MENGABDIKAN
DAN “MENGABADIKAN” DIRI LEWAT RAJUTAN KATA-KATA
Oleh: Muhammad Irfan Ilmy
"Orang boleh
pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Pramoedya Ananta Toer[1]
Pramoedya Ananta Toer[1]
Menjadi mahasiswa
merupakan mimpi besar bagi hampir mayoritas pelajar setingkat SMA bahkan SMP
sekalipun. Saya termasuk salah satu orang yang mengidolakan sosok mahasiswa
ketika SMA dulu. Jas almamater yang menjadi kebanggaan mahasiswa menjadi
semacam barang mewah dan terlihat gagah jika dikenakan. Ingin rasanya sesegera
mungkin memakainya dan membuatnya basah dengan keringat perjuangan menjunjung
kebenaran.
Mahasiswa dikenal sebagai
pembela rakyat. Semua orang tahu hal ini dari berbagai sumber bacaan ataupun
media masa—meskipun pihak media terkadang tidak adil memberitakan kejadian
sesungguhnya dan ditambah bumbu-bumbu tertentu. Mereka—mahasiswa—tidak pernah
gentar akan teriknya jalanan. Tidak pernah berkeluh atas ancaman pentungan
petugas. Tidak pernah nyali menciut atas ancaman kematian dari pihak yang
merasa terusik. Mereka mahasiswa yang telah selesai dengan kesibukan dirinya
dan mengabdi untuk rakyat.
Belakangan, ketika saya
pertama kali menginjakan kaki di kampus, memang apa yang di-ekspektasikan tentang sosok mahasiswa
begitu adanya. Namun, ironisnya budaya mahasiswa yang digaungkan sebagai agent of change sekarang mulai bergeser
menjadi mahasiswa yang tukang hura-hura. Di setiap sudut kampus banyak dari
mereka hanya luntang-lantung tidak jelas. Kalangan yang diamanahi sebagai sosial control malah sepertinya jauh
panggang dari api. Kenyataannya berbanding terbalik dengan teori. Mereka
sesekali—bahkan mungkin kerap kali—asyik bermesraan dengan yang disebut teman
wanitanya. Kadang pula diskusi ngalor-ngidul
tanpa topik yang pasti, tanpa moderator.
Bahkan tidak jarang juga hanya berisi overdosis humor hingga ekspresi
pikiran-pikiran kotor.
Hari ini, hanya segelintir
mahasiswa yang masih menyadari perannya tidak hanya untuk belajar di
ruang-ruang kelas saja. Berdasar hal ini, kiranya mahasiswa perlu merekonstruksi pemikirannya
tentang makna dari nama besar yang mereka sandang. Bahwa menjadi mahasiswa
bukan hanya sekadar kuliah-pulang, kuliah tak hanya sebatas ujian di atas
kertas. Namun, mahasiswa sejatinya menjalankan peran sebagai insan yang
dirindukan. Oleh siapa lagi kalau bukan oleh rakyat yang tertindas, rakyat
kecil yang kerap kali hak-haknya diabaikan, rakyat yang tidak mampu berbuat
apa-apa ketika “gajah yang dzalim” menginjaknya secara pelan-pelan.
Mahasiswa merupakan
sebuah “kasta” yang seharusnya berdiri
di pihak rakyat sebagai bentuk balas budi. Bukankah uang kuliah, uang
bangunan—terutama kampus negeri—adalah hasil perasan keringat rakyat? Lalu
ketika rakyat tertindas, rakyat tercekik karena harga BBM naik, mahasiswa ada
di mana? Ada di pihak siapa?
Menulis “memanjangkan usia”
Semua orang bisa
berkata-kata. Setiap hari mustahil tak pernah ada kata yang tidak terlontar
dari mulut manusia—terkecuali mereka yang terbatas tak bisa bicara. Manusia
dengan sebutan makhluk sosial berinteraksi melalui bertukar maksud lewat
kata-kata. Saling menransfer informasi lewat bicara. Namun, dengan aktifitas
yang semua orang bisa melakukannya ini terdapat perbedaan kualitas di dalamnya.
Berbicara, mengobral kata-kata lewat ocehan tak bermakna pasti memiliki nilai
beda dengan berbagi inspirasi melalui tajamnya pena. Lalu mana yang akan kita
pilih, berbicara panjang lebar tapi tidak berguna atau memahat makna melalui
tulisan supaya orang tergerak atau minimal tahu mana yang benar? Bukankah kita
sudah dewasa, pasti tahu mana pilihan yang paling tepat di antara keduanya.
Mahasiswa sebagai insan
terdidik dan merupakan kaum intelektual sudah barang tentu memiliki kapasitas di
atas batas untuk membuka banyak keran kontribusi. Riset-riset, praktik
lapangan, diskusi ke diskusi—di ruang maupun di mimbar-mimbar acara
kemahasiswaan —menjadi bekal bagi mahasiswa untuk berbagi. Dalam hal ini tentu
banyak cara yang bisa dijadikan opsi untuk memberi sebuah arti. Beretorika
menyulutkan semangat melalui orasi. Berkontemplasi menjelajahi imaji untuk
kemudian memahatkannya dalam bait-bait puisi. Atau memilih tidak terlalu banyak
merapal janji namun diam-diam menginspirasi melalui projek sosial sebagai seorang
yang menginisiasi. Termasuk mematrikan ide dan gagasan melalui tulisan. Mana
yang bisa dilakukan dan lebih disukai, maka lakukanlah. Tak ada masalah dengan
pemilihan aksi yang berlainan. Karena sejatinya permasalahannya terletak pada
sikap tidak peduli atas apa yang terjadi. Sikap yang hanya bisa mengutuk gelap namun enggan menyalakan lilin
sebagai penerang.
Tulisan merupakan media
efektif untuk menangkap dialog di jiwa. Tulisan banyak menjadi jembatan yang
menghubungkan keidealan dengan kondisi real yang terjadi. Tulisan
menjadi sebuah sarana untuk berkata-kata tanpa bersuara. Banyak sekali para
pemimpin dan pendahulu bangsa ini yang telah membuktikan—dan menjadi bukti itu
sendiri—betapa melalui tulisan sesuatu yang dianggap mustahil ternyata bisa dilakukan.
Bung Hatta misalnya. Ia menuliskan banyak pemikiran brilliant demi merdekanya Indonesia dari tawanan
kolonialisme.
Berawal dari sebuah
pergulatan pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan menjadi awal bagi sebuah
pembalikan keadaan. Tarian pena yang dipertontonkan di atas kertas putih menjadi
awal bagi runtuhnya sebuah rezim yang bertindak zalim. Melalui tulisan pula
biasanya tercurah berbagai gagasan jenius, kreatif, dan di luar kewajaran.
Hingga tak jarang banyak perubahan besar yang diawali dari proses penghayatan
membaca atas tulisan yang dianggapnya berkesan.
Mari mengabadikan jejak
Ingin dikenang seperti
apa ketika nyawa sudah menguap dan meniada? Jawabnya setiap orang pasti
berbeda. Satu kepala satu isi. Begitupun, beragam kepala pasti isinya pun
beragama pula. Kita tidak pernah akan abadi dalam hidup ini, karena hidup sejatinya
adalah sebuah perjalanan berujung yang dibatasi jatah waktu. Ketika porsi hidup
kita berakhir, maka berakhir pulalah peran kita selaku manusia.
Lalu, setelah kita
hilang dari dunia apakah secara otomatis hilang juga peran kita sebagai
manusia? Bisa iya, bisa tidak. Ketika keberadaan kita selama ini penuh dengan
karya, banyak menebar manfaat bagi sesama, peka terhadap masalah sekitar yang
mendera, apakah secepat itu nama kita hilang? Tentu tidak. Mungkin saja orang
banyak mengenang, mendoakan siang malam karena merasakan percik kebaikan yang
kita nyalakan. Itu gunanya menjadi orang baik, selalu akan dikenang meskipun
sudah tiada.
Kita ingin dikenang
sebagai orang baik, maka lakukanlah hal yang baik. Berbagi, membantu, menjadi
bagian dari solusi, atau menginspirasi. Karena orang yang bekerja tidak hanya
untuk dirinya pasti mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan orang lain—yang
tidak melakukan.
Menulis adalah jalan
yang bisa dipilih untuk mengabadikan jejak bahwa kita pernah menghirup udara
dunia. Melalui tulisan, ide-ide segar kita tentang suatu hal akan tetap bisa
dinikmati generasi berikutnya. Tanpa harus tatap muka dan berpandang mata.
Sebagai mahasiswa,
menulis secara ideal harus menjadi kegiatan yang tidak asing lagi. Mahasiswa
terkondisikan untuk terus menulis karena tuntutan yang mengharuskan. Tugas
mingguan, laporan praktikum, laporan observasi, proposal skripsi, artikel,
hingga pada akhirnya bertemu di titik pembuatan skripsi merupakan sebuah
keniscayaan. Lalu apa jadinya kalau mahasiswa tidak pernah atau tidak suka
menulis, dari mana nilai-nilai mereka berasal kalau bukan hasil copy-paste
pekerjaan temannya? Atau jangan-jangan demikian kenyataannya. Jika pun seperti
itu, maka sedari sekarang perilaku buruk itu harus dihapuskan dari mata rantai
kebiasaan kita. Menulis dengan hasil pemahaman sendiri tentu lebih baik bukan?
Membangun pondasi kebiasaan menulis
Saya termasuk orang
terlambat untuk menyukai proses menulis. Saya memulai menulis cerita pendek
ketika memasuki sebuah UKM Kepenulisan Islam—Al-Qolam UPI. Ketika itu, saya
masih bingung dengan langkah-langkah dan tahapan menulis cerpen itu seperti
apa. Tapi belajar sambil melakukan (learning by doing) ternyata begitu
ampuh untuk mengakselerasi kemampuan kita dalam menulis. Percuma mengikuti
pelatihan kepenulisan sana-sini, baca berpuluh-puluh buku tips dan trik menulis
namun enggan memulai aktivitas menulis. Lalu dari pengalaman pertama itu saya
terus menggilai aktivitas menulis hingga saat ini. Berbagai lomba
menulis—artikel, cerpen, esai, puisi, blog—semuanya pernah dicoba. Meskipun
tidak jarang hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Namun, saya yakin apa yang
dilakukan sekarang tidak pernah akan berujung pada kesia-siaan. Ini adalah
upaya yang sedang dilakukan untuk membangun menara tinggi mimpi menjadi seorang
pekerja kata-kata (baca: penulis).
“Dengan menulis,
ide-ide kita bisa dikenal khalayak luas. Dengan menulis, kita bisa mandiri.
Dengan menulis, maka akal budi, hati nurani, dan jiwa kita bisa “menari” secara
bebas.” Begitu ungkap M. Arief Hakim.[2]
Mulailah menulis!
Menuangkan apa yang berkelebat di alam imaji. Apapun jenis tulisannya—fiksi
maupun non fiksi—itu tergantung minat masing-masing. Percayalah bahwa setiap
manusia diciptakan hanya satu di dunia ini. Pastilah apa yang dilakukan, apa
yang dituliskan memiliki daya beda dengan manusia lainnya.
Teruslah menebar
inspirasi dan kontribusi melalui pahatan kata-kata indah. Menulis menjadi
sebuah pekerjaan untuk keabadian kalau kata Pramodya Ananta Toer. Sementara
itu, Fatima Mernissi[3]
mengatakan “usahakan menulis setiap hari. Niscaya kulit Anda akan menjadi segar
kembali akibat kandungan manfaatnya yang luar biasa”. Begitulah, menulis
merupakan aktivitas yang memiliki segudang manfaat dan keistimewaan. Hingga
wajar kalau Ali bin Abi Thalib berujar bahwa akal orang-orang mulia terletak
pada ujung pena-penanya.
Tidak ada resep yang
paling manjur untuk menyukai aktivitas menulis selain memulai mengetikkan kata
demi kata di selembar layar, atau menarikan pena di atas kertas putih. Ketika
kesulitan untuk menuangkan apa yang dipikirkan menghampiri janganlah lantas
berputus asa. Hal ini tak jarang menghampiri para penulis—terlebih penulis
pemula.
Barangkali membaca
menjadi obat penawar bagi kesulitan ini. Karena kualitas tulisan bergantung
pada sebanyak apa buku atau bahan bacaan yang kita lumat habis. Ingat teori
teko, bahwa apa yang dimasukkan adalah apa yang nantinya akan dituangkan ke
dalam gelas. Ketika kita memasukkan air kopi yang keluar adalah kopi.
Begitupun, ketika susu yang dimasukkan, maka mustahil berubah jadi teh manis.
Lalu apa yang akan dituangkan ketika kita tidak pernah mengisinya dengan
apapun? Maka mulailah perbanyak referensi bacaan kita—tidak sebatas buku namun
tulisan kehidupan dalam bentuk alam raya ini pun bisa jadi referensi.
Mari membuat karya
lewat rajutan kata-kata. Mari menitipkan makna—tersirat dan tersurat—di balik
tulisan-tulisan. Mari mengukir arti dengan jalan menulis.
REFERENSI TULISAN:
Anonim. (2003). Quantum Writing: Cara Cepat nan
Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis. (Hernowo, Ed.)
Bandung: Mizan Learning Center.
Hakim, M. A. (2004). Kiat Menulis Artikel di Media dari
Pemula sampai Akhir. (M. A. Elwa, Ed.) Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia.
Noer. Mohammad.
(2012). Menulis Untuk Keabadian . [Online]. Tersedia:
http://www.muhammadnoer.com/menulis-untuk-keabadian/ , diakses pada 31 April
2015.
[1] Noer. Mohammad. (2012). Menulis Untuk
Keabadian . [Online]. Tersedia: http://www.muhammadnoer.com/menulis-untuk-keabadian/
, diakses pada 31 April 2015.
[2]
Hakim, M. A. (2004). Kiat Menulis Artikel di
Media dari Pemula sampai Akhir. (M. A. Elwa, Ed.) Bandung: Penerbit Nuansa
Cendekia : halaman 14
[3]
Anonim. (2003). Quantum Writing: Cara Cepat
nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis. (Hernowo, Ed.)
Bandung: Mizan Learning Center : halaman 26