Santap Karya: Mari Membaca Cerdas


[HARKITNAS] Memainkan Konflik Pemecah Bangsa



Hai Para Pembaca Cerdas!

Jarang-jarang lihat tulisan saya di JMPS ya? Redaksi JMPS adalah redaksi muda yang tengah berkembang pesat. Banyak sekali tulisan yang masuk ke dalam redaksi, karena itu kita melakukan penyuntingan dan Quality Control (QC) untuk memastikan tulisan yang dipublikasikan adalah tulisan yang terbaik, terkece dan paling sesuai dengan karakteristik JMPS saat ini.

Tapi kita tidak akan membicarakan tentang JMPS. 21 Mei lusa lalu, selain ulang tahun NET 4.0, bangsa kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), yang mana saat singkatannya saya tanya di grup redaksi, tidak ada yang menjawab, jadi saya cari tahu ke sumber lain.
Sedih ya, chat tidak dibalas? Hiks.

Bicara tentang Hari Kebangkitan Nasional, akhir-akhir ini bangsa kita dilanda serangan-serangan psikis. Isu-isu mencuat di berbagai tempat. Banyak pihak merasa persatuan bangsa kita kini mulai terancam. Banyak pihak merasa bahwa ideologi yang dianutnya adalah yang paling benar.

Apa ada yang salah?

Berbagai perayaan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini banyak mengambil tema persatuan dan kedamaian. Hal ini adalah manifestasi keinginan kelompok masyarakat kita untuk mewujudkan suasana yang aman, tenteram, damai dan bersatu dalam keberagaman. Sekelompok lain bersikukuh dengan ideologinya, bahwa bangsa kita haruslah bangsa yang bla, bla, bla dan bla.

Garis bawahi -ideologi- dalam paragraf di atas.

Dalam tulisan ini, akan dibahas dua faktor yang menurut penulis pribadi paling mempengaruhi dalam pembentukan persepsi dan ideologi seseorang: asumsi dan keyakinan. Kedua faktor ini berhasil menimbulkan perbedaan dalam bangsa kita, dan perbedaan ideologis seperti ini dimainkan oleh sutradara tertentu dalam memenuhi tujuan tertentu, sehingga konflik-konflik seperti sekarang ini bermunculan. Kita akan bahas bagaimana persepsi seseorang terbentuk.

Tulisan ini bukanlah tulisan yang bersifat ilmiah, dan oleh karena itu tulisan ini bukanlah tulisan yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai rujukan untuk sebuah karya ilmiah. Tulisan ini adalah murni tulisan yang bersifat opini, karena berdasarkan pada sudut pandang tertentu, merupakan apa yang ingin diutaraka oleh orang tertentu, dan tentu saja berbeda dengan pandangan orang lain, mungkin dengan pembaca saat ini.

Karena itu, tulisan ini tidak dibuat untuk memantik konflik baru, melainkan untuk menjadi bahan melengkap  wawasan pembaca tentang sudut pandang yang dimiliki orang lain mengenai suatu hal tertentu. Jika tulisan ini memantik konflik, hal ini murni bukan keinginan penulis, dan konflik ini disebabkan oleh persepsi pembaca yang macam-macam, dan segala kesalahan dikembalikan kepada pembaca karena telah memantik konflik.

Enough with the rambling, let's go on!

Persepsi

Persepsi, secara sederhana, adalah bagaimana seseorang memberikan tanggapan, bagaimana seseorang memandang, bagaimana seseorang merespons fenomena kehidupan yang dihadapinya. Cara pandang, sudut pandang, kumpulan gagasan mendasar yang mempengaruhi cara berpikir seseorang terhadap suatu hal tertentu, hal itulah yang disebut dengan persepsi. Kajian tentang persepsi dalam bidang keilmuan dan pengetahuan dikaji dalam beberapa bidang: Filsafat, Sosiologi, Psikologi, dan lain-lain.

Menurut Sosiologi, persepsi dibentuk melalui proses sosialisasi. Sosialisasi adalah proses penanaman nilai dan norma kepada seorang individu tertentu. Nilai, yang merupakan pandangan baik atau buruk terhadap suatu fenomena kehidupan, terinternalisasi dalam pribadi seseorang, membentuk gagasan-gagasan dasar yang digunakannya untuk menghadapi kehidupan. Hal itulah yang disebut persepsi, dan gagasan dasar tersebut disebut asumsi.

Dari asumsi di atas, dapat disebutkan bahwa persepsi tidak terbentuk secara sendirinya. Ada proses yang terjadi dalam diri seorang individu sehingga persepsi demikian terbentuk.

Asumsi

Asumsi adalah dasar berpikir, gagasan dasar, apa yang dijadikan dasar atau patokan seseorang untuk melakukan proses berpikir dan pengambilan keputusan. Asumsi digunakan oleh semua orang dalam setiap detik kehidupannya. Bahkan dalam mencerna tulisan ini, Pembaca Cerdas juga menggunakan asumsi yang kini dimiliki, sehingga walaupun tulisan ini kata-katanya sama dengan apa yang dibaca oleh pembaca lain, tanggapan yang dimiliki bisa saja berbeda.

Sosiologi memandang bahwa asumsi terbentuk atas hasil proses sosialisasi, yang berujung pada proses internalisasi nilai dan norma. Nilai dan norma yang terinternalisasikan inilah yang digunakan sebagai asumsi seseorang untuk menanggapi fenomena kehidupan yang dihadapinya. Ilustrasikan dengan sebuah contoh, misalnya, dengan melihat fenomena Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Gagasan dasar (asumsi) yang mereka miliki berbeda dengan PC. Persatuan Islam (Persis), sehingga organisasi yang terbentuk berbeda, dengan ideologi, pendapat, gagasan dan persepsi, semuanya berbeda satu sama lain, walaupun keduanya menarik asumsi dari satu sumber yang sama: ajaran agama.

Asumsi, pada akhirnya, akan membentuk persepsi seseorang. Persepsi sendiri ternyata didasari dan ditarik dari kumpulan asumsi akan hal tertentu. Misalnya, terhadap makanan pedas, ada golongan yang suka pedas dan yang benci pedas. Rasa suka dan benci tersebut, disamping faktor biologis, juga disebabkan oleh asumsi mereka terhadap makanan pedas, yang melahirkan persepsi bahwa makanan pedas itu blablablabla.

Hal ini juga didukung oleh proses sosialisasi melalui media-media sosialisasi: keluarga, sekolah, masyarakat dan khususnya, media massa.

Keyakinan

Penyebab masalah nomor wahid atas masalah-masalah yang terjadi belakangan ini adalah keyakinan. 

Asumsi, pada dasarnya, mempunyai nilai kebenaran yang dapat dipertanyakan. Apakah suatu asumsi itu benar-benar benar atau benar-benar salah kembali lagi pada pengguna asumsi tersebut, dan bagaimana pengalaman hidupnya hingga ia bisa menarik kesimpulan apakah asumsi itu benar atau salah. Asumsi juga dapat dibuktikan benar salahnya menggunakan epistemologi. Dari proses tersebut lahirlah ilmu dan pengetahuan.

Keyakinan, di sisi lain, berperan dalam menentukan asumsi itu benar atau salah, dengan mengisi diri individu dengan asumsi-asumsi yang membuatnya yakin bahwa asumsi tertentu benar. Asumsi-asumsi lain bersifat seperti air yang diisikan dalam ember. Pada mulanya, seorang individu ragu akan suatu asumsi, lalu asumsi lain memenuhi ember tersebut hingga ia bisa melihat cerminan pada permukaan air asumsi tersebut bahwa asumsi yang diragukannya sebelumnya adalah benar.

Keyakinan berhasil membuat asumsi tersebut benar karena orang meyakini kebenarannya, dengan atau tanpa proses pembuktian kebenaran. Kelompok orang beragama meyakini bahwa agama datang dari Tuhan Yang Maha Esa, dan kelompok lain memandang bahwa agama itu tidak ada, dan ajaran dari Tuhan itu dibuat-buat, misalnya. Semua itu didasari pada asumsi tertentu, yaitu apakah tuhan itu ada atau tidak, dan kebenaran asumsi tersebut diyakini benar salahnya, lahirlah dua fenomena berbeda.

Mempertanyakan benaran asumsi yang diyakini kebenarannya, mempertanyakan kebenaran suatu keyakinan, sering dianggap menyinggung oleh orang-orang yang meyakini kebenaran tersebut. Kelompok tertentu bahkan membawa ini ke tingkat selanjutnya, dengan memberikan sanksi tertentu kepada orang-orang yang berani mempertanyakan kebenaran mereka. Seram, memang.

Begitulah keyakinan bekerja. Sangat yakin suatu hal benar, orang yang berbeda dianggap salah. 

Keyakinan adalah hal yang sangat kuat, bahkan bisa melampaui hal-hal dalam proses pengambilan keputusan. 

Fanatisme? Keyakinan berlebihan.

Keyakinan dan Asumsi sebagai Bahan Mainan

Doktrin adalah senjata yang paling sering digunakan suatu kelompok untuk membentuk persepsi anggotanya. Doktrin, pada dasarnya, adalah berusaha memaksakan kebenaran asumsi tertentu kepada seorang individu dengan menggunakan berbagai cara: paksaan, memanipulasi kerangka berpikir dan logika, mempersembahkan suatu fenomena dari sudut pandang berbeda, dsb. Apapun tujuannya, doktrin berusaha memaksakan kebenaran suatu asumsi kepada individu agar persepsi yang terbentuk sesuai dengan apa yang diinginkan oleh organisasi atau pihak tertentu.

Hal ini terasa tidak aneh, kan?

Tapi saat yang dimainkan adalah keyakinan, ini adalah perkara lain.
Saat suatu kelompok meyakini hal tertentu benar, itu adalah suatu perkara. Saat kelompok tersebut berusaha memperkuat keyakinan dalam kelompoknya, ini perkara lain. Salah satu dari sekian banyak langkah yang bisa diambil oleh kelompok tersebut adalah dengan menanamkan asumsi bahwa yang mempunyai keyakinan selain mereka adalah salah dan hanya kelompok mereka yang keyakinannya paling benar. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa keyakinan yang dianutnya-lah yang paling benar.

Ini adalah sumber yang diakibatkan dari sumber konflik nomor wahid di Indonesia.

Memainkan keyakinan dan asumsi sehingga membentuk kelompok simpatisan dan fanatisme nyatanya justru menimbulkan konflik karena mereka tidak ingin menerima keyakinan yang dimiliki oleh kelompok lain. Mereka ingin kelompok lain meyakini apa yang mereka yakini benar. Tidak hanya pada kelompok, tapi individu juga. Tidak perlu jauh-jauh, di jurusan kita sendiri, ada kan orang-orang dengan karakter seperti itu?

Nyatanya keyakinan dan asumsi kita dimainkan oleh proses sosialisasi yang dilakukan oknum tertentu agar kita mempunyai asumsi dan keyakinan yang sama dengan mereka, sehingga persepsi kita sama dengan mereka, dan sehingga kita menjadi bagian dari mereka. Seperti itulah gambaran bagaimana proses doktrin terjadi dalam suatu kelompok, dan seperti itulah terbentuknya kelompok-kelompok yang berbeda.

Perbedaan menjadi masalah saat kelompok tertentu berusaha membuat kelompok lain sama dengan mereka, dan inilah masalah yang dihadapi oleh bangsa kita saat ini. Kelompok tertentu ingin membuat kelompok lain sama dengan mereka. Mereka ingin kelompok lain mempunyai asumsi dan persepsi yang sama dengan mereka. Mereka melakukan segala cara untuk mewujudkan hal tersebut.

Dari gambaran yang disajikan di atas, penulis berharap Pembaca bisa menyimpulkan, di kolom komentar di bawah ini, apa yang sebaiknya dilakukan agar kelompok-kelompok ini tetap ada, tetap berbeda, namun mereka mau dan bisa menanamkan asumsi-asumsi untuk menerima perbedaan yang ada pada kelompok lain. 

Untuk mempermudah perumusan solusi kreatif dari Pembaca Cerdas, penulis menyajikan satu pertanyaan penutup:

Mengapa mereka ingin kelompok lain mempunyai persepsi yang sama dengan mereka?

Mengapa mereka ingin kelompok lain mempunyai asumsi yang sama dan meyakini hal yang sama dengan mereka?

--

Writer's Note:

Whether this writing will be published lies entirely within the editor and the press policies. My hope for this writing being published is but a small matter compared to what considerations the press would take, and such, I expect naught of publication. I have become accustomed with this vagrant point-of-view, different with the other writers in Jurnalis Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, a deviant in the body of the press, a person whose view lies entirely different, and such, it did me no shock when all of my works are rejected. I did but my due, that I've an obligation, a must, to write, and of such, I extend but further.

It came aught but surprise if I see naught of any of these words posted for public viewing. This would also account for a delivering of gratitude for JMPS as to read this from top to toe. You've deserved a cookie for yourself, as have you my respect, should you read this word until the period that follows.

--


*Best Regards,*
Oleh: Aldian Hudaya, (Anggota JMPS 2017-2018, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2015)