Seseorang mengirim pesan padaku di malam Minggu tepat pukul 7,
“Bagaimana harimu? Menyenangkan bukan? Apa yang kau dapatkan hari ini? Aku harap kau selalu dilingkari dengan kasih sayang orang-orang di sekitarmu —maupun diriku—. Aku mencintaimu, lihatlah di dekat rak sepatu luarmu, aku menaruh bunga mawar merah tiga tangkai dengan sepucuk surat di gantungan pita. Selamat istirahat sayang. Sekali lagi, aku mencintaimu.”
Aku hanya membaca pesan singkat itu tanpa membalasnya.
Tak seperti biasanya. Membalas dengan perasaan gembira yang menjadikan diri terlihat seperti budak cinta yang bisa menitikkan air mata hanya karena dikirimi sebatang coklat dan setangkai bunga seharga semangkuk mie ayam di sudut dekat taman kota oleh lelaki pujaannya. Klasik.
Tapi selama seminggu ini, aku memikirkan sesuatu.
Sesuatu yang terus berputar di dalam kepalaku, seolah-olah mencoba memaksa diri untuk segera dipikirkan. Mengenai 24/7 kehidupanku. Kehidupan sehari-hari yang terus-menerus terjadi. Tetapi, aku selalu menganggap bahwa semuanya baik-baik saja.
Baik itu diriku, lingkunganku maupun aktivitas keseharianku.
1/7
Seseorang itu bertanya padaku “Bagaimana harimu?”
Aku menjawabnya “Menyenangkan”
Aku tidak menjawab lebih detail, karena kenyataannya awal minggu berlangsung dengan sangat amat biasa. Pergi ke tempat bergelut dengan ilmu-duduk memperhatikan-bertanya mengenai sesuatu-berghibah dengan teman teman (yang kenyataannya beghibah itu tidak baik, tapi toh semua orang melakukannya bila sudah melakukan ritual bersua dengan spesies yang sama dengan mereka)-bertemu untuk mendiskusikan apa yang telah diprogramkan dalam suatu kelompok-dan pulang melepas penat.
2/7
Seseorang itu bertanya kembali padaku “Bagaimana harimu?”
Aku menjawab “Biasa saja”
Di hari kedua dalam minggu ini, aku menyadari bahwa terdapat hal yang menambah bahan pemikiranku di hari ini. Beberapa orang mengkritik cara berpakaianku. Yang mereka anggap itu tidak pantas dan keluar jalur. Menurutku, tidak sama sekali. Cara berpakaianku masih memenuhi aturan yang berlaku, disesuaikan dengan keadaan dan menurutku cara berpakaian adalah cara seseorang merasa nyaman atas dirinya sendiri, bukan untuk menggoda lawan jenisnya (ataupun mendapat cemoohan dan tatapan misoginis). Di bangku persekolahan, aku menjadi mayoritas dengan perempuan-perempuan lain yang menggeraikan rambut indahnya, saat memasuki lingkungan lain yang serba maha, aku menjadi minoritas karena tidak mengenakan selembar kain penutup mahkota perempuan. Mungkin itu salah satu indikator mengapa cara berpakaianku dianggap tidak pantas. Kritikan itu menghujam telingaku, aku menghargai dan menganggap hal tersebut sebagai bagian dari kasih sayang orang-orang di sekitar yang memperhatikanku. Walaupun nyatanya, kata-kata tersebut sedikit memenjarakan khayalan tinggi untuk memadukan berbagai jenis pakaian yang tujuan sebenarnya adalah merasa bangga atas diri sendiri saat melintas, melihat refleksi diri di depan cermin.
3/7
Seseorang itu bertanya padaku untuk ketiga kalinya “Bagaimana harimu?”
Aku menjawab “Untuk ketiga kalinya, kau menanyakan hal ini. Dan untuk kedua kalinya aku akan menjawab hari ini biasa saja. Kau akan menerima sebuah piring cantik dariku atas pertanyaanmu”
Dia hanya tertawa kecil mendengar hal itu.
Tetapi yang sebenarnya terlintas di pikiranku adalah, hari ini aku mengakui bahwa aku tidak percaya diriku lagi. Kecintaan pada diriku mulai memudar. Aku mulai mengkhawatirkan beberapa hal; jerawat yang timbul di dahiku, badanku yang melebar, bulu bulu halus di kakiku, selulit yang ada di pahaku dan timbunan lemak yang ada di lenganku.. Beberapa orang mengatakan “Coba kamu diet deh biar gak keliatan gendut, kalo gitu terus nanti kamu gak bakalan dapet jodoh” “lihat temanmu, dia cantik, kulitnya putih dan bersih, pasti dia menjadi sasaran lelaki melabuhkan hatinya” “cewek kok berbulu? Seharusnnya kamu mencukur bulu di kakimu, agar kamu terlihat seperti wanita”
Awalnya, aku mencintai apa yang ada dan yang terjadi pada diriku. Tapi nyatanya, aku tergerus sebuah kontruksi kecantikan yang ada. Beberapa waktu aku memikirkan mengapa Tuhan tak adil menciptakan diriku dengan rupa seperti ini. Meyakini diri bahwa tidak ada yang mau bersanding dengan perempuan sepertiku; wajah bulat, kulit sawo matang, tidak mempunyai tubuh seperti gitar Spanyol atau jam pasir (begitu orang menyebutnya), mempunyai jerawat dan selulit dan bulu-bulu halus di kaki termasuk timbunan lemak di lengan, perut dan paha.
Tapi, beberapa waktu aku memikirkan kembali. Mengapa aku begitu kikuk dengan apa yang ditakdirkan? Bukankah cinta seharusnya menerima dengan sepenuh hati? Bukankah cinta seharusnya tidak hanya melihat fisik?
Memang iya cinta seharusnya menjadi sesuatu hal yang melibatkan dua hati, tetapi aku mengingat kata-kata seorang lelaki muda berusia 20 tahun saat kita berbincang di sudut kedai kopi favoritku ditemani hirup pikuk kereta yang melintas, ia mengatakan “cantik itu relatif, memang seharusnya cinta tidak memandang fisik, tapi apakah kita akan tertarik dengan jiwanya sedang padangan pertama yang kita nilai adalah rupanya.”
4/7
Di hari yang hampir mendekati senja, dan aku merasa bahwa ada yang salah dengan dunia ini.
Dunia dimana selama 19 tahun aku dilahirkan dan menghirup udara yang sama dengan kebanyakan manusia-manusia tersistem ini.
Hal yang aku soroti hari ini adalah, bagaimana aku menerima perkataan-perkataan yang mengarah pada satu hal —penggodaan.
Di jalan,
Di kendaraan umum,
Di kedai makan,
Bahkan di beberapa bagian tempatku menimba ilmu.
Mereka (beberapa lelaki yang sedang bergerombol, entah itu sekedar bersua ditemani sebatang sigaret di antara jari jemarinya atau memang pekerjaan utama mereka hanya menggoda wanita yang melewati jalan itu seorang diri) mengatakan hal-hal yang menurutku, membuat siapapun tak nyaman mendengarnya; bersiul, menanyakan mengapa kami jalan sendiri, berkomentar mengenai tubuh kami (para wanita), bahkan satu diantara mereka berjalan mendekati dan tertawa seolah mereka sedang dihadapkan dengan sebuah lelucon.
Dari situ aku menyadari bahwa, perlakuan seperti ini tidak bisa dibiarkan. Tidak. Tetapi, dalam sudut pandang lain aku dipaksa untuk mewajarinya karena inilah dunia.
Dunia yang kau anggap aman, sesungguhnya menciptakan insekuritas dalam diri, tapi apalah yang bisa kau perbuat? Selain diam menerima dan memaklumi.
5/7
Kemarin, aku merasa tidak baik. Sangat tidak baik-baik saja atas perlakuan yang terjadi oleh segerombolan manusia-manusia pecandu sigaret tersebut, dengan komentar orang-orang, dengan pikiran yang tidak sejalan dengan hati.
Tidurku tak nyenyak.
Dan aku mengingat satu hal, seseorang yang biasa menanyai bagaimana hariku, ia tidak bertanya lagi.
Apa mungkin ia marah?
Hanya karena aku menjawab pertanyaannya dengan singkat dan nada yang tak biasa?
Aku hanya ingin dia tahu, bahwa hariku tidak biasa-biasa saja.
Bagaimana aku tersadar bahwa pertanyaan “bagaimana harimu?” bukan sekedar untuk melanggengkan sebuah percakapan antara dirinya dan diriku, tetapi di balik itu ada makna tersembunyi yang ia bawa.
Bagaimana ia mengajariku melihat lebih luas problematika yang ada, yang aku anggap sepele dan tak berdampak.
Aku mengirim sebuah pesan singkat padanya, “besok, tepat pukul 7 malam, temui aku di kedai kopi seberang stasiun kereta. Tempat di mana kita biasa menikmati menu favoritku; es kopi gula Jawa. Ku tunggu di meja 11 sudut kedai yang menghadap perlintasan kereta.”
6/7
Aku menunggu seseorang itu datang.
Berharap ia menyunggingkan senyum manisnya di hadapanku.
Memesan dua es kopi gula Jawa favoritku dan mengobrol hal-hal tak penting hingga larut malam, saat seorang barista mencoba mengusir kami berdua secara halus dengan cara mematikan lampu di beberapa bagian kedai tersebut.
Waktu menunjukkan pukul 8,
Aku menghitung dentangan jarum jam di jam tangan kiriku.
Ia terlambat hampir 59 menit 20 detik.
Pada detik ke 56, ia muncul dan berjalan ke arahku.
Senang bukan main, seperti anak kecil melihat mainan baru, seperti mempelai pria melihat mempelai wanitanya berjalan menuju altar pernikahan.
Aku memeluknya, menyimpan kepalaku tepat di dadanya. Aku bisa mendengar detak jantungnya, salah satu hal yang membuat aku merasa aman di dekatnya. Tidak ada lagi rasa ketakutan, kecemasan dan kegelisahan mengenai apapun yang bergejolak di dalam diri (maupun di dunia ini)
Seseorang itu hanya mengelus rambutku.
Kami menikmati dua (bahkan lebih) es kopi dengan iringan kata-kata keluhan yang keluar dari mulutku mengenai betapa bermasalahnya dunia ini.
Dia hanya mendengarkan, menatap mataku dengan sorotan yang tajam dan membiarkan telepon genggamnya berada di atas meja,tanpa berniat menyentuhnya, apalagi mengutak-atik apa yang ada di dalamnya.
Malam itu, aku melihat dua bintang bersinar.
Satu bintang berada di langit yang indah yang menemani keriuhan kota di malam itu,
Yang lainnya berada di kedua bola mata seseorang di hadapanku.
7/7
Terbangun dengan hati yang damai.
Di pagi yang sejuk,
Menghirup aroma masakan ibu yang tersaji di meja makan,
Terlintas di hatiku untuk mengirim pesan pada seseorang,
“Selamat pagi, semoga istirahatmu berlangsung dengan damai. Tak ada lagi pemikiran mengenai keriuhan dunia ini. Hari ini aku merasa hariku akan berlangsung dengan sangat baik. Yang harus aku garis bawahi dari perkataanmu semalam adalah dunia ini adalah tempat singgah yang harus dihadapi agar aku menjadi seseorang yang kuat dan berani. Tetapi, kenyataannya, rumah (dan dirimu), adalah tempat terbaik untuk pulang dan medukungku untuk menjadi kuat menghadapi tempat singgahku. Aku mencintaimu. Jangan bosan-bosan menanyakan bagaimana hariku, aku tidak akan menghadiahimu piring cantik maupun balasan-balasan singkat. Percayalah!”
-Frisma, 7 Oktober 2018