Jurnalis dan Keselamatannya yang Tidak Terjamin

 

Jurnalis dan Keselamatannya yang Tidak Terjamin

Oleh: Muhammad Hamzah Asy Syafi’i

 

            Mata Najwa, sebuah karya jurnalistik yang akan melegenda karena kontribusinya terhadap masyarakat Indonesia sangat besar. Tak dapat dipungkiri program televisi tersebut dapat menjadi salah satu gambaran bahwa jurnalis dapat diandalkan untuk menjadi pelayan masyarakat untuk menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah. Memang pada dasarnya jurnalis punya tanggung jawab moral untuk mengedukasi masyarakat melalui karyanya yang banyak tersebar di berbagai medium.

Lewat kontribusinya yang sangat besar sudah selayaknya jurnalis mendapat jaminan kesejahteraan yang layak seperti profesi lainnya. Namun, kenyataannya tidak begitu. Anggapan yang ada di masyarakat malah berbalik. Sebagian besar masyarakat tidak dapat mengandalkan profesi jurnalis sebagai mata pencaharian yang menjanjikan, bahkan lebih buruk sering dinilai profesi yang berbahaya. Sebetulnya anggapan tersebut tidak dapat sepenuhnya dibantah karena memang begitu realitanya.

Tidak perlu jauh-jauh kebelakang, salah satu contoh terdekat adalah ketika pecahnya demonstrasi penolakan Omnibus Law yang terjadi pada 10 Oktober 2020 lalu. Banyak mahasiswa yang akhrinya muak dan turun ke jalan, tak terkecuali anggota pers mahasiswa yang menjalankan tugasnya. Saat demonstrasi sedang berlangsung, di sosial media gencar menyebarkan kabar ditahannya beberapa anggota pers mahasiswa. Kabar yang terseber menyebutkan anggota dari Perslima UPI, Persma GEMA PNJ, dan LPK Gema Unesa yang ditahan di Kepolisian dan beberapa diantaranya kembali dengan meninggalkan luka.

Jika ditarik lebih luas, makin banyak lagi kasus kekerasan yang dialami jurnalis dalam berbagai bentuk. Data yang dikutip dari advokasi.aji.or.id, sejak tahun 2006 telah terjadi 787 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam bentuk ancaman teror, intimidasi lisan, penyerangan kantor redaksi, kriminalisasi, pengusiran liputan, perusakan alat dan hasil liputan, pelarangan pemberitaan, dan yang paling banyak berupa kekerasan fisik. Pelaku kekerasan pun datang dari berbagai kalangan dari warga sampai aparatur pemerintahan yang tersebar di 31 kota besar di Indonesia. Tidak hanya itu tercatat juga ada 10 wartawan di Indonesia yang terbunuh saat bertugas sejak tahun 1996. Indonesia pun bisa dibilang berada di urutan terbawah, 124 dalam aspek kebebasan pers (Reporters Without Border, 2019).

Kasus kekerasan terhadap jurnalis nyatanya masih terus terjadi sampai sekarang. Hal ini dinilai miris dan memprihatinkan terlebih setelah gerakan reformasi, kebebasan pers sesungguhnya mendapat tempat istimewa dalam perjalan gerakan reformasi dan bukti berjalannya demokrasi di Indonesia. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Manunggal K. Wardaya yang berjudul “Kekerasan Terhadap Jurnalis, Perlindungan Profesi Wartawan, dan Kemerdekaan Pers di Indonesia” menyebutkan beberapa poin penting bagaiman profesi ini masih mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.

Salah satunya adalah lemahnya regulasi yang ada di Indonesia. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers pasal 8 menyebutkan “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”. Pasal tersebut secara tekstual menjelaskan bahwa dalam menjalankan pekerjaannya, jurnalis mendapatkan perlindungan hukum. Satu hal kurang jelas adalah bagaimana perlindungan hukum didapatkan sesuai pasal tersebut. Apakah perlindungan hukum yang dapat mencegah terjadinya kekerasan terhadap jurnalis atau ketika perlakuan tersebut telah terjadi, yang mana tidak dapat secara signifikan menurunkan angka kekerasan terhadap jurnalis.

Sesuai data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam lamannya menyebutkan bahwa pelaku kekerasan terhadap jurnalis paling banyak dilakukan oleh aparatur negara dengan rincian 32 kasus yang dilakukan oleh polisi, 1 kasus yang dilakukan Satpol PP, 1 kasus yang dilakukan TNI, 5 kasus yang dilakukan pejabat pemerintahan, dan 2 kasus yang dilakukan oleh jaksa. Sayangnya, belasan kasus yang dilaporkan ke Polri pada tahun 2019 sering kali mangkrak penanganannya atau tidak diurus lebih lanjut. Hal itu banyak disebabkan juga dari pihak kepolisian yang tidak paham dengan UU Pers berdasarkan pernyataan dari Lembaga Bantuan Hukum Pers.

Komite Keselamatan Jurnalis terbentuk atas respon dari 10 lembaga atas bebagai kejadian kekerasan terhadap jurnalis yang terus terjadi. Komite ini diinisiasi oleh Aliansi Jurnalis Independen, Lembaga Bantuan Hukum Pers, Safenet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Yayasan Bantuan Lembaga Hukum Indonesia, Asosiasi Media Siber Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Media Independen, Amnesty International Indonesia, dan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi. Pembentukan ini juga menjadi salah satu gambaran bahwa keselamtan jurnalis banyak harus diperhatikan dan menjadi kegentingan yang terus terjadi.

Media juga dapat menjadi benteng terdekat bagi para jurnalis yang bernaung di bawahnya. Dalam artikel sebelumnya yang berjudul “Kekerasan Terhadap Jurnalis, Perlindungan Profesi Wartawan, dan Kemerdekaan Pers di Indonesia” karya Manunggal K. Wardaya dipaparkan bahwa internal media juga dapat menjadi salah satu langkah yang dapat dilakukan pelaku industri media untuk mengurangi kekerasan terhadap jurnalis yang dapat terjadi kedepannya biarpun langkah itu tidak selalu dapat dijadikan patokan akan menurunnya angka kekerasan terhadap jurnalis.

Salah satunya yang dapat dibenahi adalah profesionalitas kerja media dalam melakukan peliputan. Media massa yang dijalani oleh beberapa wartawan juga kerap melakukan beberapa kesalahan. Masyarakat ataupun berbagai elemen lain bisa saja menggunakan kesalahan itu untuk menghakimi ataupun melakukan hal yang tidak menyenangkan terhadap wartawan.

 Melihat media sebagai elemen terdekat dan yang berkewajiban menaungi jurnalisnya, sudah seharusnya media berperan dalam penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap jurnalis yang sering terjadi, sesuai dengan yang diimbau oleh Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia dalam peliputan jurnalis di tengah wabah Covid-19.

Salah satu contoh tertera dalam jurnal yang berjudul “Perlindungan Keselamatan Kerja Bagi Reporter PT. Rajawali Televisi (RTV) yang Bertugas Pada Lokasi Zona Berbahaya” karya Duma Winda Sylvia Simatupang yang menjelaskan bahwa PT.RTV belum memberikan perlindungan keselamatan kerja yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers berlaku. Media ini menjadi salah satu dari sekian banyak contoh gambaran media yang kurang memerhatikan pelindungan yang diperlukan bagi jurnalis yang dinaunginya.

Sungguh miris jika berbagai elemen masyarakat baik dari pemerintah dan aparaturnya, media massa, maupun organisasi masyarakat dapat bertindak baik kepada jurnalis untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik bahwa pada dasarnya kegiatan jurnalistik dapat dikatakan sebagai kegiatan melayani masyarakat sendiri akan kebutuhan informasi.