Santap Karya: Mari Beropini Ria

Bhineka Tunggal 'kah?
Oleh Samsul R. Royani, homo sapien penggemar gorengan.


   Seorang anak di sebuah komplek perumahan berjalan malu-malu mendekati sekumpulan anak yang tengah bermain petak umpet hendak bergabung untuk ikut bermain, sepertinya. Mendekat dengan ragu menghampiri kumpulan anak yang warna kulit dan bentuk matanya sedikit berbeda.

   "Ikutan dong?!" ujar si anak pemalu.

   "Emang kamu agamanya apa mau maen sama kita?" ujar salah satu anak yang badannya paling besar diantara perkumpulan itu.

   Kemudian si anak pemalu pergi dengan kepala tertunduk, nampak kecewa, dengan wajah yang memerah entah sedih atau marah.

   Sungguh pengalaman yang tidak menyenangkan bagi saya yang beberapa hari lalu melihat adegan diskriminasi itu. Bukan pertama kali memang kejadian seperti itu terjadi di sekitar kita, namun ini anak-anak yang usianya mungkin sekitar 7-8 tahun. Memang tak memandang umur bila kejadian seperti ini terjadi pasti sangat menyebalkan, tapi tetap menurut saya ini keterlaluan.

   Dari dulu kita sudah tahu bahwa bangsa ini berdiri karena persatuan dari berbagai ras, suku, dan agama yang berjuang bersama membangun tanah ibu pertiwi ini, namun sayangnya dari dulu juga perbedaan-perbedaan itu juga menghadirkan berbagai permasalahan. 

   Tak cuma sekali bangsa kita mengalami konflik besar hanya karena warna kulit atau hal-hal berbeda lainnya. Sebut saja tragedi tahun ‘98, siapa yang tak terluka bila kita mengenang masa itu ketika kaum minoritas terbukti ditindas. Dan banyak lagi contoh lainnya.

   Kini permasalahan makin rumit ketika media seakan mengompori masa untuk berselisih, terutama media sosial dunia maya. Masyarakat semakin dipetakan menjadi golongan-golongan sempit antara minoritas dan mayoritas, kulit terang dan kulit gelap, bahkan sampai penguasa dan rakyat jelata. 

   Tak jarang kelompok-kelompok itu beradu argumen bahkan beradu otot untuk menunjukan siapa yang paling benar, dalam benak mereka. Parah memang ketika bangsa kita berseteru dengan bangsa kita, bila ditanya mana yang rugi, yah jelas semuanya.

   Kita pasti sering mendengar kata "Rasisme", nah itulah yang tengah terjadi di tengah masyarakat kita. Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Yang harus kita sadari bahwa Rasisme di seluruh penjuru dunia telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. 

   Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial.

   Tabu memang di Indonesia membicarakan isu tentang rasisme, maklum bangsa ini berdiri atas dasar persatuan dan bila isu ini muncul maka pasti akan mengganggu kesatuan. Namun tentu kita semua wajib untuk angkat bicara karena ini nyata terjadi di sekitar kita. Tak sedihkah kita ketika melihat saudara-saudara kita yang diasingkan karena warna kulit atau latar belakang suku yang berbeda, tak sedihkah ketika beberapa saudara kita untuk beribadah saja rumah peribadatannya dibakar, atau ketika saudara-sauda kita saling berperang kata, menghina satu sama lain yang akhirnya timbul pertumpahan darah? Sungguh itu pilu.

   Mari berterus terang tentang sebuah kasus yang baru-baru ini kembali naik ke permukaan, tentang saudara kita yang keturunan Tionghoa . Bukan untuk memihak karena sungguh tak ada pihak yang harus dimenangkan karena kita sama, kita keluarga. Betapa sakit rasa hati mereka ketika di tanah airnya sendiri mereka disebut "Cina", padahal mereka lahir, tumbuh, dan mungkin akan mati di Indonesia.

   Menurut data selama 15 tahun, sikap intoleransi terhadap etnis Tionghoa kecil, hanya sekitar 0,8 persen dengan margin error 3 persen. Hasil tersebut didapatkan dari penelitian selama 2001 hingga 2016. Menurut survei tersebut, kelompok yang paling dibenci masyarakat kita adalah Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS); diikuti oleh warga lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT); Partai Komunis Indonesia (PKI), dan sisanya merata antara Yahudi, Wahabi, dan etnis Tionghoa. Normal memang bila benci pada golongan yang menyimpang, namun apa yang salah dari etnis Tionghoa? Toh mereka juga membantu kita menuju merdeka.

   Hal ini terjadi seperti siklus, mari kita coba menganalisa secara lebih general. Ketika satu golongan dikucilkan maka golongan itu nantinya akan mengucilkan golongan lain dan begitu seterusnya sampai ada sekelompok atau seseorang yang berjuang memutuskan 'rantai setan' itu.

   Kita ambil contoh dari luar negeri, Martin Luther King Jr. adalah pahlawan yang menolak tentang rasialisme yang dengan membedakan warna kulit sebagai pembeda di tiap manusia di kala itu di Negeri Paman Sam. Ia tidak sendiri namun di kala itu Malcolm X dan juga Muhammad Ali juga ikut turut memperjuangkan haknya sebagai manusia berkulit hitam. Hasilnya kini kita dapat melihat bahwa orang kulit hitam di Amerika memiliki kedudukan yang setara dengan orang kulit putih.

   "All men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights; that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness," ujar Martin yang memiliki pandangan yang sangat rasional bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan SAMA.

   Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah ada orang-seperti Martin? Banyak. Sebut saja mantan presiden kita, Abdurrahman "Gus Dur" Wahid. Beliau adalah salah satu contoh tokoh yang mengedepankan toleransi dalam pemersatuan bangsa. Selain Gus Dur juga masih banyak lagi yang lainnya, namun masih belum cukup untuk memperkuat kesatuan bangsa ini.

   Dari sekolah dasar kita tentu kita sudah mengenal semboyan "Bhineka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetap satu jua), namun bagaimana dengan implementasinya? Belum sempurna saya rasa ketika melihat kenyataan seperti ini. Satu pertanyaan yang muncul, bhineka masih tunggal kah?

   Tulisan ini tercipta bukan untuk membela satu golongan, atau golongan lainnya. Ini adalah sebuah ajakan untuk kembali menghidupkan "Bhineka Tunggal Ika" dari 'mati suri'-nya. 

   Maka mari, sebarkan satu pesan dengan makna yang sama kepada semua orang di sekitar kita, sampaikanlah pesan persatuan!

HIDUP INDONESIA!

--

 Samsul R. Royani (Anggota JMPS 2017-2018, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2016)

#SantapKarya
#JMPSASIK