Santap Karya: Tangan Gaib Pelakor


Percayalah, manusia dapat mengalah dalam berbagai hal. Tapi untuk rasa cinta, manusia rela berkorban mati-matian. Satu sisi perasaan mencintai harus berubah jadi ikhlas untuk melepaskan, sisi yang lain lagi rasa cinta juga harus berubah menjadi perjuangan tiada akhir. Dua sisi tersebut unik bagi manusia karena hanya dua hal yang dapat memberikan kekuatan kuat bagi manusia untuk melangkah. Satu rasa cinta yang sangat dalam atau rasa benci yang amat besar.
Beberapa hari yang lalu saya berusaha menemukan sisi romantis dari sosiologi yang memandang tentang cinta. Sulit untuk ditemukan memang, tetapi setidaknya ilmu pengetahuan selalu memberikan referensi kemana kita harus melanjutkan langkah pencarian itu. Saya melihat garis yang unik yang diberikan oleh para ahli untuk melihat sampai pada hal yang mikro. Pada garis akhir tersebut ternyata sosiologi sampai pada apa yang dinamakan tindakan sosial (suatu tindakan yang dilakukan untuk orang lain). Tindakan sosial itu miliknya sosiologi untuk menjelaskan proses sosial yang akan/sedang/nanti terjadi. Akan tetapi dia belum melihat kenapa orang berperilaku seperti itu secara sepesifik (Yesmil, 2013). Akirnya dunia sosiologi harus ditinggalkan sementara demi mencari alasan yang memuaskan banyak orang.
Selanjutnya langkah saya menuju pada dunia psikologi. Ilmu yang lebih spesifik untuk membahas tentang sikap dan tingkah laku. Kebetulan sekali beberapa hari yang lalu saya menyampaikan presentasi tentang sikap. Mengapa seseorang itu bersikap? Secara ringkas terdapat dua teori yang melandasinya. Satu tindakan itu beralasan, dua tindakan itu berencana. Beralasan karena seseorang melihat dampak dan bagaimana masyarakat itu melihat tindakan seseorang tersebut. Tindakan tersebut di pikirkan secara rasional. Lain lagi dalam tindakan berencana, orang berperilaku secara sadar dan perilaku itu selalu didasarkan pada niat tertentu (Ajzen, 1991).  Penjelasan psikologi sepertinya juga kurang diterima secara memuaskan oleh banyak orang. Langkah kaki kita harus dilanjutkan pada hal yang lebih spesifik lagi.
Tibalah saya pada hal yang spesifik yaitu social neuroscience. Ketika saya tiba di sini, saya seperti masuk dalam tanah dari tempat saya berdiri di lantai 6 gedung fakultas. Betapa jauhnya sosiologi dengan social neuroscience ini. Tapi setidaknya ilmu sosial selalu menunjukkan kekerabatan yang melekat satu sama lain. Sejauh apapun itu mereka tetap dapat dikoneksikan. Akhirnya social neuroscience cukup memberikan penjelasan mengapa seseorang dapat bertindak seperti itu membentuk cinta.
Menurut para ilmuwan untuk mengungkap misteri cinta ilmu saraf membedakan jejaring saraf untuk kelekatan, untuk pemberian kasih sayang dan untuk seks. Masing-masing saraf itu diberi bahan bakar oleh zat kimiawi otak serta hormon yang berbeda-beda. Kelekatan akan menentukan kepada siapa kita berpaling meminta bantuan; mereka adalah orang-orang yang akan membuat kita merasa kehilangan ketika mereka tidak ada di sekitar kita. Kasih sayang akan menunjukan kepada siapa orang yang paling kita pedulikan. Ketika kita lekat kita bergantung ketika kita menyayangi kita memberi dan seks adalah seks. Ketiga saraf itu akan berpengaruh sangat dahsyat saling memengaruhi dan saling bertaut hingga memastikan manusia melanjutkan spesiesnya (Goleman, 2015)
Satu paraghraf juga sudah cukup untuk mewakili logika sederhana kita bahwa otak kita dirancang untuk saling berhubungan untuk saling mencintai. Perasaan kasih sayang harus didapatkan manusia agar sistem saraf bekerja sebagaimana mestinya. Karena rasa cinta ini menjadi proses kognitif yang rumit, tidak mengherankan dua pasang suami isteri bisa sangat lekat hingga menuju pada kesempurnaan sakinah mawaddah warahmah. Pun tidak mengherankan apabila dua pasangan ini dipisahkan satu sama lain serangkaian sistem saraf itu seperti mati mendadak. Tidak hanya hati yang sakit, sistem saraf pun memberikan sinyal untuk memerintahkan perasaan sakit ini menjalar ke seluruh tubuh. Hal ini pula yang menyebabkan orang buta mata disebabkan oleh rasa cinta itu sendiri. Berbagai macam kekerasan, berbagai macam kasus kriminal bisa dilakukan oleh orang yang tidak punya riwayat menakutkan seperti itu.
Dalil social neuroscience mampu menjelaskan pada hal yang lebih mikro mengapa seseorang melakukan tindakan tersebut. Lebih ilmiah dan buktinya juga lebih empiris daripada hanya sekedar rangakaian teoritis penganalogian. Akan tetapi melihat saling keterkaitan antara social neuroscience, psikologi hingga sosiologi, menjadikan mata kita untuk paham lebih dalam dan mengerti secara utuh.
Social neuroscience melihat bagaimana otak kita bekerja untuk semua hal yang kita lakukan berhubungan dengan orang lain. Psikologi melihat itu sebagai sikap dan tindakan, sosiologi melihat bagaimana masyarakat menyediakan naskah rujukan apakah tindakan punya tekanan secara sosial. Kita sudah punya trisula sakti untuk melihat dunia ini dari tataran mikro, mezo hingga makro.
Akhir-akhir ini sebuah video beredar di jagad maya menampilkan seorang perempuan bersuami melempar uang ratusan ribu pada perempuan yang dia yakini sebagai pelakor (perebut lelaki orang) beberapa kata mutiara berbalut sumpah serapah dikeluarkan perempuan itu seperti ledakan kemarahan yang sudah lama di tahan-tahan. Seperti yang dilansir dari bali.tribunnews.com, video yang pertama kali diunggah oleh akun Facebook @ovieovie ini mendapat tanggapan yang beragam dari netizen.
Beragam kasus pelakor memang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan di beberapa pemberitaan. Kata pelakor sepertinya menjadi kosa kata baru yang menjadi rujukan untuk menunjuk kasus perselingkuhan yang disebabkan oleh orang ketiga khususnya perempuan. Kosa kata pelakor juga tidak hanya milik mereka yang sudah menikah akan tetapi orang-orang yang hanya sebatas pacaran pun sudah mengadaptasi untuk menggunakan kata pelakor ini dalam hubungan mereka.
Ilmu saraf sosial melihat ini sebagai perjuangan alamiah suatu spesies. Saling berkompetisi untuk saling memenangkan. Otak kita tentunya punya ukuran ideal yang terus membayangi kita akan suatu hal. Jejaring kelekatan, kasih sayang dan seks adalah tiga hal yang harus terpenuhi. Asumsi lemahnya adalah kelekatan, kasih sayang itu dan seks yang ideal itu selalu memberikan referensi agar seseorang memilikipasangan seperti kondisi idealnya.
Lain lagi untuk psikologi. Dia melihat ini sebagai serangakaian kognitif yang rumit bagaimana sikap, norma subjektif dan tindakan itu saling bertarung dalam pikiran seseorang. Muncullah tindakan beralasan, munculah tindakan berencana. Itu semua lahir karena persepsi dia (sikap) dan instusi (niat) menjadi motor penggerak dia melakukan sesuatu. Sesuatu itu di dasarkan pada positif atau negatifnya dia melihat itu, positif dan negatifnya bagaimana masyarakat itu merespon. Dalam serangkaian proses kognitif ini ada hal yang mungkin terjadi yang dinamakan disonansi kognitif. Dimana niat seseorang tidak sesuai seperti apa yang masyarakat harapkan. Ini terjadi pada mereka yang mempunyai kelainan seksual. Mereka menganggap itu alamiah tidak mereka inginkan namun terjadi begitu saja, tetapi masyarakat punya label untuk kelainan sesksual sebagai hal yang menyimpang. Di barat ketidaknyamanan ini mampu untuk dikeluarkan dalam sehingga individu itu menjadi bebas. Ikutlah mereka LGBT. Dalam masyarakat kita tekanan sosial punya pengaruh yang sangat besar pada perilaku itu. Sehingga tidak nampak, dan seseorang yang punya kelainan tersebut lebih memilih memendamnya. Dalam kasus pelakor ini boleh jadi tindakan ini keluar karena mereka tidak dapat menahan ketidaknyaman itu sehingga norma yang mengatakan merebut lelaki orang itu adalah salah mampu mereka dobrak.
Sosiologi melihat ini lebih atas lagi. Melihat kata pelakor ini dari segi kelompok perempuan. Sepertinya kemunculan plakor ini tidak hanya masalah rumit untuk cinta itu sendiri. Akan tetapi ini menjadi rumit lagi untuk perempuan (Sebagai aktor cinta itu sendiri). Sebuah definisi yang merugikan perempuan dan terus menunjuk perempuan itu selalu dalam posisi termarjinalkan. Sebagai pesolek, sebagai perayu dan lain sebaginya yang menunjukkan konotasi makna yang negatif.
Padahal beberapa hari lalu hari perempuan internasional itu ramai diperingati. Beberapa hari yang lalu pula di Bandung gerakan perempuan terlihat sangat meyakinkan. Akan tetapi harapan-harapan perempuan seperti tidak menemukan telinga yang tepat untuk menjadi pendegar. Hari ini pun fakta mengkhawatirkan masih terjadi di berbagai daerah tentang jejaring kelekatan, kasih sayang dan seks. Ketiganya kadang punya kadar yang berlebihan.
Menurut catatan komnas perempuan tahun 2017 terdapat 259 ribu kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia menyangkut masalah fisik, psikis dan ekonomi secara personal. Dalam rumah tangga terjadi sekitar 5.700 an kasus, 2.100 kasus kekerasan dalam pacaran, 1.700 pada anak perempuan, dan angka yang masih tinggi terjadi pada kasus pemerkosaan sekitar 1.300 an kasus dan pencabulan 1.200an kasus. Gambaran tersebut memproyeksikan betapa mengkhawatirkannya kondisi perempuan hari ini. Sosiologi pun menemukan tempatnya untuk menjelaskan hal ini bahwa sekecil kata plakor menjadi stigma global untuk kembali menggeser perempuan pada jurang marjinalisasi, subordinasi dan streotype yang negatif.
Catatan ini terlalu singkat untuk menjelaskan cinta, perempuan dan kekerasan dengan baik dan komprehensif. Pada akhirnya cinta selalu menjadi misteri paling hebat untuk dipelajari. Beberapa mitologi mencatat bahwa huru-hara tentang peperangan dan tentang kerusakan boleh jadi justru terjadi karena masalah pasangan. Perang mahabrata, ramayana, legenda tangkuban perahu, dan legenda-legenda lainnya serta kisah nyata juga turut mengukir sejarah yang berpola untuk diketahui. Di sisi lain naskah-naskah ini pula yang membentuk konstruksi masyarakat bagaimana memandang perempuan itu. Sejatinya perempuan adalah mulia, dan laki-laki adalah mulia. Kemuliaan itu di dapat manakala mereka memuliakan (dalam tanda kutip) diri mereka sendiri. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh: Ega Prakarsa, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2015