#OpiniJMPS
Akhir-akhir ini kampus kita sedang digegerkan dengan keputusan rektor yang berkaitan dengan pengaturan tarif parkir. Mulai dari berbagai postingan media sosial, suara-suara aspirasi melalui berbagai rubrik penyaluran, hingga artikel dan esai yang nyaris semuanya mengkritik keputusan ini dari berbagai sudut pandang.
Di
lingkungan Prodi Pendidikan Sosiologi sendiri, tulisan terbaru tentang keputusan
ini ditulis oleh Samsul Rizal dalam rubrik Opini JMPS. Tulisannya banyak
mengkritik tentang ketidakjelasan pembiayaan parkir—dengan sebuah pertanyaan
yang mendasar, “Setelah kita bayar, kemana uangnya?”
Hal
ini diangkat karena menurutnya, lengkapnya fasilitas penunjang di kampus UPI
Bandung sering diiringi dengan rasa ‘gatal’, rasa ‘haus’ jika fasilitas
tersebut dipergunakan secara gratis. Ia berpendapat bahwa adalah hal yang tidak
pantas jika akademisi di rumah sendiri harus mengeluarkan uang untuk menggunakan
fasilitas sendiri. Jika disinggung lebih jauh, hal ini tentu saja akan mengarah
pada ketidakjelasan alur pembayaran Uang Kuliah Tunggal oleh para mahasiswa.
Surat
edaran dari pihak UPT K3 UPI selaku pihak pelaksana kebijakan ini, bernomor
076/UN40.L.2/PW/2017 mengenai Tata Kelola Parkiran serta Peraturan rektor Nomor
6893/UN/HK/2016 mengenai Sistem Keamanan dan Ketertiban Kampus nampaknya
menjadi suatu hal yang kontroversial. Bahkan, kelompok yang menamai dirinya
Aliansi Mahasiswa UPI menuntut agar kedua hal tersebut dicabut, serta menuntut
agar pihak kampus memberikan akses gratis bagi mahasiswa untuk menggunakan
sarana dan prasarana di lingkungan Bumi Siliwangi.
Nampaknya,
dari banyak sekali opini dan artikel yang bertebaran, tidak semua orang memahami
betul tentang kebijakan baru ini. Selain itu, belum ada sebuah tulisan yang
menjadi penengah, berusaha memahami berbagai sudut pandang dari aktor-aktor
yang terlibat dalam perseteruan ini, serta menyodorkan sebuah alternatif jalan
keluar yang menguntungkan semua pihak. Sebagai seorang sosiolog, saya
berinisiatif menulis sebuah tulisan dengan harapan tulisan ini mampu menjadi
alternatif nonetis dimana solusi yang disodorkan tidak menguntungkan pihak
tertentu saja, namun seluruh pihak.
Sebenarnya, Ada
Apa?
Tiga
pertanyaan yang fundamental dalam sebuah kajian filsafat ilmu adalah apa, mengapa dan bagaimana. Nampaknya ketiga pertanyaan tersebut menjadi dasar dari
tulisan penulis kali ini. Kita akan mendiskusikan apa yang sekarang sedang
terjadi.
Berdasarkan
surat edaran nomor 076/UN40.L.2/PW/2017 dari UPT K3 UPI, mulai bulan April 2017
(terhitung 2 April 2017) pihak UPT K3 UPI akan memberlakukan tata kelola
perparkiran dengan ketentuan sebagai berikut.
1.
Setiap
kendaraan roda dua karyawan, dosen, orang tua pengantar siswa-siswi Lab. School
dan Mahasiswa/Pelajar yang masuk akan diberlakukan pendataan dnegan menunjukkan
STNK, KTM (bagi Mahasiswa), SK Pegawai atau Identitas Diri ke Kantor UPT K3
UPI.
2.
Setiap
kendaraan roda empat karyawan, dosen, serta orang tua pengantar siswa-siswi
Lab. School akan diberlakukan pendataan serupa dengan poin pertama dalam
rangkuman ini.
3.
Waktu parkir
di kampus UPI adalah hingga pukul 21.00 WIB. Kendaraan yang diparkir hingga di
atas waktu yang ditentukan akan dikenakan tarif per malam.
4.
Tamu hotel,
pengunjung, pengantar dan masyarakat umum (serta mahasiswa pengguna kendaraan
roda empat) yang menggunakan fasilitas parkir akan dikenakan tarif.
5.
Barang-barang
berharga seperti helm milik karyawan, dosen, mahasiswa dan pelajar dititipkan di
fakultas atau lembaga unit masing-masing.
Selain
itu, jika kita keluar dari kampus UPI dengan menggunakan sepeda motor melalui gate II (Museum), kita dapat menyaksikan
sebuah pengumuman tertulis tentang tarif parkir kendaraan roda dua, yakni
sebesar Rp2.000,00 (mohon koreksi apabila terdapat kesalahan).
Aturan
ini nampaknya belum luas disosialisasikan kepada para mahasiswa, karyawan,
dosen dan masyarakat (baik umum maupun pengantar) serta para pelajar, sehingga
sering terjadi kesalahan dalam penerapan dan penagihan biaya parkir. Mahasiswa
yang melihat pengemudi di depannya membayar parkir akan ikut membayar parkir
juga, setidaknya itu yang disampaikan oleh tulisan milik Samsul Rizal.
Selain
itu, banyak sekali mahasiswa yang memprotes kebijakan ini. Kelompok mahasiswa
yang menamai dirinya Aliansi Mahasiswa UPI menyerukan sebuah tuntutan terhadap
pihak kampus. Tuntutan ini tersebar luas di media sosial, dan dijadikan display picture beberapa orang teman
penulis di media sosial LINE. Isi dari tuntutan tersebut, yang mereka namai Trituma, tiga tuntutan aliansi
mahasiswa UPI, adalah sebagai berikut.
1.
Pencabutan
surat edaran K3 UPI no. 076/UN40.L.2/PW/2017 tentang tata kelola perparkiran;
2.
Pencabutan
peraturan rektor no. 6893/UN/HK/2016 tentang sistem keamanan dan ketertiban
kampus;
3.
Pemberian
akses gratis bagi mahasiswa untuk menggunakan sarana dan prasarana yang
tersedia di kampus UPI.
Selain
itu, tersebar juga himbauan untuk melakukan pendataan di kantor UPT K3 UPI. Hal
ini ditujukan agar pihak pelaksana peraturan dapat mengidentifikasi yang mana
masyarakat umum dan yang mana mahasiswa, sehingga penerapan biaya parkir dapat
dilakukan dengan sasaran yang tepat. Untuk melakukan pendataan, kita dapat
bertamu ke kantor UPT K3, dengan membawa fotokopi STNK serta fotokopi kartu
identitas.
Pada
praktiknya, masih banyak mahasiswa yang, walaupun tidak diharuskan membayar
uang parkir, ternyata malah membayar uang parkir. Alasannya beragam, bisa jadi
karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak harus membayar, ikut-ikutan pengemudi
kendaraan yang ada di depannya, atau memang terdapat oknum yang menagih uang parkir kepada mereka. Oknum ini tentu bukan tanpa alasan—mungkin saja ia menyangka bahwa
mahasiswa ini adalah masyarakat umum, atau mungkin, ada alasan lain. Selain
itu, ada juga masyarakat umum yang tidak membayar parkir, dengan pola dan
penyebab yang kurang lebih serupa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan
aturan ini belum menyeluruh, mungkin karena baru satu hari diterapkan.
Mengapa hal ini
bisa terjadi?
Mari
kita ulas pertanyaan menarik ini dari beberapa sudut pandang: sudut pandang
mahasiswa (khususnya yang memposisikan diri kontra dengan kebijakan ini), sudut
pandang masyarakat umum, sudut pandang karyawan dan dosen pengantar, serta
sudut pandang pihak universitas selaku penyelenggara kebijakan.
Para
mahasiswa di UPI nampaknya dapat digolongkan menjadi tiga: mereka yang tidak
ambil pusing akan kisruh kebijakan ini (kelompok A), mereka yang dengan aktif
maupun pasif menolak kebijakan ini (kelompok B), dan mereka yang tidak mengerti
apa yang sedang terjadi (kelompok C). Kelompok A nampaknya tidak mau mengambil
pusing akan kebijakan ini dan memilih untuk mengikuti aturan yang ditetapkan.
Kelompok C, karena mereka tidak memahami betul apa yang sedang terjadi, memilih
untuk bersikap acuh tak acuh menyikapi kebijakan ini. Mereka memilih untuk
mengikuti apa yang dihadapkan pada mereka.
Namun
di sisi lain, kelompok B adalah kelompok yang paling vokal. Mereka dengan aktif
memprotes kebijakan ini karena berbagai alasan: kebijakan ini dirasa tidak adil
karena secara moral, mereka akan mempertanyakan, sebenarnya untuk apa mahasiswa
membayar Uang Kuliah Tunggal jika dalam menggunakan fasilitas sehari-hari saja
mereka masih harus membayar? Kemana larinya uang yang sudah dibayarkan pada
pihak UPT K3 UPI? Mengapa masih ada mahasiswa yang dimintai tarif parkir?
Mengapa sikap pihak UPT K3 berubah secara keramahan jika mahasiswa menolak
membayar uang parkir?
Berbagai
pertanyaan melatarbelakangi protes yang dengan aktif diluncurkan mahasiswa yang
termasuk ke dalam kelompok B. Pada intinya, mereka merasa bahwa dalam aturan
ini terdapat banyak ketidakjelasan dan kecacatan sehingga pada praktiknya, jika
aturan ini tetap dilaksanakan apa adanya, akan membuka peluang lebar untuk
berbagai rupa tindak penyelewengan. Jika tidak ada ketidakjelasan dan
celah-celah dalam kebijakan yang diterapkan, Aliansi Mahasiswa UPI tidak akan
merasa tidak puas dengan aturan ini dan mengeluarkan Trituma. Iya kan?
Masyarakat
secara umum tidak mempermasalahkan tarif parkir yang diterapkan di kampus UPI.
Beberapa orang yang penulis wawancarai (nama tidak bersedia untuk disebutkan)
menuturkan bahwa penerapan tarif parkir di kampus ini bukanlah hal yang
mengejutkan, sebab pada hakikatnya UPI adalah sebuah kampus, sebuah fasilitas
umum, dan adalah hal yang wajar jika tarif parkir diberlakukan. Menurutnya,
uang yang dibayarkan akan digunakan untuk pengelolaan fasilitas parkir yang ada
di UPI. Bahkan ada yang menuturkan, bahwa akan bagus jika di lapangan parkir
UPI dibuat sedemikian rupa sehingga kendaraan yang terparkir tidak akan basah
jika hujan turun.
Hal
senada dilontarkan juga oleh beberapa orang karyawan dan dosen. Meski demikian,
kelompok karyawan dan dosen tertentu juga mempertanyakan penerapan aturan ini,
sama halnya dengan mahasiswa yang tergolong ke dalam kelompok B, namun secara
umum karyawan, dosen dan orang tua pengantar siswa-siswi Lab. School UPI tidak
mempermasalahkan hal ini demikian jauh.
Tebakan
penulis atas alasan yang mungkin akan dilontarkan oleh pihak universitas jika
ditanyai, apa hal yang melatarbelakangi
dibentuknya kebijakan ini?, ada dua. Pertama, bahwa terdapat kekurangan kas
untuk kegiatan operasional parkir di UPI, serta kekurangan biaya untuk
membiayai berbagai hal lain di lingkungan kampus UPI. Kedua, oleh karena sering
diadakannya berbagai acara yang melibatkan masyarakat umum di kampus UPI, serta
untuk menertibkan masyarakat yang parkir di lingkungan kampus UPI, pihak UPT K3
UPI memutuskan untuk mengadakan tarif parkir dalam rangka menertibkan para
pengguna parkir.
Mari
kita kaji lebih dalam kedua kemungkinan tersebut.
Dalam
kemungkinan pertama, tarif parkir diberlakukan karena ada kekurangan dana untuk
operasional kegiatan kampus. Akan banyak sekali pro dan kontra yang mengiringi pernyataan
ini, jika pernyataan ini diulas kembali oleh mahasiswa atau pengulas lainnya.
Pikirkan baik-baik, tidak mungkin tarif parkir diberlakukan jika tidak ada
kekurangan dalam hal kas di pihak universitas, kan? Setidaknya itulah logika,
pertanyaan yang tersirat dalam tebakan penulis yang pertama, yang menyokong
diusungnya tebakan penulis tersebut.
Dalam
kemungkinan kedua, bahwa tarif parkir diberlakukan untuk menertibkan masyarakat
yang menggunakan parkir, ada beberapa pernyataan yang mendukung. Banyaknya
masyarakat yang parkir sering mengakibatkan masalah baru, seperti tidak
tersedianya lahan parkir untuk mahasiswa, karyawan, dosen, pelajar dan
pengantar siswa-siswi Lab. School, terlebih jika di lingkungan kampus UPI
sedang diadakan acara-acara besar yang diikuti oleh ribuan bahkan puluh-ribuan
peserta umum. Karena itu tarif parkir diberlakukan, dengan harapan, selain
untuk menertibkan masyarakat pengguna parkir, selain untuk balas budi karena sudah menggunakan fasilitas yang dibiayai oleh
uang mahasiswa dan negara, selain untuk biaya perawatan dan operasional fasilitas
umum tersebut, juga untuk mengisi kekosongan kas yang ada di pihak universitas
sebagai sumber pendapatan tambahan.
Kesimpulannya,
hal ini tidak akan terjadi tanpa sebuah sebab. Tidak akan terjadi suatu hal
jika tidak ada motivasi yang mendukung hal tersebut terjadi. Sebab-sebab inilah
yang akan kita gunakan untuk merumuskan jalan keluar permasalahan.
Jadi, jalan
keluarnya?
Begitu
kan pertanyaan anda setelah membaca tulisan tiga sampai empat halaman tadi?
Sudah seberapa jenuh anda dengan barisan huruf dan kata yang anda baca? Ataukah
mungkin anda melewatkan seluruh bagian di atas untuk sampai ke bagian ini?
Kalau
begitu, mari luangkan waktu sejenak, mari membaca bagian yang tertulis sebelum bagian
ini, mari berfikir dan berkontemplasi, karena solusi yang ditawarkan disini
dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dipahami dulu alur pemikiran yang
penulis gunakan pada dua bagian sebelumnya. Mungkin secangkir kopi dan sepiring
gorengan fresh from the katel bisa
mengiringi anda membaca? Penulis tidak akan mentraktir, sayangnya.
Baik,
sudah? Bagus...
Mari
kita persingkat bagian ini dengan membuat sebuah daftar angka solusi-solusi
yang penulis tawarkan berikut ini:
1.
Tunda
penerapan aturan tarif parkir selama satu atau dua bulan (atau sampai semester
baru dimulai). Sosialisasikan aturan ini kepada seluruh mahasiswa, karyawan,
masyarakat, dosen dan pengantar, agar tidak terjadi kesalahpahaman penerapan
aturan. Berikan waktu kepada semua orang untuk memahami aturan ini dan
mempersiapkan diri, dengan cara melakukan pendataan di UPT K3 UPI. Berikan
kejelasan program tarif parkir ini: mengapa ada tarif, seberapa besar tarif,
sistematika penerapan tarif, siapa saja yang harus membayar tarif, serta
bagiamana rencana penggunaan uang yang diterima dari parkir selama satu tahun.
Setelah satu tahun
berjalan, mahasiswa, masyarakat, dosen, karyawan dan pihak lain yang terlibat
boleh melakukan evaluasi rencana anggaran tersebut. Misalnya, jika dihitung
pendapatan parkir UPI Rp2.000,00 per kendaraan bermotor roda dua per hari
adalah sekitar Rp200.000,00, maka dalam satu bulan akan terkumpul setidaknya
Rp6.000.000,00, dan dalam satu tahun akan terkumpul setidaknya Rp72.000.000,00.
Pihak universitas harus memberikan kejelasan akan digunakan untuk apa uang
sebesar itu, dan mahasiswa serta pihak lain boleh mengadakan evaluasi di akhir
tahun untuk menilai apakah rencana sudah sesuai dengan praktiknya atau tidak.
Jika pada temuannya tidak
sesuai, maka mahasiswa berhak dan harus melaporkan kasus ini ke pihak-pihak
berwajib. Hal ini penulis rasa perlu, untuk mendisiplinkan
beberapa orang oknum nakal di
balik pengelolaan anggaran, yang kita tidak dapat pungkiri, pasti ada.
2.
Adakan dialog
dengan pihak kelompok B yang melakukan protes dan bersikap kontra. Tampung
aspirasi mereka dan proses dengan baik. Pencabutan suatu aturan adalah hal yang
sulit, tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena dalam sebuah aturan
yang pencabutannya dipaksakan, akan menyisakan lubang besar dalam sebuah
sistem. Tetapi, mengacuhkan mahasiswa yang memberikan aspirasi dengan alasan, ini saja sudah susah jangan dibuat makin
susah dong! atau alasan-alasan receh seperti itu juga tidak baik dan tidak
benar, kecuali jika pihak universitas ingin mengembangkan reputasi sebagai
universitas yang tidak menampung aspirasi mahasiswa dengan baik.
Berikan waktu pihak
universitas untuk menyusun sebuah kebijakan baru dan menonaktifkan kebijakan
lama, serta gunakan aspirasi mahasiswa sebagai landasan untuk menyusun kebijakan
baru tersebut, agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan permasalahan. Kelompok
B, sampaikan aspirasi anda dengan tertib dan tenang, jangan menimbulkan
keributan yang tidak perlu, dan jika sampai terjadi demonstrasi menentang
aturan ini, kalian harus lebih kreatif lagi untuk membuat suara kalian didengar
oleh para otoritas universitas, karena berteriak-teriak di depan gedung hanya
akan menggaduhkan suasana, belum tentu orang-orang di dalam gedung mau
mendengarkan apa yang disampaikan. Bukan menghalangi kebebasan berpendapat,
tapi masih ada 1.001 cara untuk menyalurkan pendapat selain demonstrasi, bahkan
cara-cara yang elegan dan kreatif sehingga pihak otoritas kampus memberikan
respon cepat.
3.
Jangan
sekali-kali lagi menerapkan aturan dengan tergesa-gesa. Tidak ada sedikitpun
sosialisasi tentang aturan parkir baru, informasi untuk melakukan pendataan,
baik secara langsung penyuluhan maupun melalui tempelan atau sebaran, hingga
kasus ini mencuat.
Sebelum menerapkan sebuah
aturan, buat kajian yang menyeluruh, mengenai dampak, persepsi, dan respon
masyarakat kampus mengenai aturan tersebut. Di kampus kita kan sudah ada
jurusan-jurusan pendukung: Pendidikan Sosiologi yang lihai dalam membuat
analisis respon dan dampak sosial, Pendidikan Kewarganegaraan yang pandai
membuat analisis celah-celah dalam sebuah instrumen kebijakan publik, mencari
tahu apa yang tidak jelas dalam penerapan aturan.
Mengapa tidak diberdayakan
saja mahasiswanya sebelum menyusun sebuah kebijakan publik? Mengadakan kajian
dan forum diskusi umum bukan hal yang buruk, malah sebaliknya, bagus.
Penutup
Hah!
Capek sudah penulis menulis sebuah tulisan yang entah apa yang ingin
disampaikan selama lima halaman atau lebih ini. Entah anda mengerti atau tidak,
setidaknya jika anda tidak paham betul apa yang disampaikan oleh tulisan ini,
jangan membuat keributan di media sosial. Penulis selalu tersedia untuk
dimintai pertanggungjawaban—anda dapat menanyakan apa yang penulis tuliskan,
dan penulis dengan senang hati akan memberikan penjelasan sejelas-jelasnya
hingga anda paham. Jangan membuat keributan dari hal yang tidak anda pahami.
Penulis
sendiri tidak peduli jika saran penulis yang sudah sodorkan di atas ternyata
tidak diindahkan oleh pihak otoritas universitas, maupun ternyata tulisan ini
tidak banyak dibaca karena tidak bersifat normatif seperti halnya
tulisan-tulisan dengan posisi pro dan kontra. Penulis tidak bertujuan
menyatakan pendapat setuju atau menolak. Penulis ingin memberikan pemahaman
sejelas mungkin kepada seluruh pembaca, agar mereka mengerti apa yang sedang
terjadi, dan akhirnya mereka mampu dan mau berpartisipasi menanggapi isu-isu
aktual seperti ini.
Aturan
parkir ini muncul dengan keuntungan dan kerugiannya tersendiri. Seperti dua
sisi koin, jika baik, pasti ada buruknya. Jika buruk, pasti ada baiknya.
Sekeras apapun kita memprotes suatu kebijakan, kita tidak boleh menjauhkan diri
dari fakta bahwa kebijakan tersebut mempunyai nilai-nilai positif. Sekeras
apapun kita setuju pada suatu kebijakan, pasti ada celah-celah kekurangannya, sehingga
fanatisme berlebihan nyatanya bukan suatu sikap yang bijak.
Apalagi
jika sikap tersebut ditunjukkan oleh seorang mahasiswa yang belajar ilmu
sosial—khususnya Sosiologi. Penulis senang disebut seorang pengkhianat. Di kala
semua orang asyik menyatakan setuju dan tidak setuju, penulis berdiri disini,
berusaha memberikan pehamanan kepada orang-orang yang tidak paham betul apa
yang sedang terjadi, dan berharap mereka akan mengambil sikap terhadap kasus
ini sesuai dengan kehendaknya masing-masing. Kurang berkhianat apa itu?
Penulis
berharap, sekeras apapun usaha penulis untuk membuat tulisan ini se-nonetis
mungkin, pasti ada hal yang penulis lewatkan. Bisa jadi di mata anda penulis
tengah berdiri memihak pada satu posisi tertentu, padahal nyatanya penulis
berusaha sebisa mungkin untuk tidak memihak kepada siapa-siapa. Oleh karena
itu, diskusi dan komentar sangat diterima kapanpun waktunya.
Hanya,
penulis berharap, saat anda menyodorkan suatu pernyataan, tolong sertakan kronologis
faktual dan pembuktian logis yang mendukung pernyataan anda, sehingga penulis
tidak mengacuhkannya sebagai sebuah opini receh (mohon maaf sebelumnya, tapi
jika anda berkata ‘Aturan parkir ini ada untuk memenuhi kantong para petugas di
K3!’ tanpa disertai pembuktian yang jelas atau kronologi faktual yang dapat
dipertanggungjawabkan, penulis pasti akan mengacuhkan). Dengan demikian, diskusi
kita membahas kasus ini bisa tetap berjalan dengan ilmiah dan etis.
Ingat,
kalimat sebelumnya hanyalah sebuah ilustrasi yang tidak nyata, jadi jika anda
menjadikan kalimat tersebut sebuah kasus viral
keributan dan menyebut bahwa penulis menuduh sekeji itu terhadap K3,
penulis minta, bacalah dengan teliti, jangan buat masalah yang tidak perlu.
Jika
anda sedang membaca paragraf ini, penulis mengucapkan terima kasih atas
ketersediaannya membaca esai ini secara menyeluruh. Penulis mengucapkan selamat
karena telah berhasil menaklukkan rangkaian huruf dan kata sepanjang lebih dari
2.600 kata dan 19.180 karakter. Hadiahi diri anda sendiri dengan secangkir kopi
atau teh hangat dan kue-kue kering atau gorengan. Anda pantas mendapatkannya.
*) Oleh: Aldian Hudaya (Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2015)
*) Oleh: Aldian Hudaya (Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2015)
#JMPSASIK
#OPINIJMPS
#HMPSDekatBermanfaat
#TritumaUPI