Pengalaman 23 Hari Menjadi Mahasiswa

Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada akang & teteh yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk berbagi meski maknanya tidak begitu berarti. Ini hanya sekedar berbagi, tentang sebuah pengalaman yang singkat namun memiliki nilai yang berarti bagi saya. Menurut saya, status sebagai mahasiswa telah memberikan pengalaman yang sangat berharga. Hitungan hari yang memang begitu singkat, 23 hari yang begitu luar biasa, 23 hari yang telah memberikan saya kesempatan untuk menikmati status sebagai mahasiswa di sebuah perguruan tinggi yang hampir menjadi dambaan bagi setiap calon guru.
Saya selalu berusaha mengingat tentang suatu tujuan, sebuah tujuan yang akan membawa saya untuk meraih apa yang saya inginkan, tujuan untuk menuntut ilmu, karena dengan ilmu dapat mengantarkan kepribadian saya menjadi lebih baik, menjadi pribadi yang bermanfaat, menjadi pribadi yang bisa mengabdi kepada negeri tercinta ini. Saya ingin menjadi guru, agar saya bisa mengganti rasa malu yang ada pada diri saya dengan rasa bangga. Ada sebuah pertanyaan yang hampir selalu terlintas dalam pikiran saya "Apa yang dapat saya berikan untuk negeri ini" pertanyaan itu menjadi salahsatu alasan yang mengantarkan saya untuk memiliki cita-cita menjadi seorang guru. Pernah saya membayangkan ketika para pejuang bangsa rela menumpahkan darahnya hanya demi meraih sebuah kemerdekaan, malu rasanya jika saya hanya bisa berdiam diri, tidak bisa menghargai bagaimana dulu mereka dengan gigihnya merebut kemerdekaan ini. Saya belum mampu mengharumkan nama bangsa ini, saya juga tidak mampu melawan para penjajah yang saat ini menguasai bangsa kita, yang dengan mudahnya merusak moral anak bangsa, dan secara tidak langsung mengajak para generasi penerus bangsa untuk menghancurkan dirinya sendiri bahkan menghancurkan bangsa ini. Rasanya seperti berkhianat jika saya hanya berdiam diri, membiarkan bangsa ini terinjak-injak sampai kehilangan jati dirinya. Dengan alasan itu saya ingin menjadi guru, dengan menjadi guru setidaknya kita bisa mengabdi kepada negeri ini, meskipun pengabdian ini mungkin tidak akan membawa pengaruh besar, tapi setidaknya saya ingin tetap mengabdi dengan cara mendidik para generasi penerus bangsa, mengenalkan mereka pada akhlak-akhlak yang mulia, mengenalkan mereka untuk mengindari sesuatu yang hanya akan mengundang hedonisme, mengenalkan mereka agar mau ikut mengabdi mengharumkan nama bangsa dan mengajak mereka untuk mempertahankannya agar bangsa ini tidak mudah dihancurkan apalagi direbut oleh bangsa lain.
Pengalaman 23 hari menjadi mahasiswa itu sangat berarti bagi saya, pengalaman yang semakin menguatkan tekad saya untuk terus berusaha agar saya bisa menjadi seseorang yang memiliki kepribadian baik, pengalaman yang telah mengajarkan arti sebuah kebersamaan, mengajarkan bagaimana cara memperkuat solidaritas dengan kata peduli, mengajarkan arti kata SATU yang tidak hanya sebuah jargon. Sungguh, sebelumnya saya tidak pernah menyangka tentang makna SATU yang memang begitu kuat, sebuah makna yang begitu menyatukan kami, keluarga Pendidikan Sosiologi. Sebelum saya menjadi mahasiswa, saya mengira bahwa mahasiswa itu individualistis, tapi ternyata saya keliru, perkiraan saya yang menyatakan bahwa mahasiswa sifatnya individualistis itu salah, karena keluarga Pendidikan Sosiologi telah membantah perkiraan saya itu dengan sebuah solidaritas. Bahkan ketika saya belum resmi menjadi mahasiswa ternyata solidaritas itu sudah muncul, solidaritas itu telah menjemput saya untuk bergabung menjadi bagian dari keluarga Pendidikan Sosiologi. Solidaritas itu juga semakin kuat ketika saya benar-benar resmi bergabung menjadi bagian dari mereka. Tidak sampai di sana, ternyata solidaritas itu semakin nyata ketika langkah dari salahsatu anggotanya harus terhenti sejenak. Solidaritas itu ternyata lebih dari empati. Dan solidaritas yang kuat itu menghadirkan rasa bersalah dalam diri saya karena saya merasa telah mengkhianati arti solidaritas ini. Saya tidak bisa melanjutkan kaderisasi yang telah mendidik kami menjadi pribadi yang disiplin, mendidik kami menjadi pribadi yang tangguh, dan semakin mengenalkan kami pada solidaritas yang satu. Kaderisasi yang telah memberikan pengalaman yang berarti, yang telah mengantarkan untuk memiliki sebuah pertanyaan "bagaimana mungkin saya memiliki cita-cita ingin mendidik generasi penerus bangsa menjadi pribadi yang baik jika ternyata saya sendiri tidak mampu menjadi pribadi yang baik?" karena itu saya sangat berharap bisa kembali berjuang bersama keluarga Pendidikan Sosiologi yang memang telah membuat tekad saya semakin kuat dalam meraih cita-cita ini, berjuang kembali dalam menggali sebuah pengalaman yang akan mengantarkan kepribadian ini menjadi lebih baik. [Herti Kurniawati]