Warisan Sejati Itu Jejak Intelektual
Oleh :
Nenden Maesaroh
Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan
pula rakyat biasa karena sebutan kaum intelektual tersemat pada seseorang yang
belajar di tingkat perguruan tinggi, Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di
lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat.
Bila hari ini mereka yang dianggap mahasiswa adalah sekumpulan
mahasiswa yang melakukan aksi longmarch
di jalanan menuju ke gedung-gedung instansi pemerintahan, lengkap dengan spanduk
bertuliskan aspirasi mereka, meneriakkan yel-yel sindiran kepada pihak-pihak
yang dianggap bertanggung jawab atas suatu persoalan, lantas kita bisa apa sebagai mahasiswa yang hanya memiliki keinginan agar
bangsa ini tidak menjadi bangsa yang semakin terpuruk? Mayoritas mahasiswa tidak
memiliki waktu untuk bergerak melakukan aksi longmarch seperti yang dilakukan mahasiswa belakangan ini terkait
keputusan pemerintah yang menaikkan harga BBM.
Pertanyaannya, Apakah kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa saat
ini sudah layak disebut sebagai upaya yang maksimal guna melakukan perannya
sebagai agen perubahan, agen pengontrol, agen penerus, juga agen penjaga moral?
Sebagai generasi yang harus membawa perubahan, beragam cara dapat dilakukan
oleh mahasiswa, aksi demo bukanlah satu-satunya cara. Tidak ada yang salah dengan
demo selama pelaksanaannya tidak berlangsung anarkis, namun selain tindakan secara
langsung itu masih banyak cara lain yang justru akan lebih menegaskan citra
mahasiswa sebagai kaum intelektual yang efektif dan solutif salah satunya adalah
dengan menuangkan aspirasi, solusi serta respon terhadap persoalan yang terjadi
melalui sebuah tulisan.
Kaum intelektual, itulah predikat yang sering disematkan oleh
khalayak kepada sosok mahasiswa. Sebagai kaum intelektual, salah satu syarat
yang harus dimiliki adalah dapat berpikir secara logis dan sistematis kemudian
menemukan gagasan atau ide dari hasil pemikirannya. Gagasan atau ide tersebut
biasanya diungkapkan melalui tulisan. Begitulah seorang Eko Apriansyah
menuliskan pandangannya mengenai sosok mahasiswa dalam Modul Pembelajaran Menulis Esai nya.
Seorang mantan aktivis juga penulis bernama Hilal Ahmad pernah mengatakan
bahwa menulis selain perkara merangkai kata, juga membantu manusia menemukan jati
dirinya. Melalui menulis pula, tumbuh kesadaran untuk menyikapi keadaan dengan bijak,
tanpa harus repot-repot berdiri di depan gedung dewan, membawa spanduk, dan berteriak-teriak
serta kepanasan.
Apa yang disampaikan oleh Hilal Ahmad itu senada dengan apa yang
diutarakan oleh bapak pluralisme dan multikulturalisme Indonesia, K.H
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurut beliau dalam menghadapi
suatu persoalan bila tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata maka cobalah untuk
mengungkapkannya dengan tulisan. Suatu ketika, Alm. Gusdur pernah membagikan pengalaman yang unik tentang istrinya.
Kabarnya saat istrinya sedang marah, maka Gusdur menulis surat yang berisikan permohonan
maaf. Beliau menjelaskan bahwasanya seseorang yang sedang marah akan sangat sulit
menerima pendapat atau pembelaan secara langsung, maka lewat tulisanlah beliau mencoba
untuk berkomunikasi dengan istrinya.
Mengkomunikasikan pesan secara efektif inilah fungsi serta kelebihan
tulisan, Seno Gumira Ajidarma mengungkapkan pendapatnya dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara,
menurutnya menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata,
suatu cara untuk menyapa,suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang
bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.
Mahasiswa dengan beragam bakat serta ilmu yang didapatnya, sangat berpotensi
melahirkan tulisan-tulisan yang memuat solusi atas beragam persoalan yang menimpa
negeri ini, mulai dari tulisan sastra yang ringan seperti puisi, cerpen, maupun
lirik lagu yang mengandung nilai-nilai positif untuk di sebarluaskan kepada
masyarakat, sampai kepada tulisan yang lebih berbobot seperti artikel untuk
Koran, esai, petisi, naskah berita maupun buku yang mengandung nilai-nilai
kritik sosial untuk pemerintah dalam menanggapi isu kebijakan-kebijakan yang
merugikan masyarakat.
Akan membanggakan ketika peran mahasiswa sebagai agen perubahan bukan
hanya tergambarkan sebagai sekumpulan anak muda memakai jas alamamater kampus
yang melakukan aksi demo di jalanan dan menimbulkan kemacetan yang secara tidak
langsung justru ikut menyengsarakan rakyat karena kegiatan ekonominya tersendat
aksi demo. Mari kita ubah citra mahasiswa selain kritis, demokratis dan aspiratif
tetapi juga solutif melalui tulisan agar masyarakat tidak kehilangan harapan serta
kepercayaannya terhadap mahasiswa sebagai perisai rakyat.
Salah satu penulis kebanggaan Indonesia yaitu Pramoedya Ananta
Toer pernah berkata bahwa orang boleh pintar setinggi langit, tapi selama ia tidak
menulis ia akan terhapus oleh peradaban. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Hal ini menyadarkan kita, darimana orang-orang akan tahu tentang sejarah
dan bagaimana seseorang bisa memahami tentang sejarah sedangkan kebanyakan
orang-orang pelaku sejarah telah lama tiada dan tidak ada satu orang pun yang
dapat menjelaskan secara rinci tentang kehidupan masa lalu. Jika demikian, maka
hanya melalui tulisan seseorang dapat mempelajari kehidupan masa lalu untuk kemudian
diambil hikmah dan pelajaran untuk mengambil keputusan dan tindakan yang tepat
di masa yang akan datang. Hal ini lebih dari cukup untuk menjelaskan urgensi sebuah
tulisan dalam sebuah peradaban di masyarakat, Menggabungkan dua elemen penting masyarakat
yaitu mahasiswa dan tulisan adalah warisan yang sangat berharga untuk para
generasi di masa mendatang. Juga berarti meninggalkan sebuah jejak yang akan menuntun
seseorang bahkan sebuah bangsa pada kehidupan yang lebih beradab sekaligus bersejarah.
Kita dapat berkaca pada Kartini dan tulisannya. Andai Raden Adjeng
Kartini tidak pernah menorehkan tulisan-tulisannya, mungkin ia tak akan pernah
dijadikan simbol pelopor perjuangan kaum wanita dalam memperoleh persamaan gender.
Habis Gelap Terbitlah
Terang ( Door Duisternis tot Lich ). Buku
inilah yang membuat Kartini dikenal. Buku yang berisikan kumpulan surat-surat
Kartini yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Lewat
tulisan-tulisannya, Kartini menggambarkan betapa kuat keinginannya untuk
menghapus diskriminasi bagi kaum perempuan di zaman itu. Hingga akhirnya, untuk
menghormati jasa-jasanya dikenanglah hari Kartini setiap 21 April. Apa yang bisa
dipetik dari sejarah seorang kartini? betapa menulis mampu mengubah kehidupan sebuah
kaum juga bangsa. Sejarah Kartini mengingatkan kita, ia bukanlah pejuang yang
berlaga di medan perang, ia adalah pejuang kaumnya yang menuangkan pemikirannya
melalui tulisan untuk sebuah kehidupan baru.
Sejarah juga mencatat bagaimana seorang Mostequieu dan Rousseau
yang mencurahkan pemikirannya dengan menulis buku yang masing-masing berjudul L’Esprit des Lois (Jiwa Undang-undang) berisi
trias politica yang masih digunakan
sampai saat ini dan Du Contract Sosial
(Perjanjian Masyarakat) yang salah satu isinya adalah mengenai faham demokrasi.
Kedua buku ini berhasil mengantarkan Mostesquieu dan Rousseau menjadi tokoh
pembaharu dan mendorong terjadinya Revolusi Perancis yang membawa dampak bukan
hanya bagi Perancis tetapi juga bagi dunia sampai sekarang.
Berawal dari sebuah naskah berjudul Common Sense karangan Thomas Paine mengawali tiga resolusi yang
diajukan oleh Richard Hendry Lee seorang delegasi dari negara bagian Virginia
pada kongres kedua masa Revolusi Amerika, draft
yang kini dikenal sebagai Declaration of Independent ini kemudian membidani
kelahiran Revolusi Amerika.
Communist Manifesto sebuah buku yang akhirnya menjadi bacaan dunia, sebuah tulisan
hasil pemikiran Karl Marx bersama sahabat karibnya, Friederich Engels. Pada
saat ini sekitar seabad sesudah kematian Marx, jumlah manusia yang sedikitnya
terpengaruh oleh Marxisme sudah mendekati angka 1,3 Miliar orang. Salah satu
penganut Marxisme paling nyata adalah Lenin, melalui pikiran dan tindakannya
yang agresif-revolusioner, Lenin membantu tegaknya komunisme di Russia pada
Revolusi 1917.
Bukti lain kehebatan sebuah tulisan ada di negeri kita sendiri,
sebuah petisi yang ditulis oleh Soetardjo Kartohadikusumo, seorang wakil dari Pangreuh Praja Kolonial dalam volksraad di masa pemerintahan
Hindia-Belanda. Soetardjo berusaha menyampaikan aspirasinya, yang secara tidak
langsung juga aspirasi rakyat bumiputra Hindia dalam sebuah petisi kepada
pemerintah kolonial.
Apa yang ada di dalam kepala Soetardjo adalah keinginan untuk menciptakan
sebuah hari baru yang lebih baik bagi Hindia. terlepas dari berhasil atau
tidaknya rencana tersebut. Kendati gagal bahkan dicap mengemis pada pemerintah
kolonial, petisi Soetardjo dan kampanye menuntut ‘Indonesia Berparlemen’ adalah
jalan menuju perubahan bagi Hindia Belanda tanpa menumpahkan darah. Perubahan
yang menujukkan kecerdasan bangsa Indonesia. Perubahan bagi demokrasi Hindia.
Keinginan berparlemen adalah keinginan yang sejalan dengan semangat demokrasi,
kendati itu diminta oleh rakyat jajahan. Sekiranya petisi dikabulkan Hindia
akan mengalami proses demokratisasi lebih cepat.
Tanggal 9 Juli 1936, Petisi Soetardjo dibacakan untuk pertama
kali, dijadikan sebagai momentum demokrasi bangsa Indonesia yang tengah belajar
lebih banyak apa itu demokrasi. Inilah cara mengenang Soetardjo dan idenya yang
tertuang dalam petisinya yang menggemparkan Hindia dan Negeri Belanda.
Tidak heran Ridwan Hardiansyah mengemukakan pendapatnya tentang
menulis untuk peradaban. Beberapa saya kutip kembali tentang besarnya pengaruh
tulisan bagi peradaban sebuah bangsa bahkan bagi dunia,
“Melalui tulisan, manusia
beralih dari zaman prasejarah menuju sejarah. Peradaban berkembang semakin
cepat karena huruf-huruf yang tergores mulai dari dinding, daun, kertas, sampai
yang tersimpan secara digital. Dengan tulisan, masa lalu dapat dipelajari
sehingga bisa diperbaiki. Peradaban modern telah mensyaratkan manusia untuk
menulis. Menulis menjadi pekerjaan sehari-hari. Sejak berusia muda, manusia sudah harus mulai mengenal huruf,
angka, dan beberapa tanda baca yang melengkapi keduanya. Semakin maju
peradaban, tulisan menjadi semakin penting. Melalui tulisan, manusia menuangkan
pemikiran. Dan pemikiran menjadi semakin berkembang. Alhasil, peradaban pun
berkembang, melalui tulisan. Pada akhirnya, manusia itu sendiri yang mendapat
manfaat dari perkembangan peradaban.”
Sehebat itulah kekuatan sebuah tulisan. Maka menulislah hai
Mahasiswa! buatlah pergerakkan dengan cara yang lebih intelektual, kaum
intelektual sudah seharusnya meninggalkan jejak intelektual pula. Tinggalkan
lebih banyak jejak-jejak perjuangan intelektualmu untuk generasi baru di masa
mendatang sehingga dunia akan mengabadikan nama mu sebagai pelaku sejarah yang
membawa kemaslahatan.