Disana Sini Bayar


[Opini JMPS]

Biaya pendidikan mahal. Seberapa sering kita mendengar pernyataan tersebut? Entah itu orang desa atau kota, miskin atau kaya, tua atau muda semua setidaknya pernah mengatakan hal itu, atau mirip dengan pernyataan itu. Paling banter bila tidak diucapkan pasti kita semua pernah memikirkan atau merasakan hal tersebut. “Kita” disini adalah Warga Negara Republik Kesatuan Indonesia. Saya yakin itu. Sungguh malang nasib kita.

 “...Mencerdaskan Kehidupan Bangsa,” Setidaknya itu yang kita tahu pernah gempar ‘didongengkan’ orang-orang hebat yang membangun bangsa besar ini dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, namun sayangnya era sekarang ucapan manis itu hanya sampai diteriakan para pemegang kekuasaan atau hanya jadi slogan di spanduk pinggir jalan. Nahas memang.


 Indonesia kini memang terkesan berusaha keras memajukan kecerdasan bangsanya, walaupun itu hanya sampai di kesan saja, karena pada kenyataannya pendidikan yang sudah diwajibkan 12 tahun itu, masih saja membebani warga negara.

 Terbukti membebani karena kenyataannya pendidikan masih mejadi ‘barang mewah’ untuk sebagian warga negara terutama mereka yang hidup dibiarkan terikat di bawah garis kemiskinan. Memang benar biaya sekolah gratis, tapi cuma sampai segitu saja. Mereka (pemegang kekuasaan) pikir yang harus dibiayai adalah SPP saja, lalu apa kabar dengan seragam, buku, alat-alat penunjang lainnya, dan sarana juga transportasi untuk mencapai sekolah itu? Yah kalau dipaparkan lebih luas ada banyak sekali bukti nyata bahwa sekolah itu masih terlalu mahal, apalagi pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti perguruan tinggi.

 Logika sederhananya, bila suatu bangsa mempersulit warganya untuk memperoleh pendidikan maka artinya bangsa itu tidak mau warganya cerdas, lebih jauhnya lagi bangsa itu sendiri tidak mau untuk maju. Ini sungguh berbanding terbalik dari cita-cita yang tadi dibahas. Mungkin ini fakta dari ucapan anak-anak alay yang sering diberi harapan palsu oleh pasangannya, “Ekspektasi yang jauh dari realita...”.

 Kalau memang mencerdaskan kehidupan bangsa dengan waktu 12 tahun saja, pendidikan formal masih jauh dari cukup. Coba kita belajar ‘cemburu’ pada bangsa-bangsa yang sudah maju atau setidaknya pada bangsa-bangsa tetangga yang mulai bergerak menuju kemajuan.

Mereka memfasilitasi warganya untuk mendapat pendidikan sebaik dan setinggi mungkin. Dan bagaimana dengan bangsa kita? Sayangnya semakin tinggi pendidikan menjadi semakin luar biasa mahal juga biayanya.

 Mari kita kerucutkan sudut pandang pada suatu contoh perkara yang tengah terjadi  di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terkemuka di Bandung ini banyak sekali ‘menjegal kecerdasan bangsa’. Apa buktinya? Akademisi di UPI sangat sering sekali mengeluh, bukan karena mereka suka mengeluh, namun memang banyak sekali hal yang harus dikeluhkan terhadap otoritas UPI.

 Contohnya, fasilitas di PTN ini sudah sangat lengkap baik itu fasilitas akademis maupun non-akademis. Namun, sayangnya para pemegang kekuasaan disana sepertinya ‘geli’ bila fasilitas itu digunakan tanpa ada tarif untuk pemasukan kas kampus, atau mungkin ke kantung para oknum. Sebuah kemungkinan yang sangat besar.

 Penggunaan beberapa tempat saja diminta dana yang katanya untuk perawatan dari fasilitas tersebut. Seperti fasilitas olahraga kolam renang, entah itu pengunjung atau akademisi UPI itu sendiri harus bayar. Mungkin bila pengunjung bayar itu masih masuk akal, namun ini para akademisi yang hakikatnya adalah tuan rumah dan ‘pemilik’ fasilitas itu sendiri.

 Masalah bayar membayar ini bukan karena para akademisi (khususnya mahasiswa) tidak mau membayar, namun mereka semua mulai mempertanyakan apakah UPI sudah tidak sanggup lagi membiayai hal-hal tersebut? Karena selama ini mahasiswa membayar biaya kuliah tiap semesternya, lalu kemana uang-uang itu? Padahal jumlahnya pasti sangat besar mengingat rata-rata mahasiswa UPI membayar biaya kuliah per-semester sekitar lima puluhan lembar ‘uang warna merah’.

Coba hitung saja jumlahnya dikali jumlah mahasiswa UPI Bandung dan ditambah kampus-kampus daerah lainnya. Bisa dibilang itu mega education business yang menghasilkan uang yang sangat besar.

 Yang paling hangat akhir-akhir ini diperbincangkan adalah tentang masalah biaya parkir. Terhitung Minggu, 2 April 2017 parkir di UPI harus bayar, dan diberlakukan kepada pengunjung UPI. Memang masalah sederhana, karena banyak juga parkiran di beberapa tempat itu menggunakan sistem berbayar. Tapi kembali lagi apa biaya itu diperlukan?  Mari kita kaji.

 Otoritas yang menangani permasalahan ini adalah K3 (keamanan dan ketertiban kampus) UPI menjelaskan bahwa tarif parkir ini berlaku hanya untuk ‘orang luar’.

Dijelaskan bahwa untuk ketertiban maka biaya parkir ini dianggap perlu karena banyak warga sekitar atau pengunjung yang menganggap parkiran UPI yang memang cukup luas itu sebagai parkiran pribadi ketika mereka sering menyimpan kendaraan sampai berhari-hari disana. Memang itu bukan masalah besar, tapi ketika hal yang tidak diinginkan terjadi seperti pencurian atau pengrusakan terjadi tetap saja pihak UPI yang disalahkan. Lalu apakah benar hal ini hanya untuk ‘orang luar’?

 Efendi seorang mahasiswa angkatan 2016 mengungkapkan bahwa dirinya pernah diminta biaya parkir, “Saya pernah bayar parkir pas pulang dari kampus, ngeliat motor yang di depan saya bayar yah saya ikut juga bayar. Mungkin saya disangka pengunjung” ujarnya.

Lain cerita dengan seorang mahasiswa bernama RA (tidak mau disebut nama) angkatan 2015, “ayah saya pernah bayar parkir ketika sesekali mengantarkan saya ke kampus. Memang tidak secara langsung dimintai tapi memang sedikit beda perlakuan para satpam ketika ayah saya tidak membayar, ada sikap sedikit ‘judes’ dan juga isyarat-isyarat kecil meminta uang. Kalau pakai mobil itu sudah rutin kita bayar setidaknya 5 ribu rupiah.” Ujarnya.

Selain itu banyak lagi contoh-contoh kecil yang membuktikan bahwa tujuan dan fakta yang terjadi tidak sesuai. Sedikit sindiran dari beberapa mahasiswa pernah terdengar oleh saya “sekarang parkir bayar, nanti apa lagi? Ke toilet bayar? Atau bahkan parahnya ke mesjid kita harus pakai tiket...”.

 Ini memang aturan yang sangat logis apalagi bila dilaksanakan dengan tepat sasaran. Setidaknya dengan adanya isu ini dari segi positif dapat menciptakan ketertiban yang cukup adil bagi semua pihak. Namun dampak negatifnya bila hal ini dijadikan ‘senjata’ oleh para oknum untuk melakukan pungutan liar kepada pihak yang tidak seharusnya membayar (akademisi/mahasiswa).

 Tentang biaya parkir sendiri sebenarnya bukan isu baru di UPI, tahun 2011 lalu hal ini juga pernah ramai diperdebatkan disana. Namun sepertinya itu tidak sampai diresmikan jadi aturan tetap. Namun setelah itu biaya parkir masih terus berjalan meskipun tidak masif dan prakteknya sembunyi-sembunyi. Menyadari permasalahan ini maka mahasiswa UPI mulai melakukan pergerakan.

 Melalui Aliansi Mahasiswa UPI yang terdiri dari beberapa aktifis dan organisasi kampus mengeluarkan 3 Tuntutan Mahasiswa UPI (TRITUMA) yang berisi tuntutan; Cabut surat edaran UPT K3 UPI no.076/UN40.L.2/PW/2017 tentang Tata Kelola Parkiran, cabut peraturan Re UIktor no. 6893/UN/HK/2016 tentang Sistem Keamanan dan Ketertiban Kampus, dan berikan akses gratis bagi mahasiswa untk menggunakan sarana dan prasarana di UPI. Ketiga tuntutan itu terus diperjuangkan oleh Aliansi Mahasiswa UPI untuk segera ‘di-indahkan’ oleh pihak otoritas UPI.

 Pergerakan mahasiswa dan tulisan ini tercipta bukan sebagai sarana untuk mengeluh dan beralasan terhadap sebuah aturan. Bukan juga untuk mencari-cari keburukan. Ini adalah sebuah bentuk kesadaran ketika hal yang tidak sesuai terlalu dipaksakan untuk diterapkan maka hal itu hanya akan berujung kekacauan. Mengutip perkataan dari Lenang Manggala “Kebenaran mungkin memang bisa disembunyi-belok-salahkan. Tapi kebenaran, selamanya tak kan pernah bisa dikalahkan.”

Hidup Pendidikan Indonesia...

*Oleh Samsul Rizal
(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2016)

#OpiniJMPS
#JMPSASIK
#HMPSDekatBermanfaat
#TritumaUPI