Terorisme dan Media Massa: Media digunakan untuk mencari perhatian oleh para teroris
------------------------------------------------------------------Akhir-akhir ini dunia sedang diguncang (lagi) oleh isu-isu terorisme. Kasus terbaru adalah pada penyerangan di London Bridge, Kota London, Inggris beberapa waktu yang lalu. Selain itu, ada kasus peledakan bom di konser Ariana Grande di daerah Manchester. Kedua kasus ini seolah-olah membangkitkan gairah media massa untuk memberitakan (lagi-lagi) kasus terorisme. Tanpa mereka sadari, mereka tengah dimanfaatkan oleh para teroris untuk mencari keuntungan. Selain media massa, teroris juga menggunakan aplikasi perpesanan untuk mengkoordinir aksi mereka dari jarak jauh.
Dengan kata lain, sudah dua media dimanfaatkan oleh mereka: media massa dan aplikasi perpesanan.
Seperti apa mereka menggunakan kedua media ini dan apa yang dapat kita lakukan untuk menghentikan mereka? Mari bergabung bersama saya, Aldian Hudaya, bersama JMPS UPI, dalam sebuah penyelaman untuk mencari tahu jawaban pertanyaan tersebut.
---------------------------- APLIKASI PERPESANAN ----------------------------------------------
Beberapa waktu yang lalu sempat diungkap tokoh teroris ISIS asal Indonesia, Bahrun Naim. Bahrun terkenal karena menjadi otak beberapa rencana pemboman--4 direncanakan, 3 gagal--dan menjadi tagan kanan Noordin M. Top pada masanya dulu. Hal yang cukup mengejutkan adalah Bahrun Naim menggunakan aplikasi perpesanan Telegram sebagai media untuk bertukar pesan dan mengkoordinir aksinya dari Suriah ke Indonesia.
Mari kita cari tahu bagaimana organisasi teroris menggunakan aplikasi perpesanan dan apa yang dapat kita lakukan untuk menghentikannya.
Masyarakat khawatir para teroris akan menggunakan aplikasi perpesanan terenkripsi (pesan yang dikirim tidak dapat dilihat siapapun, termasuk pemerintah dan peretas, kecuali oleh pengirim dan penerima) untuk mengirimkan pesan-pesan mereka dan mengkoordinir aksinya. Secara sekilas, mahasiswa, aktivis, pegiat, dan pengkaji malas akan berkata, "Ya sudah, larang saja aplikasi perpesanan terenkripsi!"
Hadapi kenyataan, bung. Usul seperti itu -tidak- akan bekerja.
Para teroris telah mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai rupa kemungkinan buruk untuk memastikan komunikasi di antara mereka aman dan tugasnya dapat diselesaikan, bahkan jika mereka harus menghadapi kematian sekalipun. Anggap pemerintah melarang aplikasi perpesanan terenkripsi seperti WhatsApp dan Telegram, maka yang akan dilakukan oleh para teroris kurang lebih satu dari taktik-taktik berikut:
1. Membuat aplikasi mereka sendiri
Teknologi untuk membuat aplikasi perpesanan terenkripsi adalah rahasia umum. Siapapun dapat membuat aplikasi seperti itu di zaman serba informatif seperti ini. Aplikasi-aplikasi itu mungkin tidak akan terlihat begitu cantik maupun kaya akan fitur, dan mungkin pemasangannya akan tidak melalui Google Play Store atau Apple Apps Store, tapi aplikasi itu akan dapat bekerja. Bahkan, katanya, para anggota ISIS telah memiliki aplikasi mereka sendiri sejak Januari 2016. Bahrun Naim menggunakan aplikasi Kopi Hitam, sebuah aplikasi yang dibuat dengan mengotak-atik sumber kode Telegram, untuk mengkoordinir aksi-aksinya.
2. Menggunakan kode
Steganografi adalah kata yang cantik dalam istilah kebahasaan, dimana informasi disembunyikan dalam teks biasa. Kita bisa menggunakan kanal-kanal saluran atau perpesanan publik sekalipun, jika kita dan penerima pesan kita tahu apa maksud dari kalimat "Bapak ketua himpunan sedang pergi makan siang" sebenarnya. Saya sendiri sering menggunakan steganografi: "Dosennya kabur", di mata saya dan seorang teman, maknanya adalah bahwa sang dosen mangkir dari perkuliahan selama lebih dari 3 minggu berturut-turut, misalnya.
3. Menggunakan cara lain berkomunikasi
Bayangkan jika anda harus membeli sebuah ponsel atau kartu SIM hanya untuk menelpon atau mengirim pesan kepada seseorang, lalu setelah terkirim ponsel atau kartu SIM tersebut kita bakar. Kita lakukan itu setiap kali kita ingin menghubungi seseorang. Repot, kan? Nyatanya kerepotan ini adalah apa yang dilakukan oleh para teroris di Paris, Perancis, berkomunikasi dan melakukan penyerangan ISIS paling berbahaya di Eropa sepanjang sejarah.
Jadi, mereka punya banyak sekali alternatif untuk berkomunikasi walaupun aplikasi perpesanan terenkripsi dilarang oleh pemerintah. Malah, pemerintahan yang ceroboh akan melakukan "pengawasan masal", dimana data-data pribadi kita akan digunakan dan secara tidak langsung mengekspos data-data tersebut kepada para peretas dan pejabat-pejabat korup.
-- MEDIA MASSA --
Muncul pertanyaan sejenak, bagaimana cara kita menghentikan para teroris ini beraksi? Fakta di atas bukan berarti kita tidak bisa mengusik rencana-rencana mereka. Salah satu petunjuk kunci lain, ditandai dengan banyaknya penggunaan komunikasi masal oleh para teroris, ternyata bertujuan untuk menyebarkan pesan mereka dan membuat orang-orang sebanyak mungkin menyadari keberadaan dan tindakan-tindakan mereka.
Ingin bukti? Atas alasan inilah para teroris menaikkan alisnya dan menggunakan media-media sosial seperti Twitter, Facebook dan media lainnya untuk mempublikasikan konten-konten dan ancaman-ancaman mereka. Tapi apa yang sebenarnya perlu diwaspadai bukanlah senjata yang digunakan atau pesan yang disampaikan, karena dalam dua hal ini mereka bisa melakukan improvisasi dengan sangat baik. Hanya terdapat satu elemen yang sangat bisa dimanfaatkan dengan mudah untuk mereka mencapai tujuannya tersebut: media massa.
Bukanlah hal yang aneh jika para teroris menginvestasikan anggarannya dalam jumlah yang fantastis untuk mempublikasikan diri mereka. Berbagai konten majalah dan sebaran-sebaran propaganda dapat dengan mudah ditemui di internet maupun dalam pergaulan kalangan-kalangan tertentu.
Mari kita berpikir: apakah ancamana kematian yang lebih sering kita hadapi? Apakah dalam setiap detik hidup kita, di tempat kita hidup, dalam keseharian kita hidup, kita akan menghadapi para teroris dengan senjata-senjata mereka, dengan pencucian otak dan akal bulus mereka memutar kata, atau kita menghadapi ancaman kematian dari sabun yang tergeletak sembarangan di lantai kamar mandi? Atau kita menghadapi ancaman kematian dari kanker? Atau kita menghadapi ancaman kematian dari insiden lalu lintas?
Nyatanya ketiga ancaman di akhir tadi lebih sering kita hadapi dalam kehidupan keseharian. Ketiga ancaman tersebut berhasil menghilangkan nyawa manusia lebih banyak ketimbang teroris setiap harinya, setiap tahunnya. Lalu jika ini adalah ancaman yang sangat nyata, mengapa kita masih lebih takut menghadapi teroris yang diberitakan di media massa?
Jika kita lihat angkanya, setiap hal selain terorisme (oke, jatuh dari tangga atau terpeleset di kamar mandi dan sebagainya itu pengecualian) yang menyebabkan kematian tidak akan dianggap sebagai tindakan teror, sebagaimanapun jahat dan rusaknya tindakan itu. Sehingga tugas utama para teroris adlaah untuk meyakinkan anda bahwa tindakan-tindakan jahatnya lebih relevan untuk anda waspadai ketimbang 150.000 kematian karena sebab lain yang terjadi setiap harinya. Mereka harus mengubah persepsi masyarakat dalam rangka membuat kita merasa -terancam- oleh keberadaan mereka, dan bukan oleh bahaya lain yang nyatanya kita hadapi sehari-hari.
Ironisnya, media massa dengan senang hati menjadi jembatan untuk mereka melakukan tujuannya tersebut. Mari kita pikirkan sejenak, berita yang wah, yang hebat, yang heboh, akan mendatangkan berjuta-juta pemirsa dan akhirnya berakhir di pundi-pundi rupiah yang didapat dari pengiklanan produk--apalagi jika berita yang dimaksud bisa sampai mendapat gambar korbannya yang menyedihkan. Masyarakat Indonesia senang menikmati hal-hal yang menyedihkan kan? Gambar-gambar menyedihkan para korban justru digunakan untuk hal-hal lain, dari mulai menggalang sumbangan, bahkan sampai kampanye politik dan propaganda. Oleh karena itu, teror justru menyebar oleh media yang haus akan pemirsa, lalu dimanfaatkan oleh para politisi dan oknum yang dengan sadisnya memanfaatkan penderitaan orang lain yang diberitakan untuk menguntungkan dirinya sendiri ataupun orang lain, bahkan sang korban itu sendiri sekalipun.
Apakah itu bijak untuk memilih pemimpin yang menggunakan terorisme dan penderitaan para korban teror dalam kampanyenya?
- HAJAR RASA TAKUT MEREKA -
Setelah tahu bahwa mereka sengaja membuat kita merasa takut akan keberadaan mereka dan bukan sabun yang tergeletak sembarangan di lantai kamar mandi, apakah kita masih harus merasa takut akan keberadaan mereka? Lebih menyeramkan mana, berita-berita terorisme atau kecelakaan lalu lintas karena lupa menyetel rem motor?
Adalah hal yang teramat sangat bijak bagi kita untuk terus memberikan dukungan kepada para korban teror, baik dukungan material maupun dukungan moral. Jangan sampai kita panik dan menjadi korban berbagai kekuatan yang ingin menggunakan kita dengan membuat kita takut pada teroris. Jika kita takut, justru kita malah mendukung mereka untuk mencapai tujuan egois nan sadis mereka. Kita bisa berikan dukungan kepada para korban, khususnya jika korbannya adalah orang yang kita kenal, sebagaimanapun tidak mungkin hal itu terjadi.
Kita harus selalu ingat bahwa para teroris tengah berjuang dalam sebuah peperangan untuk memenangkan -mental- kita, -di dalam- mental kita. Akhirnya, terserah kita untuk menentukan apakah kita menang atau kalah.
- APATISME SEBAGAI SUATU SOLUSI -
Jurusan kita begitu gencar melarang apatisme dan selalu gencar mendorong mahasiswanya untuk berpartisipasi aktif menanggapi fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitar mereka--tapi bagusnya, tidak seorangpun peka terhadap fenomena-fenomena teror yang sebenarnya menarik untuk dikaji secara Sosiologis. Untuk kali ini saja, apatisme mahasiswa kita justru mendatangkan manfaat kepada mereka--dengan satu ancaman yang harus dihadapi.
Semakin kita tidak ingin tahu dan tidak peduli pada tindakan para teroris, semakin mereka merasa bahwa tujuan mereka akan mengarah pada kegagalan. Toh, akhirnya, yang mereka inginkan adalah saat kita merasa takut akan kehadiran mereka, kan? Mereka akan merasa gagal saat tindakan-tindakan sadis mereka tidak sama sekali digubris oleh orang-orang, dan pada titik ini, sikap apatis justru berpotensi menyelamatkan banyak sekali nyawa.
Tapi, di sisi lain, sikap apatis juga mendatangkan resikonya tersendiri. Semakin apatis kita, semakin para teroris ingin 'menyentil' kita untuk merasa takut pada mereka. Semakin mereka berusaha mencari akal agar tindakan tidak manusiawinya ditakuti oleh orang-orang. Semakin mereka berusaha mencari akal agar kita merasa takut pada mereka. Akhirnya, apa yang akan dilakukan?
Mereka akan mengincar lingkungan yang tidak peduli pada mereka dan beraksi di lingkungan itu. Dari mana mereka tahu apakah lingkungan itu peduli atau acuh terhadap tindakan mereka? Nah, mereka punya jaringan komunikasi yang luas dan tersembunyi dengan rapi, jadi bukan hal yang tidak mungkin kelompok atau orang yang menurut kita baik ternyata adalah oknum di balik layar.
Toh, Bahrun Naim saja mengawali karirnya di ISIS setelah ia bergabung dengan HTI, yang kini sudah dibubarkan. Ia merasa bahwa ideologi Hizbut Tahrir Indonesia untuk menciptakan Indonesia yang berbasis khilafah berkaitan erat dengan apa yang ingin ISIS capai, dan oleh karena itu ia langsung bergabung dengan ISIS tanpa berpikir dua kali--itu -pun- kalau ia pernah berpikir.
Jadi tugas kita sebagai mahasiswa apatis yang cerdas adalah bagaimana caranya kita membuat mereka merasa bahwa kita sudah 'dipengaruhi' oleh mereka, padahal sebenarnya kita acuh tak acuh. Saya tidak berkata kita harus berbohong, karena para teroris bukanlah orang-orang bodoh. Mereka akan tahu kapan kita berbohong dan kapan kita jujur, apalagi jika yang mereka ingin capai adalah rasa takut, kaitannya dengan psikologis. Tapi, bukanlah hal yang tidak mungkin untuk kita memanipulasi mereka agar mereka merasa kita peduli dan sadar serta takut, tapi nyatanya kita tidak peduli.
Untuk apa, tanya? Apa kita ingin lingkungan kita menjadi sasaran penyerangan dan penusukan setelah penabrakan mobil van di tempat umum seperti di London Bridge beberapa waktu lalu?
Lalu sekelompok aktivis, pegiat dan pengkaji malas akan berusul, "Ya sudah kita memang harusnya sadar dan berusaha mencegah terorisme di lingkungan kita! Pemerintah harusnya blablablablabla, sekolah harusnya blablablablabla..." Dengan usulan dan tindakan seperti itu, berarti kita sudah -mendukung- para teroris mencapai tujuannya. Ingat lagi, apa yang mereka inginkan? Bukankah yang mereka inginkan adalah orang-orang peka dan menyadari keberadaan mereka, lalu merasa takut akan kehadiran mereka?
Selain itu, berpartisipasi aktif dan mengkritisi bahkan mengambil sikap dan tindakan untuk 'mencegah', 'menghentikan', 'menyembuhkan'--apapun rupa tindakan kecuali bersikap acuh, berarti kita juga sudah mendukung para teroris. Ingat lagi apa yang mereka inginkan, dan apa tujuan yang mereka miliki dengan melakukan tindakan sadis dan berupaya membuat media memberitakan tindakannya ke seluruh mata manusia di layar kaca. Toh, memang itulah yang para teroris inginkan, kan?
Jika kita melakukan tindakan seperti itu, secara tidak langsung menyukseskan para teroris, maka kita sendiri adalah -bagian- dari para teroris itu sendiri, dong?
Oleh: Aldian Hudaya (Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2015, dan Anggota JMPS 2017/2018)