Santap Karya: Satu Hari Bersama Ayah

           SATU HARI BERSAMA AYAH
(source: google.com)

            Hari itu tepatnya sembilan tahun yang lalu, aku masih berusia 12 tahun. Masih lucu, imut dan menggemaskan. Bagaimana tidak, aku anak bungsu dari empat bersaudara anak yang paling disayang, bahkan sampai badanku (berisi bukan gemuk yah L), karena saking banyaknya kasih sayang yang ayah berikan untukku.  Aku anaknya periang dan tak pernah menemukan kata “sedih” dalam kamus hidupnya. 
       Sembilan tahun yang lalu hari-hariku sangat bahagia, hidup dengan keluarga yang sangat berkecukupan, memiliki ayah dan ibu serta kakak-kakak, rasanya bagaikan dunia ini milik pribadi dan dengan polosnya berpikir bahwa cuma aku  satu-satunya orang yang hidup bahagia di dunia ini dengan orangtua yang super duper, khususnya Ayah.
                Ayah dan ibuku seorang guru namun punya sisi yang berbeda. Jika ayah memiliki wajah yang baik namun tegas, sedangkan ibu sebaliknya wajah tegas namun hatinya baik. Mungkin ini yang namanya jodoh punya sisi yang berbeda dengan perbedaan itulah  saling melengkapi. Aku dekat sekali dengan ayah, bagiku ayah bukan hanya menjadi seorang ayah saja, tetapi beliau adalah seorang guru kehidupan, motivator, dan juga raja yang baik hati yang selalu setia melindungi kerajaannya dari badai yang datang. Ayah orangnya tegas pada tempatnya. Beliau  akan marah pada anak-anaknya, jika:
  • 1.      Meninggalkan sholat
  • 2.      Makanan tidak dihabiskan
  • 3.      Tidak nurut kepada ibu

Cuma tiga poin itu ayah akan marah pada anak-anak gadisnya, jika melanggar jangan harap kita (anak-anaknya) besok harinya bisa mendapatkan uang untuk jajan. Keluargaku semuanya perempuan dari mulai anak pertama sampai terakhir. Cuma ayah saja laki-laki paling ganteng yang kami punya, tak heran jika ayah mendidik anak gadisnya seperti laki-laki, dalam artian  harus bisa mandiri, harus punya pegangan kuat dalam hidupnya, harus bisa tegas dalam menyikapi apapun, dan juga jangan selalu tergantung sama orang lain.  
Ayah paling suka memakai sepeda motor keluaran 80an meskipun waktu itu sudah memasuki tahun 2000an,  tetapi tetap ayah tidak mau beli motor baru katanya “ulah meuli motor anyar, pake motor anu aya weh tong gagayaan kawas batur” artinya, ”Jangan beli motor baru, pakai dulu motor yang ada aja, jangan mau gaya kayak orang lain”. Kata-kata inilah yang terngiang olehku sampai sekarang. 
Ayah orangnya sangat sederhana, tak pernah memandang orang dengan statusnya apapun, berkawan dengan siapa saja, makanya jangan heran kawannya sangat banyak. Dan yang paling spesial dari ayah adalah senyumnya yang selalu mengembang di wajahnya dengan andalan tahi lalat di samping bibirnya.  
Namun di balik sisi yang humoris, sederhana, dan santun, ayah punya penyakit yang sangat serius yang tak pernah ia katakan pada kami. Ia punya penyakit jantung dan liver. Penyakit ini bawaan dari turunan karena kakek. Ayah menyembunyikan penyakit ini dari keluarga, tidak ada dari kami yang tahu masalah itu sama sekali. Jika ayah sakit beliau akan tutup mata lalu menahannya supaya tidak ketahuan istri dan anak-anaknya. 
Sampai waktunya tiba, ayah sudah tidak tahan lagi dengan penyakitnya, akhirnya kami pun tahu tentang penyakit ini dari dokter yang menangani ayah. Saat itu dengan santainya ayah bilang, “ayah sehat, jangan khawatir”. Meskipun dilanda kesakitan yang luar biasa setiap harinya, beliau tidak pernah menyerah. 
Aku adalah saksi bagaimana perjuangan beliau untuk sembuh, bukan hanya uang yang keluar habis ratusan juta, tetapi tubuh dan dirinya yang setiap hari dimasukin selang, suntikan, obat-obatan, terapi kesana kesini sudah menjadi makanan sehari-hari. Ya, bisa kalian bayangkan bagaimana perjuangan beliau untuk sembuh. 
Namun ternyata Allah berkehendak lain, tepatnya tahun 2008 di bulan suci Ramadhan, dimana semua orang menyambut dengan suka cita termasuk keluargaku. Maklum hari itu aku baru kelas 6 SD dan masih kekanak-kanakan, yang hidupnya selalu bahagia tanpa tahu definisi kata 'sedih'. 10 hari berjalannya puasa, tepat waktu 1 hari menghabiskan bersama ayah, dimana kami masih bahagia melihat ayah sehat bugar kembali, kami jalan-jalan ke Bandung, bahkan ayah sudah persiapan beli baju lebaran, meskipun lebaran masih lama. Kami masih sempat bercengkrama ketika buka puasa, shalat tarawih pergi ke masjid bersama-sama, menonton TV bersama ayah, ibu. dan kakak tanpa ada firasat sedikitpun. Satu hari penuh kami menghabiskan waktu dengan selalu berada di samping ayah. 
Yah.. kalian bisa bayangkan bagaimana kebahagiaan keluargaku waktu itu.
Ketika ayah pergi ke kamar dan disusul ibu, ibu bilang di kamar dengan keadaan lampu mati “hoyong emam sareng naon ngke saur?", artinya, “mau makan sama apa nanti sahur." Ayah tak menjawab. Hening seketika. Dan akhirnya ketika lampu di hidupkan, Sang guru kehidupan, sang motivator, dan sang Raja dalam keluarga kami telah pergi selama-lamanya dengan keadaan tenang dan tersenyum. (Maha Suci Allah).
Kalian tahu? Dari pagi sampai pukul delapan malam aku masih hidup bahagia dengan senyum, namun kemudian dari pukul sepuluh malam hingga besoknya, aku akhirnya mengerti definisi dari kata 'sedih'. 
Tidak perlu aku ceritakan bagaimana kesedihan luar biasa dalam keluargaku, AKU TAK SANGGUP..!! Dan kalian tahu? Cobaan keluargaku tidak berhenti sampai situ, ketika semua orang menyambut malam takbiran yang begitu suka cita dengan kehangatan bersama keluarga besar, keluargaku justru sebaliknya, menyambut malam takbiran dengan sejuta kesedihan yang luar biasa, kakek dari ibuku meninggal dunia, tepat di malam takbiran. Kalian bisa menganggap kehancuran dan kesedihan yang kami rasakan bagai bom yang menghacurkan satu kota.
Hari ini, tepat sembilan tahun berlalu setelah ayah dan kakek meninggalkan kami semua, aku mencoba move on dari  semua musibah ini, hidup dengan tersenyum dan bahagia lagi. Definisi kata 'sedih' saat kehilangan ayah dan kakek mulai menghilang seiring dengan perubahan keluargaku yang mulai berubah dan menata hidup kami kembali. 
Setelah semua musibah yang kami alami, akhirnya aku percaya adalah bahwa “Allah tak pernah meninggalkan hambanya yang terkena musibah, namun menggantinya dengan cara yang menakjubkan”



P.S: tulisan ini bukan cerpen, bukan curhatan, bukan juga menarik simpati apalagi menarik empati, namun tulisan ini dibuat utuk memberikan pelajaran kepada semua pembaca khusunya pembaca setia JMPS, bahwa dalam kehidupan pasti mengenal kata sedih dan bahagia. 
Kesedihan dan kebahagiaan kita yang tentukan, tinggal kita pilih. Pilih bangkit dari kesedihan ataupun tetep terpuruk dalam kesedihan. Aku titip pesan kepada kalian semua yang masih mempunyai keluarga yang utuh : 
Sayangi keluarga kalian dengan cinta dan kasih sayang yang tulus dari hati, rawatlah dan sayangi kedua orang tua kalian selagi masih hidup karena kalau sudah tidak ada kalian akan menyesal seperti aku”. Dan bagi yang hidupnya seperti aku, kalian harus tetap semangat, lanjutkan hidup ini yang penuh misteri serta kejutan  dengan senyum dan bahagia. Jangan pernah takut,  lupakan masa lalu dan jadikan hal menyakitkan menjadi pembelajaran untuk hidup yang lebih baik. Dan ingat Allah tidak akan pernah meninggalkan hambanya dalam keterpurukan. ”  

sembilan tahun mengenang Ayah
Oleh: Meidina Siti Fatimah (Mahasiswa Pendidikan Sosiologi dan Manager JMPS 2017/2018