesia ini yakni manusia
yang cerdas, religius dan tentunya memiliki akhlak yang mulia.
3. Keterampilan
tentu saja potensi keterampilan ini adalah keterampilan yang manfaatnya positif
apabila ketidakjujuran ini terus berlangsung apakah keterampilan yang dimiliki
oleh output pendidikan ini akan bermanfaat ? tentu saja tidak dengan realita
seperti ini terus menerus maka output kita memiliki keterampilan baknya monster
yang akan menghancurkan negri kita karena keterampilan dari output pendidikan
ini terbumbui praktek kecurangan yang berdampak pada paradigma output yang
dihasilkan pendidikan bahwa segala
sesuatu dapat diraih dengan menghalalkan segala cara.
Selain
pemaparan tersebut dapat dipaparkan juga bahwa praktek kecurangan dalam
pelaksanaan UN ini melanggar PEMBUKAAN UUD 1945 yang berbunyi “Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa” dimana sisi yang mencerdaskan apabila dalam UN kita apabila
dalam pelaksanaannya generasi bangsa disuguhkan oleh praktek kecurangan, sama
saja apabila hal itu terus dilakukan
secara tidak langsung kita melaksanakan pembodohan kepada generasi
bangsa. Selain itu hal ini juga menunjukan kualitas guru yang rendah mengapa
demikian karena guru - guru ini tidak dapat memberikan rasa percaya diri kepada
siswa untuk melaksanakan ujian dengan semampunya tanpa tergantung pada
contekan, tentu saja rasa percaya diri ini dengan membimbing atau melaksanakan
pemebalajaran secara maksimal. Jadi
apakah UN masih harus dilaksanakan ? Apakah UN masih dijadikan standar
kelulusan ? atau standar kelulusan ditentukan oleh sekolah masing - masing.
Solusi
dari realita tersebut menurut saya adalah penguatan rasa percaya diri dan iman baik
itu siswa, guru dan orangtua, tentu saja kedua hal yang saya sebutkan tadi
tidak datang dengan sendirinya, lantas bagaimana menumbuhkan kedua hal tersebut
pada intinya kedua hal tersebut akan terinternalisasi melalui usaha bersama.
Untuk melihat pemaparan yang lebih jelas maka saya paparkan sebagai berikut :
1. Rasa
percaya diri ini perlu ada didalam diri seorang pendidik dalam menghadapi UN
tentu saja rasa percaya diri ini dengan didukung kinerja yang optimal sebagai
seorang pendidik terutama dalam pembelajaran hendaklah sebagai seorang pendidik
lebih interaktif dan mengundang suasana pembelajaran yang menarik sehingga
materi yang disampaikan mudah dipahami oleh siswa, sebagai bahan rujukan saya
akan membagi informasi yang berkaitan dengan profesionalisme sebagai seorang
pendidik dalam sebuah seminar yang pada saat itu pematerinya adalah Prof. Dr.
H. Arief Rachman, M.Pd ada seorang guru menanyakan “bagaimana cara menghadapi
UN sedangkan saya ditekan oleh dinas harus menjadi tim sukses dalam UN, pada
saat itu saya langsung menolak dan Alhamdulillah saya dipecat” dalam jawaban
pemateri ada yang menyatakan bahwa “jikalau anda dipecat bukan mengucapkan
Alhamdulillah melainkan masyaallah kenapa saya dipecat” . Pada percakapan dalam
seminar tersebut saya menarik simpulan jika guru tersebut sudah maksimal dalam
pembelajaran dan yakin bahwa siswa dapat mengahadapi UN dengan kemampuanya,
maka guru tersebut tak usah risau sehingga beliau dapat meyakinkan kepada pihak
terkait UN dapat dilaksanakan dengan jujur adapun cara menumbuhkan rasa percaya
diri ini dengan pendekatan personal baik itu kepada siswa dan orangtua selaku
pengawas di luar sekolah . Selain guru hal ini perlu juga didukung oleh
pengawasan orangtua yang tentunya bekerjasama dengan guru dalam pengawasan dan
pola asuh karena kedua hal tersebut dapat mempengaruhi rasa percaya diri siswa
maupun orangtua, jadi pada intinya pembentukan rasa percaya diri siswa ini
perlu difasilitatori oleh guru dan orang tua sehingga terbentuk sebuah percaya
diri yang simbiosis mutualisme yakni ketika siswa siap dan percaya diri dalam
melaksanakan UN dengan jujur maka guru akan merasa percaya diri karena telah
mempersiapkan anak didiknya dengan baik dalam menghadapi UN begitu pula dengan
orang tua dapat dengan tenang mendoa’kan anaknya karena telah semaksimal
mungkin mengawasi dan mengasuh anak dengan pola asuh yang baik.
2. Sering
kita mendengar siswa yang bunuh diri karena tidak lulus UN menurut saya itu
adalah hal ketika melemahnya iman seseorang, maka dari itu mari kita bersama -
sama menguatkan iman kita terutama pada anak didik kita yang menghadapi UN selain
itu kita memberikan sebuah pengertian kepada anak didik kita dan orangtuanya
selaku pendidik bahwa UN bukanlah penentuan hidup dan mati seseorang, gagal dan
suksesnya seseorang, kita harus bisa merubah paradigma bahwa tidak lulus UN itu
adalah bukan sebuah aib, melainkan pelajaran yang berharga karena dengan
kegagalan tersebut kita dapat menemukan cara baru dalam menempuh rintangan.
Selain itu ketika iman sudah tertanam kuat para siswa ini akan lebih rajin
belajar dalam menghadapi UN karena mereka ingin menghindari praktek
ketidakjujuran dalam menghadapi UN karena pada dasarnya seseorang yang beriman
tentulah akan menjaga ajarana agamanya, maka dari itu iman juga perlu dikuatkan
pada pendidik dan orangtua agar kedua pihak tersebut dengan bersungguh hati
mendidik dan mengawasi anaknya dengan baik sehingga pada saat pelaksanaan UN
mereka 100% melaksanakanya dengan murni.
Jadi
apakah UN sebaiknya dijadikan sebagai standar kelulusan atau standar kelulusan
diserahkan kepada sekolah masing - masing, menurut saya kedua pilihan tersebut
sama saja bagusnya namun seperti yang saya ungkapkan sebelumnya bahwa dalam
pelaksanaan UN harus dilaksanakan dengan jujur dan jujur tersebut didukung oleh
rasa percaya diri dan iman baik itu siswa, guru dan orangtua. Namun saya
mempunyai sebuah gagasan bahwa standar kelulusan itu ditentukan oleh nilai UN,
nilai UAS, dan nilai afektif, penyisipan nilai afektif ini saya maksudkan
menyelaraskan dengan pendidikan berkarakter dan tujuan pendidikan nasional
selain itu mengingat kasus korupsi dan kejahatan lainya yang melibatkan orang -
orang yang cerdas namun tidak berbudi luhur. Nilai afektif ini ditentukan oleh
guru dan salah satu badan pengawas yang secara intensif memantau perkembangan
afektif siswa, tentu saja badan pengawas ini dibentuk oleh kemendikbud sendiri,
keduanya bekerjasama berdasarkan ketentuan yang sudah ditentukan sebelumnya. (Zaenal Mustopa, Ketua Biro Media & Penyiaran JMPS)