Tak Seindah Dulu
Fadli Emil
Jika kadar gula ku naik,
Salahkan saja mereka!
Apadaya aku?
1998 memang, mereka mengepalkan tangan
Esok bisa saja kau buat kami lunglai
Dengan komat-kamit mu mengucap janji
Dengan gambaran sistem yang sangat baik
Sungguh kau coretkan tinta yang tak sama dengan warna semestinya
Kami berbagai warna, lalu kau ubah dengan warna kesukaan mu
Mungkin merah,
Atau biru,
Atau kuning,
Atau hijau sekalipun.
"Tetap saja warna kulit kami pucat pak!,"
Ucap salah satu lelaki yang tubuhnya tinggal belulang
Karena dia kehabisan uang
Susah sekali hidup di jaman "edan",
Dimana kami dibiarkan kekeringan
Sekalipun hujan, kami kedinginan
"Mengupas pisang pun kami mati-matian dulu,"
Supaya tubuhnya kuat untuk beberapa saat
Kemudian apalagi?
Ya sebentar lagi, tak akan lama.
Kau bersenda, kami bergurau
Bukannya kami tak mau bekerja,
Sarapan pun kami tak punya, apalagi roti dua tangkap yang pagi hari kau nikmati
Dengan segelas susu agar sendi mu tak cepat menua
Memang kendaraan mu itu harus selalu bersih dan wangi
Agar pikiran mu tak segan-segan memutuskan tali perwakilan kami.
Masuk kerja pun pakaian mu lebih mahal dari gaji seorang guru
Karena di kami, guru itu adalah jalanan
Bagaimana bisa? Kepala ku menerima janji
Sedang kau hanya berbicara yang tak pasti
Sekaligus saja kau telan hati kami
Biar nanti iman kami yang pincang
Dan telinga kami yang berdarah-darah