Pada
tanggal 9 April 2014 Indonesia akan kembali mencatat moment akbar dalam dunia
politiknya, yakni pemilu dengan harapan seluruh warga negara Indonesia dapat
berpatisipasi dalam moment akbar tersebut. Namun persoalanya saat ini masih
banyak masyarakat Indonesia yang enggan berpartisipasi untuk memberikan
suaranya dalam pemilu atau dengan kata lain memilih golput sebagai pilihan
mereka.
Golput adalah mereka yang berada
dalam posisi antara “Distrust” dan
tidak paham politik sehingga mereka lebih memilih untuk tidak memilih. Lantas
bagaimana nasib negara kita di masa akan datang ? Di satu sisi apabila kita
amati politik dapat mempengaruhi stabilitas aspek kehidupan lain, misalkan suatu
negara tengah terjadi keos dalam kehidupan berpolitiknya yang berimbas pada
kebijakan – kebijakan ekonomi yang pada akhirnya para investor mencabut
sahamnya sehingga banyak perusahaan yang merugi, harga naik dan para karyawan
di PHK.
Harga
kebutuhan pokok yang melambung tinggi, dan para karyawan di PHK situasi ini
akan berdampak bertambahnya kemiskinan serta rendahnya tingkat kesehatan. Merujuk
pada contoh tersebut dengan begitu betapa pentingnya keikutsertaan dalam
berpolitik. “Kejahatan politik terjadi karena mereka yang baik tidak ikut serta
dalam berpolitik” lantas masihkah golput menjadi jawaban untuk pemilu Indonesia
tahun ini.
Pilpres
Amerika tahun lalu angka golput sekitar
30 – 40%. Hal itu dapat dikatakan wajar apabila kita merujuk pada konsep
masyarakat modern yakni memiliki spesialisasi di masyarakatnya, mungkin untuk
urusan politik seperti pemilu dan pilpres mereka menyerahkan pada yang paham politik,
selain itu rata – rata tingkat pendidikan penduduk Amerika tinggi. Namun di
Indonesia tidak dapat seperti itu karena kita berkedaulatan rakyat dan memang
patut kita akui bahwa rata – rata pendidikan penduduk Indonesia masih rendah.
Masa
sekarang adalah masanya inisiatif, maka dari itu mereka yang paham politik
hendaknya memberikan pencerdasaan kepada masyarakat betapa pentingnya
berpolitik salah satunya yakni melalui keikutsertaan dalam pemilu, hal ini
merujuk pada Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan rata – rata pendidikan
penduduk Indonesia yang masih terbilang rendah, nampaknya sudah seharusnya
pendidikan politik diselenggarakan untuk mencerdaskan terutama untuk mereka
yang buta dengan dunia politik, karena memang apabila hal ini tetap dibiarkan
banyak mereka “yang buta” dimanfaatkan oleh oknum yang curang. Sudah barang
tentu usaha mencerdaskan ini akan melibatkan mereka yang paham politik dan
netral, maka dari itu mereka yang paham politik harusnya menjadi katalisator
bepolitik bersih dan cerdas bukan menjadi biang politisi yang kotor. (Zaenal Mustopa, Ketua Biro Media & Penyiaran JMPS UPI)