Tak asing lagi di telinga, jika tes keperawanan menjadi salah satu syarat untuk masuk ke institusi militer seperti TNI dan POLRI. Tidak hanya itu, DPRD Jember pernah berencana untuk menjadikan tes keperawanan sebagai salah satu syarat kelulusan siswi. Hal ini disebabkan karena tingginya angka penderita HIV di Jember pada tahun 2006 yaitu sekitar 1200 jiwa dan 10% di dalamnya adalah pelajar. Panglima TNI Jenderal Moelkodo pun mengungkapkan bahwa tes keperawanan yang merupakan syarat masuk TNI adalah salah satu tindakan untuk kebaikan dan penilaian moralitas. Banyak cerita mengenai tes keperawanan ini, beberapa teman bercerita mereka berjalan mengangkang seperti layaknya baru pertama kali menggunakan pembalut setelah melakukan tes keperawanan.
Human Rights Watch mengungkapkan bahwa tes keperawanan ini adalah bentuk praktik yang kejam dan merendahkan perempuan. Secara internasional, tes ini dianggap sebagai pelanggaran hak. HRW bahkan sudah mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak melakukan tes keperawanan bagi calon polwan maupun calon tentara. HRW mengungkapkan bahwa tidak ada relevansi antara keamanan negara dengan keperawanan, tes ini hanya menyakiti dan mempermalukan perempuan.
Tes keperawanan ini beragam. Di India, ada sedikitnya empat tes keperawanan yang terkenal. Pertama, tes kemurnian air. Tes kemurnian air adalah tes keperawanan dimana suatu komunitas tertentu di India melakukan tes keperawanan kepada perempuan dengan cara menahan napas di bawah air yang dihitung lamanya seperti seseorang melangkah sejauh 100 langkah. Kedua, tes api. Tes api adalah tes keperawanan yang dimana pengantin wanita harus menggenggam besi panas di tangannya dan jika di tengah-tengah ia menyerah, maka dinyatakan bahwa ia tidak lagi perawan. Ketiga, noda darah di tempat tidur. Untuk mengetahui wanita yang baru saja menikah itu adalah perawan atau tidak, keesokan harinya setelah pasangan pengantin itu melakukan hubungan intim, maka keluarga akan mengecek bekas noda di tempat tidur. Selanjutnya ada tes dua jari, tes ini biasanya dilakukan untuk korban pemerkosaan.
Baik dalam sudut pandang pendidikan maupun pernikahan, keperawanan ini merupakan hal yang dijadikan alat untuk menilai baik atau tidaknya moralitas seseorang. Masih segar di ingatan kita, seorang Bupati, Aceng Fikri menceraikan istrinya yang baru saja ia nikahi karena ia nilai istrinya sudah tidak perawan dan ia mengibaratkan bahwa ketidakperawanan itu ibarat membeli pakaian rusak. Keperawanan dalam konteks yang seperti ini, sudah seperti sesuatu hal yang mendefinisikan perempuan. Jika perempuan tersebut masih perawan maka akan diagung-agungkan. Tetapi jika perempuan tersebut sudah tidak lagi perawan, maka akan dibuang begitu saja layaknya sampah. Lalu bolehkah jika kita menilai seseorang hanya dari keperawanan saja? Lalu wajarkah bila kita menilai moral seorang wanita hanya dari keperawanannya saja?
Keperawanan adalah mitos. Keperawanan ini dinilai dengan sobeknya selaput dara saat melakukan hubungan intim. Justru menurut para seksolog, sebagian besar perempuan tidak memiliki selaput dara sejak lahir. Ada orang yang memiliki selaput dara, ada orang yang tidak memiliki selaput dara, ada pula orang yang sudah melakukan hubungan intim tetapi masih memiliki selaput dara, ada juga orang yang memiliki selaput dara yang tipis. Pada kasus pemilik selaput dara yang tipis ini, biasanya akan mudah terkoyak meskipun hanya mengendarai sepeda. Lalu adilkah jika kita hanya menilai moralitas seseorang hanya karena masalah selaput dara ini? Jawabannya tidak.
Keperawanan ini dijadikan alat sebagai objeksisasi perempuan di budaya patriarki. Keperawanan ini pula dijadikan tolak ukur perkasanya seorang laki-laki. Laki-laki akan dianggap perkasa jika ia berhasil mendapatkan seorang gadis. Tak bisa kita pungkiri, bahwa banyak laki-laki yang menikahi seorang janda, tetapi posisinya di masyarakat akan dianggap rendah karena mendapatkan seorang wanita yang sudah tak perawan lagi. Budaya patriarki ini menuntut laki-laki untuk selalu maskulin sedangkan wanita hanya seonggok objek yang dinilai dari keperawanannya saja. Peraturan dalam pendidikan, tidak memperbolehkan seorang perempuan yang sudah tidak lagi perawan untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Tetapi bukankah ini sangat tidak adil, karena di sini hanya perempuanlah yang memiliki ciri ketidakperawanan sedangkan laki-laki tidak? Sangat sulit mengidentifikasikan laki-laki yang sudah melakukan hubungan seksual.
Jika anda seorang orangtua, maka etiskah jika anak perempuan anda berbaris berjejer untuk memasuki ruangan tes dan setelah keluar dari ruangan tes, cara berjalan anak anda menjadi berbeda dan teman-teman perempuan ataupun laki-lakinya bertanya apakah anak perempuan anda masih perawan atau tidak? Tentu hal itu merupakan hal yang paling memalukan bagi perempuan. Keperawanan tidak pantas untuk dijadikan sebagai hal yang mendefinisikan moral seorang perempuan. Semua perempuan, ataupun laki-laki, berhak mendapatkan pendidikan yang sama terlepas dari perawan atau tidaknya.
Oleh: Tiara Aulia Putri (Anggota JMPS 2017-2018, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2016)
----------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
http://www.jurnalperempuan.org/blog/tes-keperawanan-kebodohan-yang-mempermalukan-perempuan#SantapKarya
#JMPSASIK