Monolog Surat yang Tak Pernah Sampai

 

Monolog Surat yang Tak Pernah Sampai

Oleh: Eldita Rahmayani

 

Ilustrasi Cerpen “Monolog Surat yang Tak Pernah Sampai”

Sumber: Pinterest

Kau tahu? Ada saat-saat ketika aku menulis surat-surat yang tak pernah kukirimkan. Surat-surat yang penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan, rasa yang tak pernah terjelaskan. Salah satu surat itu adalah untukmu. Ya, kamu—seseorang yang perlahan-lahan harus kulepaskan.

Orang-orang sering bertanya, “Mengapa kau masih menulis untuknya?”

Dan aku hanya tersenyum. “Mungkin karena kata-kata adalah caraku merelakan,” jawabku dalam hati. Dalam setiap kalimat yang kutulis, ada jejak kecil dari harapan yang tak lagi pantas dipertahankan. Mungkin, ini adalah caraku berpisah, cara yang sunyi dan pelan, seperti embun yang menguap tanpa suara saat matahari pagi muncul.

Aku tahu, kita tidak lagi berada di jalan yang sama. Mungkin, kita memang tidak pernah benar-benar berjalan bersama, hanya berpapasan dalam keheningan. Kau, dengan duniamu. Aku, dengan dunia yang seharusnya tak lagi mencoba mencapaimu. Namun, tetap saja, aku menulis—bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri.

Respon orang-orang sama setiap kali aku bercerita tentangmu, “Kau pantas mendapatkan yang lebih baik.”

Aku tersenyum tipis mendengar kata-kata itu. “Mungkin. Tapi untuk sekarang, aku hanya ingin belajar melepaskan.” Melepaskan bukan berarti aku mencari yang lebih baik, bukan berarti aku menutup semua yang pernah ada. Melepaskan berarti aku memberi ruang pada diriku untuk bernapas tanpa terus-menerus memikirkanmu. Bukan untuk melupakanmu, tapi untuk berhenti menggenggam bayangmu begitu erat.

Sering kali aku bertanya pada diriku sendiri, “Mengapa sulit sekali melepaskan seseorang yang tak pernah benar-benar menjadi milikku?”

Jawabannya selalu sama—karena kenangan, meski sesingkat apapun, tetap memiliki tempat dalam hatiku. Kau mungkin tidak pernah tahu, atau mungkin tidak pernah peduli. Namun, aku akan terus menulis surat-surat ini, sampai saat di mana aku bisa melihat namamu tanpa ada rasa debar, tanpa ada keinginan untuk mencarimu di setiap sudut pikiranku.

Aku menulis surat ini sebagai pesan terakhir, walaupun aku tahu kau tak akan pernah membacanya. Ini bukan tentangmu lagi, ini tentang diriku yang perlahan-lahan harus belajar bahwa perpisahan adalah bagian dari perjalanan.

Aku menyadari, tidak semua rasa harus berakhir dengan kesedihan. Kadang, rasa itu hanya perlu dihargai, dinikmati, dan disyukuri. Jadi, surat ini bukan tentang melepas atau mengakhiri, melainkan tentang merayakan semua yang telah terjadi. Setiap detik yang kulalui dengan memikirkanmu, setiap momen kecil yang membuatku tersenyum adalah bagian dari kebahagiaan yang tak akan pernah kusesali.

Kau mungkin tidak tahu, atau mungkin tidak peduli. Tapi itu tidak masalah. Semoga kita dipertemukan kembali di lain waktu, di ruang yang penuh harapan dan kebahagiaan.

Jadi, inilah pesanku untukmu: Terima kasih telah hadir, bahkan tanpa kau sadari, telah membawa begitu banyak kebahagiaan dalam hidupku.