Santap Karya: Kotak Kecil Bernama Harapan



20.27.

Gemerlap lampu kota berpadu dengan laron-laron yang hilir mudik di antara dua bocah yang asyik melantunkan lagu D'Masiv itu membuncahkan pikiranku. Tawa mereka membuyarkan lamunanku yang sedari tadi hanya bisa mengumpat dalam hati. Sesak di dada kini  menyeruak bergegas mengantam otak. Mataku terbelalak mencari bola mata pemilik suara cempreng itu. Mata kami bertemu, dan aku merasa tertampar berulang-ulang. Aku tidak percaya bola mata mereka tersenyum penuh binar.

“Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar
Dan tak kenal putus asa”

Mereka bernyanyi penuh semangat—bola mata mereka tetap tersenyum. Aku sepenuhnya tersadar, aku adalah mahluk paling menjijikan. Aku hanya bisa menggerutu karena bekal yang diberikan orang tuaku untuk hidup di kota besar ini sangat pas-pasan. Aku pergi dengan rasa kesal dan sikap tidak peduli, padahal bisa dibilang kondisi keuangan keluarga kami sedang diombang-ambing kebutuhan yang harus ditutupi. Tapi aku tidak mau tahu. Sampai akhirnya dua bocah itu menyadarkanku. Mereka membawa kotak kosong bekas permen dan berharap beberapa penumpang memberikan sedikit harapannya untuk mereka makan dan atau supaya mereka tidak terkena pukulan pun omelan orang tuanya yang menunggu di tepi jalan sana. “tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik”.

Setelah lagu habis mereka nyanyikan—beberapa liriknya salah, mereka menyodorkan kotak harapan mereka pada setiap penumpang. Aku memberikan harapanku sejumlah dua ribu rupiah—semoga itu cukup untuk menyelamatkan dua bocah itu dari hantaman orang tuanya. Beberapa penumpang lain juga memberikan harapan dan beberapa pura-pura tidak melihat pun tidak mendengar mereka.

Mereka menatap kotak harapan kemudian kedua pasang bola mata itu saling bertemu. Aku tidak mengerti maksud tatapan keduanya. Mereka berlarian ke tepi jalanan, mataku masih memandang lurus dua bocah itu lewat jendela. Tak lama, seorang wanita paruh baya menghampiri mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, aku hanya bisa melihat senyum dan binar mata dua bocah itu makin redup.

Lampu kuning sudah terlihat, debarku kini tak karuan. Mataku langsung mencari ponsel dan mencari nama Ibu di kontak. Ku telepon dan ku pinta maaf darinya. Aku menyesal berlaku jahat pada Ibukku padahal di luar sana Ibu lainnya menjadikan anaknya sebagai bahan penghasilan sehari-hari mereka.


Tentang Penulis
Fitri Kurniasih, melihat dunia pertama kali pada Jumat hari ke-23 bulan Januari tahun 1998 di Bandung. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Saat ini bergiat di Paguyuban Karya Salemba Empat UPI.