Meski
suasana di KJRI Jeddah kini telah mulai kondusif, namun kerusuhan yang terjadi
pada Hari Minggu (09/06/2013) lalu telah mencoreng nama baik Indonesia sebagai
negara yang santun di dunia internasional. Kerusuhan tersebut mengakibatkan
satpam KJRI Jeddah yang bernama Mustafa mengalami luka serius dan beberapa
orang lainnya terinjak-injak. Selain itu, Marwah binti Hasan, meninggal akibat
dehidrasi setelah berdesak-desakan dengan ratusan ribu TKI lainnya. Mereka
berlomba-lomba untuk segera menyelesaikan dokumennya agar tidak lagi menjadi
TKI ilegal.
Biasanya dalam satu hari, hanya
sekitar 3.000 TKI yang mengantri pada satu loket untuk menyelesaikan proses
amnesti. Namun, pada hari itu jumlah TKI yang mengantri melonjak sekitar tiga
atau empat kali lipat. Lonjakan tersebut menyebabkan keadaan di KJRI menjadi tidak terkendali.
Menurut Kepala Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Moh Jumhur Hidayat,
sebagaimana tertulis di Harian Umum Pikiran Rakyat (Rabu,12 Juni 2013),
kerusuhan tersebut di sebabkan oleh upaya mafia untuk menggagalkan proses
amnesti dengan aksi bakar-bakaran pelastik di depan gedung KJRI Jeddah.
Sedangkan Mentri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto
menyebutkan bahwa kerusuhan itu disebabkan oleh adanya isu provokasi. Isu
tersebut menyebutkan bahwa proses amnesti akan berakhir pada hari Minggu
tanggal 09 Juni 2013. Padahal proses amnesti baru berakhir pada tanggal 3 Juli
2013.
Kejadian tersebut tentunya sangat
disayangkan oleh seluruh penduduk Indonesia. Apalagi keluarga TKI yang salah
satu anggotanya berada di tengah situasi kerusuhan, mereka pasti merasa sangat
khawatir dengan keselamatan anggota keluarganya. Kejadian ini tidak boleh
kembali terulang. Tidak hanya bagi TKI di Jeddah, kejadian ini tidak boleh
kembali terjadi pada warga Indonesia yang berada di negara manapun di dunia
termasuk di Indonesia sendiri. Seringkali akibat dari desak-desakan dan adanya
ketidaksabaran dari oknum-oknum tertentu menimbulkan kerusuhan yang pada
akhirnya menelan korban jiwa. Masalah kerusuhan ini tidak akan bisa
diselesaikan hanya dengan saling menyalahkan. Baik pihak KJRI, para TKI,
golongan yang berkepentingan, ataupun pemerintah pusat harus bekerjasama agar
kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Melakukan tindak anarkis seperti
bakar-bakaran bukanlah tindakan yang dapat dibudayakan. Golongan yang memiliki
kepentingan juga tidak sepantasnya melakukan provokasi kepada para TKI hingga
menimbukan kerusuhan seperti ini. Begitupun KJRI dan pemerintah pusat, kedua
badan negara ini harus kembali mengevaluasi apakah pelayanan yang diberikan
kepada TKI telah cukup optimal atau belum. Jika dirasa belum optimal maka KJRI
dan pemerintah harus bisa memperbaiki kinerjanya. Namun, jika dirasa telah
optimal maka KJRI dan pemerintah harus terus berusaha meningkatkan mutu
pelayanan bagi para TKI.
Kejadian seperti ini harus dijadikan
pelajaran bagi seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat Indonesia harus dapat
menjadi masyarakat yang dapat berdisiplin. Kesabaran, rasa tanggung jawab dan
kepatuhan terhadap aturan harus kembali ditumbuh kembangkan didalam pola pikir
Bangsa Indonesia. Sikap agar tidak mudah terprovokasi oleh oknum-oknum yang
tidak bertanggung jawab juga harus kembali ditingkatkan. Jika sifat dan sikap
ini kembali dibudayakan, dimaknai dan diaplikasikan oleh segenap rakyat di
Negara Indonesia, maka Negara Indonesia sebagai negara disiplin, santun dan
tertib tidak akan menjadi wacana belaka.
(NUNI WAHYUNI/ JMPS
/ 14-06-2013)