Santap Karya: Aku Wanita dan Wanitaku & Bangun Bunda Bangun! [CERPEN]



Aku Wanita dan Wanitaku



Dia cantik, sungguh tak ada yang lebih dari dirinya. Lihat dia, mata lebar sendu dengan halis ulat bulu, hidung kecil lancip gunung, mulut tipis pelangi, kulit putih kapas, dan rambut hitam langit malam. Sungguh sempurna. Namanya Dinda, puas aku melihatnya dari cermin kecil di tanganku ini, karena dia adalah aku, akulah Dinda sang karya sempurna bapak dan bunda.
Selalu tak puas aku meski tiap hari melihat wajah ini, sempurna. Entah apa makanan yang bundaku telan kala mengandung makhluk secantik diriku. Enta doa apa yang bapakku panjatkan pada tuhan agar memiliki putri secantik diriku.
Tapi entah kenapa aku dikurung disini, bapak dan bunda mana? Kenapa aku disini? Sudah berapa lama aku disini? Dan benda apa ini yang menahan gerak kakiku? Aku ingin pergi, aku ingin keluar dari ruangan sempit ini...
Tenang Dinda, coba cari jalan keluar...
Tuhan tak ada jalan keluar, jangankan keluar kakiku saja sulit kugerakan...
*Toktoktok (suara ketukan pintu)
"Hey kamu siapa?" Sepertinya dia akan langsung masuk...
"Halo Dinda selamat pagi, ini waktunya kamu makan. Boleh kan aku masuk?!"
"Siapa itu?"
Tunggu dulu, aku kenal suara itu, itu dia yang kemarin, yang minggu lalu, yang bulan lalu, yang tahun lalu, yang beberapa tahun lalu, aku kenal suara itu dan aku yakin itu dia, wanita itu...

*****
Hari ini aku masak apa yah? Dinda pasti lapar semalaman kan aku belum kasih dia makan, dia pasti sangat lapar. Kalau saja acara kumpul keluarga itu tidak ada, pasti Dinda tidak akan kelaparan. Aku harus memasakan sesuatu yang sangat spesial untuk dia pagi ini.
Baiklah, aku rasa nasi goreng dengan kornet dan telur akan sempurna untuk memuaskan Dinda. Semoga pagi ini dia tidak kambuh lagi.
Yah ini sudah sempurna, tinggal kutaburkan lada di atasnya. Akan kuantarkan sekarang ke kamar Dinda. Aduh aku hampir lupa suntikan penenangnya, siapa tahu Dinda kambuh lagi. Semoga saja kali ini Dinda ramah padaku.
*toktoktok (mengetuk pintu)
"Siapa itu?"
"Halo Dinda selamat pagi, ini waktunya kamu makan. Boleh kan aku masuk?!" sepertinya dia lupa lagi padaku. Sebaiknya aku langsung masuk saja.
"Hai, ini aku Andin kamu makan yah, maaf semalam aku pergi keluar, jadi gak sempet nyiapin kamu makanan" semoga dia tidak marah.
"Aaaaaaarrrrrggghhhhhh, pergi kamu, pergi dasar kamu iblis, aku mau keluar, pergi dari sini"
"Tenang, tenang, aku cuma mau ngasih kamu maka..."
*Buuuuggggg (sesuatu menghantam kepala Andin)
Ah dasar, kenapa lagi dia kali ini. Kenapa sampai harus melemparkan cermin kesayangannya ke kepalaku. Aduh, kepalaku sampai berdarah begini. Sepertinya langsung saja aku suntikan obat penenang ini padanya....

*****
Pagi Dinda dan Andin kembali seperti biasa, Dinda yang mengamuk dan Andin yang kesulitan menenangkannya. Hal seperti ini sudah sangat sering terjadi, setidaknya dari 7 tahun yang lalu...
Iya kurang lebih sudah 7 tahun semenjak Dinda dan Andin pertama kali bertemu. Saat itu awal tahun ajaran baru, saat Andin masih duduk di kelas 12 SMA Pelita Bunda. Satu sekolah geger pada hari itu, terutama para siswa lelaki, kabarnya ada gadis cantik dari kota yang pindah ke sekolah mereka. Kecantikan gadis itu katanya melebihi Andin, gadis tercantik di sekolah. Ternyata benar saja murid pindahan itu datang, berjalan menyusuri selasar sekolah menuju tepat di kelas Andin. Namanya Dinda, pindahan dari ibu kota. Entah takdir baik atau buruk, akhirnya Dinda dan Andin duduk sebangku.
Saat jam istirahat tiba, kelas Andin tiba-tiba saja dipenuhi oleh para siswa lelaki yang berdesakan terlihat berebut berkenalan dengan Dinda. Dengan santai Dinda menanggapi semua ajakan perkenalan itu seperti selebriti yang sudah biasa menghadapi penggemarnya.
Para siswa lelaki mungkin merasa bahagia, seakan ada bidadari yang jatuh ke sekolah mereka katanya. Namun itu berbeda dengan para siswa wanita. "Andin aja udah cukup bikin cowok-cowok gila, sekarang ditambah lagi anak baru itu. Kalah saing kita!" begitu ujar para gadis muda yang merasa diri mereka terkalahkan oleh kecantikan Dinda dan Andin.
Beberapa minggu berlalu, popularitas Dinda terus meroket, selain cantik memang Dinda itu mudah bergaul, berbeda dengan Andin yang meskipun juga cantik tapi dia itu gadis yang sangat pemalu dan tertutup.
Selama beberapa minggu itu sedikit demi sedikit Dinda dan Andin semakin akrab, malah sangat akrab. Sungguh kombinasi yang sempurna, ketika melihat kedua bidadari itu selalu bersama kemana-mana, ke perpustakaan, kantin, bahkan toilet pun mereka bersama. "2 Bidadari SMA Pelita" itulah julukan mereka.
Setelah satu semester berlalu, Dinda dan Andin telah menjadi sahabat yang sesungguhnya. Dinda tahu segala hal tentan Andin yang ternyata adalah anak dari pemilik perkebunan teh yang ada di sekitaran lingkungan mereka, bisa dibilang Andin itu adalah orang paling kaya di daerah mereka. Begitu pula Andin yang tahu segala hal tentang Dinda yang ternyata pindah sekolah karena perusahaan ayahnya bangkrut dan kini akhirnya memilih sembunyi dari para penagih hutang. Latar belakang mereka memang berbeda namun itu tidak jadi alasan yang mengganggu persahabatan mereka.
Persahabatan mereka berjalan dengan lancar sampai suatu ketika hal yang ganjal terjadi. Saat itu Dinda yang memang sedikit 'nakal' memanfaatkan kecantikannya untuk 'memperbudak' lelaki. Sedikitnya Dinda itu punya 3 orang pacar dan semuanya dia manfaatkan untuk dikeruk uangnya untuk memenuhi segala kebutuhan Dinda mulai dari peralatan sekolah dan peralatan kecantikan semua terpenuhi dari hasil pria-pria yang tergila-padanya. Namun bukan itu pokok permasalahannya, masalahnya adalah Andin.
Andin meskipun cantik dia tidak pernah sekalipun berhubungan dengan lelaki. Bukan karena tidak ada yang menginginkannya, jumlah pria yang mengantri mendapatkan Andin juga tak kalah banyak dari Dinda, namun ya begitulah Andin yang selalu tertutup, kecuali pada Dinda.
Dinda dan Andin sering bertengkar karena entah alasan apa setiap Dinda berhubungan dengan lelaki pasti Andin langsung naik pitam. Baginya selalu saja tak ada lelaki yang sesuai untuk Dinda. Tak jarang juga Andin tanpa sepengetahuan Dinda 'melabrak' lelaki yang mendekati Dinda agar segera meninggalkannya. Ancaman bahkan kekerasan pun tak ragu dia lakukan untuk melindungi Dinda-nya yang sangat berharga. Dengan uang dan kekuasaan yang dimiliki orang tua Andin hal-hal seperti itu mudah saja Andin lakukan. Awalnya Dinda tidak mengetahui kelakuan buruk Andin dibelakangya itu. Sampai suatu ketika hal itu bocor ke telinga Dinda.
Malam itu adalah tepat sebelum esoknya hari kelulusan mereka dari SMA. Dinda yang malam itu terbakar amarah mencoba menanyakan alasan kenapa Andin selalu menjauhkan lelaki darinya. Bagaimanapun Dinda menanyakannya Andin tetap terdiam menutup mulut menahan kenyataan yang selama ini dia pendam sampai akhirnya Andin tak sanggup lagi menahannya.
Malam itu semuanya terungkap. Andin memandang Dinda dengan cara yang berbeda. Bukan sebagai teman wanitanya, namun sebagai wanita, sebagai kekasih. "Aku cinta sama kamu, lebih dari apapun aku cinta sama kamu. Bukan cuma sahabat, aku mau lebih, aku mau jadi pacar kamu?!" ujar Andin yang meluapkan perasaannya. Tentu saja Dinda sangat terkejut saat itu, tidak menyangka.
Kejutan gila lainnya terjadi ketika Andin tiba-tiba saja memeluk dan mencium mulut Dinda dengan penuh nafsu. Tentu saja saat itu Dinda langsung berontak dan menjauhkan Andin dari tubuhnya. "plaaaakk" Dinda menampar muka Andin sekeras-kerasnya. "Dasar gila!" ujar Dinda yang tanpa panjang lebar tergesa-gesa meninggalkan Andin.
Sebulan lebih setelah itu Dinda tak lagi bertemu dengan Andin. Bahkan di hari perpisahan sekolahnya. Sampai suatu ketika hal terburuk terjadi dalam hidup Dinda terjadi. Suatu hari Bunda dan Bapak Dinda pergi beberapa hari keluar kota untuk menyelesaikan permasalahan perusahaannya.
Hari itu keadaan rumah Dinda sangat sepi, Dinda hanya sendirian sedang membaca buku di kamarnya. Sampai sesuatu yang mengejutkan Dinda hadir ketika 5 orang pria berbadan besar dengan penutup wajah tiba-tiba mendobrak pintu kamarnya. Dinda tak sempat menyadari keadaan bahaya disekitarnya itu dalam sekejap sudah berada dalam sekapan pria-pria itu. Mulutnya disumpal, tangan dan kakinya dipegangi sehingga saat itu Dinda tak kuasa melawan. Dalam sekejap derita Dinda dimulai, secara bergilir ternyata kelima orang itu memerkosa Dinda dengan brutal. Tanpa ampun dia disiksa oleh mereka. Kelima orang itu berhenti ketika kedua orang tua Dinda ternyata di malam sial itu pulang. Panik, itulah satu-satunya alasan yang akhirnya tanpa pikir panjang kelima orang itu membunuh Bunda dan Bapak Dinda yang saat itu coba menolong Dinda.
Saat kejadian mengerikan itu terjadi di hadapan Dinda dia tak tahu apa yang harus dia lakukan selain melarikan diri. Meskipun dikejar 2 orang diantara para penjahat itu namun tetap Dinda akhirnya bisa melarikan diri. Takut, bingung, lelah, dan tidak ada seorangpun yang menolongnya di malam sepi itu akhirnya Dinda pergi ke rumah Andin yang memang berdekatan dengan rumahnya.
Saat sampai di rumah Andin yang pertama menemukan Dinda yang dalam keadaan kacau itu adalah ibunya Andin. Yang langsung berteriak meminta tolong pada para pekerja dirumahnya untuk segera memasukan Dinda ke rumah. Andin yang terlihat terkejut melihat keadaan Dinda yang telah dirawat oleh para pembantunya itu kemudian mengajak nerdiskusi kedua orang tuanya. Malam itu Andin Meminta agar kejadian ini tidak perlu dilaporkan ke pihak berwajib, menurutnya hal ini hanya akan menambah luka untuk Dinda yang nantinya seumur hidup akan menanggung malu sebagai korban perkosaan. Dengan terpaksa karena Andin tetap bersikukuh akhirnya kedua orang tuanya menyetujui agar menyembunyikan Dinda di rumah mereka.
Keesokan harinya pihak kepolisian mengetahui kejadian di rumah Dinda dan langsung mengevakuasi jenazah kedua orangtua Dinda. Berita pun tersebar dengan cepat tentang kejadian yang diasumsikan sebagai pembunuhan yang berhubungan dengan masalah bisnis keluarga itu. Hal yang janggal hanyalah keberadaan Dinda yang tidak diketahui siapapun.
Hari, minggu, bulan berlalu. Dunia masih tak tahu keberadaan Dinda kecuali keluarga Andin dan para pekerja yang tinggal di rumah itu. Tentu saja dengan uang hal itu bisa terjadi, semua mulut bisa ditutup.
Dinda semakin lama semakin berubah. Dia tak lagi ceria, tentunya. Seriap hari dia hanya menangis dan menangis tanpa sekalipun pernah berbicara. Hal lebih buruk terjadi ketika pada akhirnya Dinda menyadari dirinya hamil, Dinda langsung menggugurkan kandungannya dengan berkali-kali menghantam perutnya sendiri. Semenjak hari itu Dinda sering berusaha melarikan diri dengan meloncat dari jendela. Karena alasan itu akhirnya dengan terpaksa kaki Dinda dipasung, tangannya dipasangi borgol yang biasa digunakan polisi untuk menjerat penjahat.
Setahun sudah Dinda menjadi tahanan rumah. Seakan masih kurang penderitaannya kini hal buruk lain menimpah Dinda, kali ini pelakunya Andin. Dengan alasan cinta, hampir setiap malam setelah saat itu Andin selalu 'menyetubuhi' Dinda. Kini selain sebagai orang gila yang dipasung di ruangan terkunci, Dinda juga menjadi budak pemuas nafsu birahi Andin. Sungguh takdir pilu seorang gadis yang hidupnya dikerumuni kesialan.
Hingga kini,  7 tahun kemudian setelah Dinda dan Andin pertama kali bertemu hidup mereka, hubungan mereka, sungguh merupakan kerumitan yang hakiki. Hingga kini, hari dimana Dinda melemparkan cermin kesayangannya ke kepala Andin yang akhirnya terpaksa harus kembali membius Dinda seperti biasa ketika Dinda mengamuk.
"Kamu sudah bangun?" ujar Andin yang baru saja selesai mengobati luka di kepalanya. Sudah tengah hari, cukup lama memang Dinda hilang kesadarannya. "Lepaskan aku, tolong lepaskan aku Andin!" ujar Dinda yang masih lemas.
"Jangan, kamu udah disini aja. Di luar itu bahaya. Gimana kalau kamu ketemu pemerkosa itu lagi?"
"Gila kamu, kamu itu yang pemerkosa, kamu lebih buruk dari mereka!"
"Hahahahahaaaa aku gila? Hey sadar coba lihat siapa yang kakinya dipasung! Aku lakuin semua ini karena aku cinta sama kamu Dinda..."
"Kamu itu wanita, aku wanita, kita gabisa kaya gini Andin, lepasin aku tolong?!"
"Iya aku wanita, dan kamu wanitaku!"
"Dasar gila, setiap hari aku udah bilang kalau aku mau ketemu Bundaku, mau ketemu Bapakku, aku kangen mereka Ndin, tolong lepasin aku!"
"Hahahaha kamu lupa lagi yah, merek udah mati, pas di hari itu kamu lupa yah? Harus berapa juta kali aku kasih tau kamu ini?!"
"Gak mungkin,  gak, gak, gak, gak kamu pasti bohong Ndin! Pembohoooooooong"
"Kamu bilang aku pembohong? Bukannya selama ini aku udah kasih tau semuanya? Tapi kamu lupa terus kan? Aku udah bilang kalau aku cinta kamu, aku udah bilang kalau orangtua kamu udah mampus, bahkan aku juga udah bilang kalau 5 orang yang udah perkosa dan bunuh mereka itu aku yang suruh, aku yang bayar, bahkan aku juga selalu jujur sama kamu kalau aku juga udah bunuh ibu bapak aku sama pembantu-pembantu aku dalam kecelakaan mobil waktu taun kemarin. Aku lakuin itu supaya bisa hidup berdua aja sama kamu... Hahahahaha aku jujur kan? Bukti cinta itu jujur kan? Hahahaha"
"Aaaaaaaaarrrrrggghhhhh..."
"Jangan teriak ih berisik, lagian gabakal ada yg dengerin,  mendingan kamu makan tuh aku udah bikinin nasi goreng kesukaan kamu."
Mendengar itu memang bukan yang pertama bagi Dinda, namun dia selalu melupakannya, tepatnya berusaha melupakan kenyataan itu dengan berusaha keras menghapus ingatannya dengan berbagai cara. Namun reaksi kali ini berbeda, bukan cuma teriak histeris, kali ini dia mengambil tindakan yang melampaui batas. Dengan tangan yang masih diborgol Dinda mengambil piring disampingnya lalu dia pecahkan piringnya, satu pecahan besar piring itu kemudian dia tancapkan ke lehernya sendiri. Andin sempat berusaha mencegahnya, namun terlambat pecahan piring itu sudah tertancap dalam dan kemudian langsung Dinda cabut sehingha darah tak henti keluar.
Andin sangat terkejut saat itu, panik, takut, dan tentunya sangat terluka hatinya...
"Kamu boleh mi,  mi, miliki badanku ndin, silahkan nikmati sepuasnya. Ta... Tapi gak hatiku" itukah kalimat terakhir yang diucapkan Dinda dengan darah yang tak hentinya keluar dari leher dan mulutnya.
"Aaaaaaaaaagmrrrgggghhhhhhhh bangun Dinda, bangun cintaku..." Andin menangis sejadi-jadinya. Berteriak sekencangnya, berjam-jam Andin terus begitu hingga malam pun tiba. Air mata Andin tak lagi tersisa, suaranya habis, yang tersisa hanya penyesalan dan kehampaan akhirnya dia melepaskan pelukannya dari tubuh Dinda yang sudah mulai mengeras dan dikerubuni lalat.
Keluar Andin dari kamar Dinda. Ketika kembali Andin sudah membawa satu wadah penuh suntikan yang sudah terisi penuh obat penenang yang biasa dia gunskan untuk menenangkan Dinda. Kemudian dia berbarinh di samping jenazah Dinda. Digulungnya lengan pakaian panjangnya. Sekali, dua kali, tiga kali, dan terus, terus, dan terus dia menyuntikan obat penenang itu pada lengannya sendiri. Nafasnya mulai terasa sesak, kepalanya seakan berputar, pandangannya kabur, perutnya mual, hingga pada suntika ke-13 akhirnya mulutnya mengeluarkan busa, matanya terbelanga menatap ke atas, badanya mengeras dan mengejang, sampai akhirnya jantungnya pun berhenti berdetak. Andin pun tergeletak mati di samping Dinda, wanita yang dia cintai dengan cara yang salah...

*****
Sebuah pesan untuk mereka yang tersesat

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Bangun Bunda Bangun!



Jakarta pagi ini, pisau di tangan kanan dan sebatang rokok di sela jari tangan kiri. Jakarta malam kemarin, sebotol bir di tangan kanan dan payudara di tangan kiri. Jakarta minggu kemarin, kedua tangan memeluk tubuh Bunda.
Kalau bisa memutar waktu aku harap bisa kembali ke minggu kemarin ketika aku masih bisa memeluk Bunda. Kalau teringat padanya pasti hal pertama yang terbayang di benak ku adalah tahi lalat di pipi kanannya. Masih sulit dipercaya bahwa kemarin benar nyata bahwa Bunda sudah meninggal. Dia pernah tertabrak mobil, jatuh dari tangga, terkena demam berdarah tapi dia selalu bertahan. Harusnya kemarin pun dia bertahan. Aku hanya ingin dia berbisik padaku dengan candanya seperti biasa. Canda saat dia mengatakan "jangan kencing di celana ya Gaw!". Aaaarrhh Tuhan... aku sungguh merindukan itu.
Masih ingat aku 18 tahun yang lalu saat Bunda pertama kali bertemu denganku. "Heh bocah tengik, mencuri itu cuma perbuatan hewan! Kalau kamu manusia jangan nyuri!" Bentak nya padaku yang saat itu kelaparan menahan perut yang belum di isi selama 2 hari dan akhirnya terpaksa mencuri sepotong tahu di dapur warung nasi milik Bunda. Saat itu aku masih berumur 6 tahun, masih hidup sebagai gelandangan bersama Ayah kandungku yang tukang judi dan mabuk. Rumah kami berada tepat di bawah jembatan, meskipun lebih tepatnya "rumah" itu disebut gubuk yg berdindingkan triplek bolong dan beratapkan plastik dan karung bekas.
Kalau ditanya pekerjaan Ayahku apa, akan agak sulit menjawabnya. Karena yang kutahu kalau di luar sana pekerjaannya itu hanya berjudi dengan uang hasil mengamen dan mengemis ku. Kalau pulang ke rumah pekerjaannya memarahi dan memukuliku. Kalau ditanya dimana ibuku berada, itu juga agak sulit karena yang kutahu ibuku itu pergi ke luar negri untuk jadi babu.
Tiap hari aku mencari uang sebanyak mungkin untuk kuberikan pada ayahku. Dan biasanya Ayah memberi aku sedikit uang untuk membeli makanan. Namun hari itu berbeda, saat Ayah datang ke rumah dia langsung datang memarahiku dan memaksa menyerahkan semua uangku termasuk uang tabungan yang aku simpan dibawah kasur ku. Dan setelah itu Ayah pergi dengan semua uang yang kumiliki, sebagai tambahan dia pun sekaligus membuatku babak belur. Setelah itu aku pun sakit selama dua hari tanpa menemukan secuil gabah pun, yang masuk lewat kerongkonganku hanyalah beberapa gelas air yang aku kumpulkan dengan menampung air hujan menggunakan ember usang yang biasanya aku pakai untuk mencuci. Sampai pada akhirnya adalah hari itu, Hari Pertemuanku dengan Bunda. Perutku sudah tak bisa lag diajak berdamai. Aku memaksakan tubuhku untuk mencuri makanan, sepotong tahu milik Bunda.
Hari itu pencurianku bagai perjalanan bunuh diri, jelas saja karena aku mencuri di warung nasi milik orang paling ditakuti di kawasan kami, yang menurut teman-temanku sesama pengamen dia itu adalah tukang pukul yang suka bunuh orang. Sial sekaligus beruntungnya aku adalah saat dia memergoki aku yang sedang rakusnya memakan goreng tahu miliknya. Tubuh kecilku dia tangkap dengan mudahnya, tak bisa lari aku ketika tangan raksasanya mencengkram kaos usang yang jarang kuganti itu. Teriak percuma, dia langsung menutup mulutku dengan tangan satunya. Meronta-ronta seprti anjing gila pun tetap percuma, tenaganya seribu kali lipat dariku. “Jangan Berisik... Jangan Nangis... atau nanti aku makan kamu!” tegasnya padaku yang saat itu ketakutan dan langsung diam menurutinya.
Setelah berhasil menangkap dan menenangkanku Bunda langsung membawaku ke ruangan depan, tempat dimana biasanya dia melayani pelanggan yang membunuh lapar di perut mereka dengan memakan hidangan dari Bunda. Disana aku masih ingat, Bunda menyuruhku duduk diam di salah satu meja kosong yang belum di isi pelanggan. “Akbar, ambilkan Nasi dan lauk yang lengkap sebanyak mungkin sekarang! Aku punya tikus kecil yang harus diberi makan segera! Cepat jangan kau coba lama-lama aeeee!” teriaknya pada seseorang yang sedang menyapu di depan warungnya. Tak lama orang bernama akbar itu langsung membawa nasi yang diatasnya terdapat daging sapi dan sayur-sayuran. Tak banyak bicara Bunda langsung menyuapiku dengan tangan ‘kasarnya’. Seperti tanpa jeda mulutku terus dijejali makanan olehnya. Hampir tersedak aku dibuatnya, namun tetap saja aku menikmatinya karena ini adalah hal yang langka bagiku, bisa makan sebanyak dan seenak itu adalah keajaiban yang jarang sekali aku dapatkan.
Setelah selesai menghabiskan hidangan di atas piring itu Bunda langsung menggendongku lagi, membawaku ke depan warungnya. Setelah itu dia langsung menurunkanku sambil berkata “Heh tikus kecil ingat namaku Bunda, panggil aku seperti itu mulai hari ini. Kapan saja kau lapar, datang ke Bunda. Setiap kali kau sedih, datang dan peluk Bunda. Tiap kali kau marah, datang dan pukuli badan Bunda, tapi kalau kau senang, pergi ke luar sana cari orang yang bersedih lalu hibur dia, kalau tidak bisa bawa dia ke Bunda! Ingat itu aeee!” Lalu aku pun disuruhnya pulang kembali ke rumah. Meskipun tak ingin kembali ke gubuk tua itu aku tetap saja tak bisa melawan perintah orang sebaik Bunda. Semenjak hari itulah aku mulai mengenal dan menjadikan Bunda sebagai tempat berlindugku. Sesuai dengan ucapannya setiap terjadi sesuatu aku selalu datang ke tempatnya, terutama ketika aku lapar.

Hari jadi minggu, Minggu jadi bulan, dan bulan menjadi tahun. Waktu tak terasa berjalan beriringan dengan pahit manisnya hidupku. Pahit ketika hidup bersama Ayah kandungku dan manis ketika berkunjung dan bercengkrama dengan Bunda. Dulu Bunda mengajariku, kalu siang yang hangat selalu berdampingan dengan malam yang dingin, kedua hal itu harus selalu berdampingan agar aku bisa hidup dalam keseimbangan. Bila Ayahku itu adalah malam yang dingin maka Bundalah siang yang hangat bagiku. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan, yah walaupun Ayahku itu memang kebanyakan isinya adalah kekurangan namun semua itu tertutupi oleh Bunda yang semakin lama semakin kukenal dan kupahami siapa dia sebenarnya.
Bunda adalah pria asal Papua, berbadan besar dan kekar, rambut keriting sarang tawon, dan kulit hitam setenang malam. Dulu Bunda primadona di atas sasana, petinju yang selalu dipuja. Terkenal sebagai ‘Si Berlian Hitam’, juara Asia tahun 70’an.


Mungkin kalian bertanya, kenapa pria dipanggil “Bunda”? Biar kujawab sederhana, kalian juga pasti tahu kalau tidak ada manusia yang sempurna. Awalnya aku memang sedikit curiga, kenapa seorang wanita punya tubuh kakar dan suara besar seperti itu dan ternyata sedikit demi sedikit semuanya mulai terungkap. Bunda memang lahir dengan tubuh pria, namun Bunda lahir dengan jiwa wanita. Bunda memang juara sasana, namun Bunda lebih bahagia memasak nasi goreng untuk anak-anaknya. Bunda suka bertinju, namun Bunda cinta merias wajahnya, merapikan rambutnya, dan memakai gaun untuk menutupi badan kekarnya. Itulah Benedictus Mahgowe, atau biasa kupanggil dia Bunda.

Silahkan kalian berpendapat atau menghakimi seperti apapun, terserah kalian mau melihat Bunda dari sudut pandang orang kebanyakan yang menganggap dia itu bencong gila, si hitam tak tahu diri, tukang pukul sadis, ataupun pembunuh dari Papua. Toh itu pandangan mereka. Namun bagiku dialah sosok luar biasa dan orang tua terhebat yang pernah kumiliki.

Aku memang pernah dengar dari orang-orang kalau Bunda itu dulu pernah dipenjara karena telah membunuh dua orang pria, aku juga pernah dengar kalau Bunda itu pernah memukuli orang sampai lumpuh, tapi aku tetap tak peduli. Karena aku sudah dengar penjelasan langsung dari Bunda, dia cerita dia bunuh dua orang itu dulu karena hendak membantu seorang gadis kecil yang mereka perkosa secara bergilir, meskipun itu berakibat dia dipenjara selama 15 tahun dan karir tinjunya berakhir. Dia juga memukuli seorang pria sampai lumpuh itu karena pria itu memukuli anaknya sendiri di depan warung Bunda. Dan alasan itu menurutku masuk akal dan terhormat, meskipun dia harus menerima ganjaran yang berat namun itu cukup setimpal karena dia melakukannya atas dasar kemanusiaan. Itu pendapatku, sekali lagi terserah kalian mau mengangap Bunda seperti apa.

Hal yang lebih luar biasa dari Bunda adalah anak-anaknya, kalian tahu saat tadi aku bercerita seorang gadis yang Bunda tolong saat diperkosa itu akhirnya mengalami gangguan jiwa. Nama gadis itu jesica, semenjak saat itu Keluarganya tak mau lagi eduli padanya, dia dipasung karena keadaan jiwanya itu selama 15 tahun, bersamaan dengan Saat Bunda dipenjara. Setelah Bunda keluar dia langsung pergi mencari gadis itu dan meminta izin pada keluarganya untuk merawat Jesica hingga kini sebagai anak angkatnya. Jesica kini lumpuh dan gila, namun Bunda tetap merawatnya dengan setia seperti pada anak kandungnya sendiri. Kemudian anak yang bapaknya Bunda pukuli sampai lumpuh namanya adalah Akbar, dialah anak angkat Bunda yang kedua. Semenjak kejadian itu Akbar tak pernah lagi bertemu dengan Ayahnya, Akbar lebih memilih untuk menjadi anak angkat Bunda dan tinggal di ruah Bunda sembari membatunya menjaga Warung Nasi kepunyaan Bunda itu. Lalu anak angkatnya yang ketiga adalah aku, Elga Ardiansyah. Bunda biasa memanggilku dengan sebutan Gagaw, sehingga pada akhirnya semua orang memanggilku seperti itu.

Aku memang mengenal Bunda semenjak masih berusia 6 tahun, namun aku baru diangkat menjadi anaknya setelah berusia 12 tahun. Ketika itu sesuatu terjadi pada Ayahku, dia menghilang. Entahlah kemana perginya pemabuk tua itu pergi yang jelas saat itu aku malah meraa bahagia. Selama itu juga dia malah menjadi beban untukku. Biaya sekolahku dan hidupku ditanggung oleh Bunda, jadi aku sama sekali tidak khawatir. Setelah Ayahku menghilang akhirnya aku bisa terbebas dari belenggunya dan bisa hidup bahagia bersama Bunda, kak Jesica, dan Kak Akbar.

Tahun demi tahun berlalu, aku telah lulus SMA. Saat itu usiaku 18 tahun, kak Akbar 25 tahun, Kak Jesica sudah 36 tahun. Sedangkan kalau usia Bunda jujur saja aku tidak tahu, karena setiap kali ditanya usia Bunda pasti marah dan langsung meninju mukaku. Dan itulah yang paling aku takuti, meskipun aku tahu dia itu tidak benar-benar marah dan tidak memukul terlalu keras tapi tetap saja aku takut setengah mati. Dan tiap Bunda melakukan itu aku selalu mengompol, memang terdengar sedikit hiperbola tapi entah kenapa setiap kali melihat kepalan tangan mengarah padaku, aku langsung takut dan mengompol. Dan hal itulah yang menjadi senjata Bunda untuk ‘menindasku’, aku selalu jadi bahan lawakan keluargaku, biasanya kak Akbar dan Bunda sengaja menakut-nakutiku sampai akhirnya aku mengompol dan mereka pun tertawa puas, kak Jesica pun tertawa. Walaupun tetap saja stelah itu dia kembali murung dang diam seribu bahasa. Sebagai catatan saja, selama ini aku sama sekali belum pernah mendengar sekalipun Kak Jesica bicara.

Setelah lulus SMA aku langsung mengambil kuliah jurusan teknik di salah satu, Universitas negeri ternama di jakarta. Meskipun aku tahu Bunda dan kak Akbar yang sudah bekerja di sebuah pabrik tekstil kewalahan membiayai biaya kuliahku tapi mereka selalu meyakinkan bahwa aku harus mendapat pendidikan terbaik agar nanti bisa menjaga keluarga kami.

Aku kuliah dengan harapan dan keyakinan besar dari keluargaku, terutama Bunda. Namun sayangnya semua itu aku hancurkan. Saat kuliah aku pertama kali mendapat seorang sahabat yang sangat istimewa, namanya Martin. Pria kaya anak pejabat asal Medan. Awalnya kami bersahabat seperti pada umumnya, namun pada akhirnya aku mengetahui bahwa Martin berbeda, dia menyukaiku. Martin ternyata seorang gay, dan entah setan apa yang merasukiku saat itu, akupun menerima perasaannya dan tanpa sepengetahuan siapapun kami pun menjalani kehidupan sebagai kekasih. Hubungan kami pada awalnya sangat menyenangkan, selama itu masih di batas normal. Namun setelah setahun menjalin hubungan Martin mulai meminta ‘jatah’. Bagai babi jantan yang tenggelam dalam nafsu Martin terus menuntut untuk melakukan seks denganku. Aku tentu menolak, namun dengan perasaan yang tak menentu. Mengingat selama satu tahun ini Martin lah yang membiayai kuliahku dan membantu Bunda memperbesar usahanya yang dulu hanya sekedar warung kini telah menjadi restoran yang cukup besar.

Hingga suatu ketika, aku terjebak. Sedikit dipaksa, aku waktu itu diajak Martin mencoba narkoba. Sabu-sabu jenisnya. Awalnya biasa saja, namun ternyata itu rencana dia untuk mendapatkan ‘keperawananku’. Semenjak saat itu bukan hanya menjadi ‘lubang kenikmatan’ untuk Martin, aku juga menjadi seorang pecandu narkoba.

Sudah enam tahun aku menjadi mahasiswa, namun jauh dari gelar sarjana. Yang ada aku hanya menjadi penikmat sodom dan pecandu kambuhan. Hingga suatu ketika di rumahku. Martin datag berkunjung, tentu bukan tanpa alasan. Dia datang untuk jatahnya yang sebulan ini belum aku berikan. Namun kali ini sedikit berbeda, dia datang dengan seorang wanita. “Aku ingin coba hal yang baru...” Ujarnya dengan senyum kecil khas wajah tampannya. Malam itu kami bertiga, melakukan pesta di kamarku. Pengaruh narkoba membuatku menikmati semuanya, bersenggama bertiga.

            Dan hari itu adalah kemarin, sehari sebelum Bunda tiada. Waktu itu jam menunjukkan pukul 11.35 saat kami bertiga asik bergulat di atas ranjang. Tanpa sadar ternyata pintu sudah terbuka, tampak pucat kulihat Bunda ternganga memandang adegan gila yang sedang kami lakukan. Saat itu sisi pria Bunda jelas terpancing keluar. Tanpa ampun Bunda langsung menyerang Martin dan wanita pelacur yang dia bawa. Aku tak bisa apa, tubuh telanjangku langsung bersembunyi di pojokan. Tanpa henti Bunda terus meninju Martin yang awalnya rupawan kini hancur tak karuan. Si wanita yang coba menolong Martin juga ikut kena imbasnya. Satu pukulan saja sudah cukup untuk merobohkan wanita itu yang langsung terpental membenturkan kepalanya ke pojok meja samping ranjangku. Saat itu aku tahu Wanita itu sudah tewas. Sebenarnya aku tak peduli pada wanita itu, namun yang menjadi perhatianku adalah adalah keadaan Martin yang hancur tak berdaya. Namun tetap saja kaki ini terpaku, aku tak bisa apa-apa selain kencing ketakutan. Setelah selesai dengan Martin, Tangan Bunda yang berlumuran darah langsung menarik tanganku untuk keluar dari kamar. Dia langsung menyuruhku duduk di ruang tamu.

Untuk beberapa menit Bunda pergi, saat kembali Bunda datang dengan membawa sebelah pisau. Sungguh tak ada horor yang lebih menakutkan dari itu, seorang pria hitam berbadan besar mengenakan gaun tidur yang tangannya berlumuran darah sambil memegang pisau. Namun ada hal yang ternyata kurang aku perhatikan. Saat itu Bunda tak berhenti meneteskan air mata.

            “Maafkan Bunda, kamu jadi seperti ini. Ampuni dosa Bunda, mungkin ini karma namun Bunda mohon ampuni Bunda. Ini sakit gaw, terlalu sakit untuk Bunda” Ujarnya sambil terus menangis tersedu-sedu.
Namun aku tak bisa menjawab apa-apa. Sampai saat Bunda mengucapkan sesuatu yang tak pernah kukira. “Bunda menyesal menjadikan kamu anak angkat, Bunda menyesal waktu itu membunuh Ayah kamu demi mendapatkan kamu, Bunda menyesal gaw...”.

“Apa? Ayah? Apa maksud Bunda membunuh Ayah? Kenapa Bunda lakukan itu? Dia memang bajingan tapi kenapa?

“Karena Bunda sayang Kamu, Bunda tidak mau kamu disakiti terus sama Ayah kamu itu...”

Entah karena masih pengaruh narkoba, saat itu aku entah kenapa sangat kesal pada Bunda, Aku langsung memukuli wajahnya, terus mmenerus tanpa henti. Tanpa kusadari ternyata Bunda sudah tak menangis lagi, karena sedari tadi pisau yang dibawanya itu sudah menancap di perutnya. Sedari tadi itu Bunda sudah Tiada.

Bagai disambar petir, aku tak bisa berkata apa-apa. Seakan seluruh pijakanku pada bumi ini runtuh seketika. Sakit di dada dan di kepala ini tak terkira rasanya. Seakan ada lubang-lubang besar di tubuhku yang malam itu menyadari bahwa Bunda bunuh diri karena kelakuanku. Bunda mati karena aku. Bunda mati karena aku. Bunda mati karena aku. Bunda mati karena aku. Bunda mati karena aku. Bunda mati karena aku. Bunda mati karena aku. Bunda mati karena aku. Bunda. Mati. Aku. Bunda. Mati. Aku. Bunda. Mati. Aku.

Sampai pagi aku hanya bisa terdiam, saat itu Kak Jesica sudah terbangun dan melihat keadaan Bunda yang berlumuran darah dari kejauhan. Kak Jesica dari Kejauhan terus berteriak mengucapkan kalimat yang sama “Bangun Bunda Bangun! Bangun Bunda Bangun! Bangun Bunda Bangun!...” Terus dia ulangi hingga kini. Aku hanya terdiam, bahkan aku sudah tidak bisa lagi menangis karena air mataku sudah kering.

Aku juga detik ini masih kebingungan untuk bercerita apa lagi pada kalian, aku bahkan tak tahu siapa kalian. Aku tak tahu kalian memperdulikan ceritaku atau tidak, apa kalian bisa tolong aku panggilkan kak Akbar? Apa kalian bisa tolong selesaikan masalahku? Heeeeey jawablah kalian siapapun yang menyimak ceritaku, eh tunggu apa kalian ini benar benar ada? Aku bercerita pada siapa? Kalian itu siapa? Apa aku sudah gila? BANGUN BUNDA BANGUN!


Tolong aku Tuhan!

(Oleh: Samsul Rizal Royani, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2016 dan Anggota JMPS 2017/2018)