Santap Karya: Hari Keluarga [CERPEN]


Aku Bukan Mereka

Menjadi salah satu bagian anggota keluarga yang dikagumi masyarakat, memang berat cobaannya. Salah satunya adalah kita tidak bisa menjadi diri sendiri. Hah, mereka selalu memaksakan kehendak mereka sesuka hati padaku, tanpa mereka pahami apa sebab dan akibat yang nanti timbul di dalam lingkup masyarakat.

Aku masih di dalam café, menikmati secangkir cappuccino hangat yang belum ku perawani. Rasanya aku ingin menikmati hidup seperti sekarang, menghirup udara yang bebas, melihat orang-orang bercengkrama ria, tanpa memandang status apa yang ada pada seseorang tersebut. Kupikir, sistem keluarga besarku sangatlah salah dan bukan contoh yang pantas ditiru. Memangnya, dunia ini akan tetap bulat utuh?

Ku menghembuskan nafas berat, memikirkan keluarga hanya membuat setengah kepalaku migrain tiba-tiba. Kulihat dari jendela, begitu banyaknya anak-anak berlarian menggunakan baju yang lusuh, tak mengenyam pendidikan, mungkin bahkan mereka tidak tahu adanya pendidikan gratis di negeri ini. Jauh berbeda dengan kehidupan keluargaku yang begitu sempurna, tapi tak sesempurna sifat sosial mereka yang bisa dikatakan cenderung minus. Tak terasa, bulir air mata jatuh di pelupuk mata, rasanya sakit dan sesak memenuhi relung dada. Melihat anak-anak jalanan, berkumpul dengan keluarga kecil mereka dan hidup sentosa nan bahagia dengan ala kadarnya.

Ingin rasanya ku beri mereka sedikit rezeki keluargaku, biar tahu apa itu nikmat. Ingin rasanya ku menceritakan kisah mereka pada keluargaku, biar mereka tahu apa itu rasa bersyukur. Tapi, sudahlah mereka bahkan jarang sekali menganggapku ada di sekeliling mereka. Jarang melihat postingan ku di sosial media mengenai gerakan sosial untuk membantu mereka yang kurang. Mungkin Tuhan, telah berkehendak dengan kuasa-Nya.

Aku kemudian melepas penatku di kamar. Kamar yang tidak begitu luas, seperti keluargaku yang lain. Mungkin kalian bisa membayangkan sebuah gudang yang terbengkalai lalu di ubah oleh sihir menjadi kamar yang layak untuk digunakan. Di sini, aku berimajinasi. Tembok kamarku sudah penuh oleh gambaranku, mengenai sebuah keluarga yang harmonis, hangat, dan memiliki akhlak yang mulia. Mereka akan membantu dengan senyum yang tak pernah lepas.  Ah, aku hanya ingin memiliki keluarga seperti itu, Ya Tuhan.

Ku pejamkan mata ini, hanya sekedar menghilangkan semua hal negatif yang seharian ini ku pikirkan. Entahlah, kenapa aku harus peduli dengan keluarga yang penuh dengan keegoisan ini. Banyak pertanyaan yang sering kuajukan pada Tuhan, tentang mereka yang harus menjadi bagian keluargaku.

Seiring waktu berjalan, aku masih bisa menikmati udara kebebasanku. Menikmati secangkir kopi dan juga si senja yang akan bersembunyi di balik rembulan. Ponselku ku taruh di atas meja, tidak seperti biasanya ibuku yang cerewet tidak lagi bertanya-tanya dan memenuhi kotak masuk. Kulihat ada pria tua di luar, ia terlihat lusuh dan compang-camping membuat terketuk hatiku untuk memberinya sedikit makanan.

“Terima kasih nak, semoga rezeki mu selalu terlimpahkan oleh Tuhan” Ucap pria tua itu, ah rasanya sudah lega untuk membantu orang tua. Aku hanya mengulum senyum kemudian pergi menuju rumah kegelapan.

Kembali kurasakan, hawa dingin yang menusuk bulu kudukku. Suara riuh dari ruang tengah membuat mataku seakan dibawa penasaran dan pada akhirnya aku bersembunyi di balik dinding.

Astaga!

Aku sempat tidak mempercayai ini, tapi Tuhan memperlihatkan semua begitu jelas. Pria tua yang tadi sore ku beri makan, ada di rumahku tapi…

Aku tidak mau mendengarnya, mereka mencaci pria tua yang ternyata adalah kakekku sendiri. Mereka menelantarkannya seakan  tak peduli kakek mau hidup ataupun mati. Kakek bersimpuh di depan paman, bibi, ayah, ibu dan yang lainnya. Hatiku rasanya menjerit, kenapa mereka begitu tega disaat keluarga ini dipandang baik oleh masyarakat? Apalah arti pencitraan mereka hanyalah sandiwara?

Setelah kejadian itu terlewati hari demi hari, aku tidak pernah berbicara banyak kepada keluargaku. Sesekali mereka berbisik, bahwa semakin hari aku menjadi aneh dan berniat untuk dimasukkan ke rumah sakit jiwa, sialan! Keluarga ini lah yang seharusnya ku giring ke neraka, dengan tanpa rasa dosa mereka mengacuhkan kakek di jalanan. Padahal mereka adalah anak-anak yang dibesarkan oleh kakek, mengapa jadi tidak tahu diri seperti sekarang?

Hawa di rumahku, semakin panas seakan di neraka paling dalam. Semua terlihat sinis padaku, tapi aku berusaha untuk tidak mempedulikan mereka, bahkan mereka saja  tak pernah merasa peduli padaku.  Dan setelah kejadian itu, kembali ku melihat pemandangan yang untuk kesekian kalinya. Kakek dengan pakaian compang campingnya berjalan begitu lemah dalam kondisi usia yang sudah tak lagi muda. Ku masih tak bergerak, bisikan-bisikan seakan terus mengontrol diriku.

“Apalah gunanya membantu orang yang meremehkanmu?”

“Sudahlah, tak usah kau anggap dia”

“Tapi, dia tetaplah kakekmu. Ayah dari ibumu”

Ku jadi terbawa suasana, saat hujan mulai datang perlahan hingga turun dengan derasnya. Ingatan ku kembali ke masa kecil. Kakek menggendongku dengan gemasnya, dan saat itu suasana keluargaku tidak seperti sekarang. Senyum kakek tak pernah lepas dariku, begitu indah dan masih ada almarhumah nenek disampingnya.

TIDAK! AKU TIDAK MAU SEPERTI MEREKA! Tegasku dalam hati. Ya, walaupun kakek selalu lupa padaku, aku tidak boleh seperti keluargaku yang mengacuhkannya di saat susah. Saat itu, ku ambil payung dari ransel dan berlari untuk meneduhi kakek yang sudah basah kuyup.

Kakek mendongakkan wajahnya, ketika air hujan tak lagi mengenai tubuhnya. Wajahnya sudah terlihat pucat. “Kakek, ayo pulang…” Aku mencoba untuk membujuknya pulang. Tapi kakek masih sama, mungkin ia tidak mengenaliku.

“Kakek, ini aku cucu kakek..” matanya perlahan menutup, senyumnya tetap sama seperti dulu. Ia mengangguk pelan. Tangannya seolah menggapai rambutku yang panjang. “Maaf, kakek tak sempat untuk mengenalmu. Tapi ka…kek ta..hu ka..ka..lau ka..u ad..ad…adalah….” Ucapan terakhirnya membuatku sendu dalam tangis yang tak terasa sudah membasahi pipi..


----------------------------------------------------------------

Ingat, keluarga adalah hal yang utama. Seburuk apapun mereka, mereka masih satu darah. Dan janganlah kita sama dengan apa yang mereka lakukan terhadap anggota keluarga yang lain. Tetap sayangi dan jadilah diri sendiri. –Nita S

Oleh: Nita (Anggota JMPS 2017-2018, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2016)