Rumah Tangga Nusan dan Tara

Rumah Tangga Nusan dan Tara*


(ilustrasi oleh Samsul R. R.)

Ini kali ke sejuta Nusan ribut dengan pasangannya Tara.  Banyak memang bahan ribut mereka, mulai dari keadaan rumah yang hancur berantakan dengan sampah yang berserakan,  makanan yang sering habis oleh tikus-tikus yang berkeliaran,  sampai dengan gosip tetangga yang seolah mengatur jalannya rumah tangga mereka. Namun kali ini bahan ribut mereka berbeda, masalah pendidikan anak, itu yang terdengar ramai diperbincangakan dengan suara meledak-ledak disertai perabotan yang hancur berhamburan.

Tut Wuri Handayani, sering dipanggil Tut,  nama anak pertama mereka. Dulu sebelum menikah mereka punya cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan anak-anaknya, cita-cita yang mulia memang, namun tak juga kesampaian.

Penyebab pertama hal itu tidak juga kesampaian adalah aturan yang mereka buat tiap tahun ganti,  awalnya cara mereka mengajar dengan berbasis kebudayaan kemudian diganti,  ganti,  ganti,  ganti,  sampai akhirnya kini Tut mereka paksa untuk belajar seharian penuh dari pagi sampai sore. Memang tidak ada yang salah dengan perubahan,  tapi kalau keseringan yah si anak juga kewalahan.

Penyebab kedua,  masalah keuangan. Biaya untuk pendidikan Tut terhitung mencengankan,  sangat mahal dengan angka nol yang banyak. Awalnya memang jumlah uang sebanyak itu diharapkan sampai sesuai tujuan,  untuk guru les, sarana dan prasarana,  media, dan sampai ke rencana jangka panjang. 

Namun ketika pelaksanaan uang sebanyak itu rasanya tak sampai ke Tut. Uangnya sering hilang,  bagai ditelan angan.  Entah hilang kenapa, menurut rumor uangnya kadang tak sengaja dijajankan, kadang dimakan oleh tikus-tikus yang sembunyi di kegelapan,  dan kadang terpaksa dipakai untuk kebutuhan harian,  dan bahkan dipakai juga untung bayar hutang bulanan ke tetangga.

Hasilnya, guru les Tut dibayar pas-pasan,  fasilitas belajar Tut pun banyak yang yang ambruk, kursi dan meja dimakan rayap,  bangunan yang dipakai tertiup angin sepoi pun rubuh, baju seragam Tut compang camping, dan yang terburuk akhirnya Tut belajar jauh dari kata nyaman, ilmu yang seharusnya dia dapatkan malah malah terbang dan tenggelam ke lautan.  Tut hanya jadi siswa bodoh dan pemalasan,  tanpa sedikitpun ilmu yang dia dapatkan.

Penyebab ketiga, Tut sulit cerdas karena hal yang paling mendasar,  keinginannya dibungkam cita-citanya di acak-acak,  dan kebebasannya 'dilacurkan'. Tut punya cita-cita ingin menjadi seorang pelukis, namun sayang nilai matematikanya buruk hasilnya Nusan dan Tara menghentikan kegiatan les melukis Tut dan malam memaksakan agar Tut ikut les matematika seminggu 7 kali. 

Hal wajar memang kalau orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, namun yang terbaik seperti apa? Yang terbaik untuk orang tua atau untuk anak? Kebanyakan orang tua memang seperti itu,  memaksa. Anaknya jago olahraga dipaksa sastra, anaknya jago menghitung dipaksa nyanyi, anaknya jago masak dipaksa IPA, yah selama tak ada titik temu antara keinginan orang tua dan anak masalah sepeti Tut ini akan terus terjadi ketika anak tak sadar bahwa mereka dipecundangi orang tuanya sendiri.

Penyebab keempat, Nusan dan Tara terlalu membiarkan anaknya bermanja-manja dengan dunia yang tak nyata,  sosial media dan internet namanya. Tut ketika masih balita sudah pakai 'ayPhone 8'. Hasilnya yah Tut sudah bisa dibilang 'sarjana senam jari'. Jari Tut kini bergerak hampir secepat kilat membuka dan menelan segala informasi dan propaganda yang sangat mudah dia jangkau dengan jarinya.

Mulai dari toko online yang setiap pagi meneriakan "Diskonnya kaka..." hingga film mimisan yang menampilkan orang-orang tanpa busana. Hal-hal seperti itulah yang Tut konsumsi tiap pagi,  siang,  sore, malam, dan dini hari. Sudah tak ada ilmu dalam kepalanya, kini penuh dengan sampah.  Kalau saja Nusan dan Tara mengajarkan sedikit kebijaksanaan pada anaknya agar memanfaatkan 'ayPhone 8' itu dengan baik pasti benda kecil itu bisa lebih bermanfaat untuk mencerdaskan kehidupan Tut karena sesungguhnya benda itu juga menawarkan hal-hal baik didalamnya.

Penyebab terakhir, sayangnya Tut kini tumbuh menjadi anak yang pemalas dan pembuat masalah. Tut sangat malas untuk belajar, jangankan untuk buka dan baca buku, untuk membaca saja masih dieja. Tut juga sangat sering membolos ketika waktu belajar dan malah pergi ke Warnet untuk main game. Tangan Tut pun sering jadi sumber bencana untuk perang lain,  berkelahi dan tawuran sudah jadi rutinitas mingguannya.

Asal ada orang yang 'beda' saja dari dirinya sudah pasti dia hajar, beda warna kulit, suku, bahkan agama sudah menjadi alasan yang cukup untuk Tut mempercundangi orang lain yang berbeda darinya. Dan yang paling parah akibat pengaruh buruk media yang dikonsumsinya Tut minggu lalu baru dapat kabar bahwa pacarnya hamil yang tentu saja di luar nikah,  toh Tut masih pelajar. Malang memang Tut.


Baru-baru ini permasalahan-permasalahan itu disadari oleh Nusan dan Tara, hingga akhirnya mereka hari ini ribut besar. Saling menyalahkan, saling menekan, dan bahkan Tut pun ikut jadi korban karena mereka mengangga kelakuan dan kebodohan Tut ini yang memang utamanya salah Tut sendiri yang salah,  sungguh orang tua yang payah.

Kali ini ribut mereka selain ajang adu mulut, seperti biasanya, juga menjadi ajang adu kebolehan menyiksa anak. Tut digilir untuk dihajar kedua orang tuanya,  sekali Nusan menampar muka Tut, kemudia Tara menendang bokong Tut, terus menerus seperti itu dengan metode penyiksaan yang berbeda dan berganti-ganti menyesuaikan dengan nafsu setan mereka. Hasilnya tanpa disadari Tut kini tak lagi bernafas, habis raganya dihajar mereka berdua, nyawanya kini sudah dipastikan melayang.

Ketika Nusan dan Tara menyadari keadaan anaknya itu semua sudah terlambat,  yang tersisa hanya air mata kebodohan dan penyesalan. Jangankan mencerdaskan kehidupan anaknya,  yang ada kini mereka membunuh Tut Wuri Handayani, anak malang yang tersesat dalam kegelapan.

Oleh : Samsul R. R. (Anggota JMPS 2017-2018, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2016)

#OpiniJMPS
#JMPSASIK