Santap Karya: Lapang, Sawah, Permainan Tradisonal, dan Karakter Anak


 
Masih ingatkah dengan masa kecil kita saat bermain bersama di lapangan atau di sawah, beragam permainan dilakukan oleh anak kecil saat itu yang mampu mengasah kreativitas anak seperti egrang, momobilan, klereng, atau yang hingga saat ini masih bertahan bermain bola. Permainan tersebut merupakan wadah rekreasi yang sederhana namun bermakna, disela-sela kesibukan pendidikan yang membebani mereka lapangan, sawah, dan permainan tradisonal seringkali menjadi obat rasa bosan mereka.
Tetapi kita tak bisa memungkiri hal-hal yang seperti disebutkan di atas sudah tergerus oleh zaman, era globalisasi telah merubuhkan cara-cara tradisionil dalam melakukan aktifitas rekreasi. Ada-pun pihak yang melestarikan, namun untuk penyebaranya masih sulit diterima karena beragam faktor. Selian itu masuknya paham modernisme dan globalisasi secara tidak sengaja membawa sebuah inovasi baru yang bernama teknologi. Seperti yang kita ketahui berkembangnya zaman maka kebutuhan yang efisien juga semakin dibutuhkan, sehingga diciptakanlah yang namanya handphone, playstation, atau-pun beberapa teknologi lain sebagai upaya pengembangan inovasi dan mengefisiensikan permainan-permainan anak.
Padahal jika ditelusuri secara empiris dari beberapa literatur yang membicarakan tentang permainan tradisional,  maka akan kita temukan manfaat menarik untuk daya kongnisi, psikomotorik, atau-pun afeksi anak. Hal ini diperkuat oleh Misbach (2006:7) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa permainan tradisional dapat menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak yang dapat meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.    Aspek motorik dengan melatih daya tahan, daya lentur, sensori motorik, motorik kasar, dan motorik halus.
2. Aspek kognitif dengan mengembangkan imaginasi, kreativitas, problem solving, mengembangkan keterampilan dalam pertumbuhan anak.
3.    Nilai untuk kesehatan mental yang baik, yaitu: membantu anak untuk mengkomunikasikan perasaannya secara efektif dengan cara yang alami, mengurangi kecemasan, pengendalian diri, pelatihan konsentrasi.  Nilai problem solving, anak belajar memecahkan§ masalah sehingga kemampuan tersebut bisa ditransfer dalam kehidupan nyata. 
4.     Nilai sosial, anak belajar ketrampilan sosial yang akan berguna untuk bekal dalam kehidupan nyata.

Begitu beragama kebermanfaatan yang diterima oleh masyarakat jika kita tahu asyiknya bermain mainan tradisional. Oleh karena itu masyarakat  dalam menghadapi tantangan permainan modern, nilai kearifan lokal-lah yang harus mampu mengimbangi cara pikir mereka. Karena dari fakta yang ditemukan oleh beberapa peneliti, pola asuh keluarga untuk menanamkan nilai karakter lebih mengedepankan aspek kongnitif lewat teknologi dibanding mengajak mereka keluar rumah untuk berinteraksi  dengan lingkungan sekitar. Tak hanya itu saja, tantangan lain seperti fasillitas yang serba digusur membuat lahan permainan anak-anak menjadi minim atau bahkan tidak ada, hingga akhirnya mereka tak dapat sebuah pilihan yang lain selain bermain teknologi (gadget, laptop, dsb).

Hasil diskusi antara penulis dengan salah  satu alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan bahwa pendidikan karakter yang sedang di gadang-gadang oleh pejabat pendidikan ternyata sulit diterapkan jika harus dengan keadaan formal. Beliau menuturkan bahwa secara tidak langsung karakter itu dibentuk pada dasarnya dari orang tua dan permainan. Maka jangan aneh jika di era millenia sekarang kita menghadapi generasi egois dan tak paham akan kata afektif, karena lingkungan yang membentuk pun sudah tak sekondusif seperti dahulu. Sementara di sisi lain, kita sebagai pendidik tak bisa secara subjektif menjustifikasi bahwa tekonologi memiliki dampak yang buruk, hanya saja penggunaan yang bijak dan manajemen yang baik akan membentuk kolaborasi luar biasa untuk mendidik karakter anak. Semua tergantung pada bagaimana kita mempresepsikan permainan tradisonal dan permainan berbasis teknologi, karena secara praktis keduanya tak bisa kita lepas dari sendi-sendi kehidupan masyarakat hari ini.

(Oleh: Rizal Ahmad, Alumni Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2011)