Sistem Pembelajaran Jarak Jauh, Lanjutkah?
Akhir-akhir ini
Pendidikan Indonesia sedang diuji, pandemi covid 19 yang belum kunjung usai
membuat semua orang mau tidak mau harus menahan diri untuk mengurangi berbagai
aktivitas diluar. Hampir seluruh aktifitas kita terbatasi dan salah satunya
adalah aktifitas di dalam pendidikan.
Dalam menanggapi hal ini,
ada salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam menekan penyebaran covid-19
tetapi tetap bisa menjalankan aktivitas masyarakat di pendidikan, yaitu dengan adanya kebijakan “Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ) ” sesuai edaran menteri no 4 tahun 2020. Ya, sistem
“Pembelajaran Jarak Jauh” ini dilakukan mengganti pertemuan tatap muka secara
langsung dengan perantara teknologi dalam upaya membantu pencegahan penularan
COVID 19. Karena kita semua tau bahwa salah satu kebijakan pencegahan virus ini
adalah melalui jaga jarak fisik. Kebijakan ini dikeluarkan karena dirasa dapat
menjadi solusi pembelajaran yang paling efektif dan masuk akal di masa pandemi
ini.
Ya, sistem Pembelajaran
Jarak Jauh ini bisa kita lihat saat ini semakin gencar digalakkan di tengah
ketidakpastian kapan berakhirnya pandemic covid 19, bahkan semua orang tau
bahwa ada sebuah kabar bahwa sistem pembelajaran jarak jauh ini akan
dipatenkan. Dari sini muncul sebuah pertanyaan, apakah penerapan kebijakan
penerapan sistem PJJ sejauh ini efektif memfasilitasi para pelajar? Barangkali
banyak permasalahan yang muncul dibandingkan dengan kefektifan dalam
belajarnya. Kemudian adakah dampak yang terjadi dari penerapan Pembelajaran
Jarak Jauh ini?
Dalam tulisan ini kami
sajikan beberapa reaksi, respon, suka dan duka dari para masyarakat saat
melaksanakan sistem pembelajaran jarak jauh. Dikutip dari Kompas.com dan sumber
tertulis lain, beberapa orang tua dan guru menyampaikan bahwa permasalahan utama dalam pelaksanaan
Kegiatan Belajar Mengajar secara daring adalah terletak pada infrastruktur
teknologi, listrik dan jaringan internet. Kemampuan masyarakat dalam memenuhi
fasilitas untuk menunjang KBM online berbeda-beda, ada yang mampu, namun ada
juga yang tidak mampu.
Pengamat pendidikan
Darmaningtyas juga berpendapat bahwa PJJ ini tidak akan mungkin berjalan dengan
baik. Oleh karena itu, sejak jauh-jauh hari beliau berpendapat bahwa tahun
ajaran baru sebaiknya ditunda. “Sudah
dapat dipastikan tidak akan bisa berjalan baik, omong kosong kalua ada pejabat
Kemendikbud PJJ dapat berjalan baik.” Beliau mengusulkan, seharusnya awal
mulai tahun baru diganti menjadi Januari agar periode Juli-Desember 2020 ini
bisa digunakann untuk menuntaskan pembelajaran yang belum selesai pada
semestergenap Januari-Juni 2020.
Kemudian selain itu,
terdapat beberapa tantangan dalam pelaksanaan PJJ dari sudut pandang Guru dan
Orang tua, diantaranya : 1) Masih banyak sekolah yang tidak memiliki jaringan
listrik dan internet. Tidak banyak murid yang mempunyai laptop, sehingga proses
pembelajaran menggunakan ponsel. Dan ini mempunyai memiliki keterbatasan. 2)
Tidak semua orang memiliki uang untuk mengisi kuota internet sesuai dengan kebutuhan
3) Pada pelaksanaan pertama PJJ tidak dapat terlaksana di daerah-daerah
pelosok. Lebih dari 47.000 satuan pendidikan idak memiliki akses listrik serta
internet. Dan terakhir yang paling repot adalah fasilitas gawai anak yang
berbarengan dengan orang tua. Tentu akan sangat menghambat proses belajar
daring yang dilakukan anaknya.
Semua permasalahan ini
jelas kan menjadi permasalahan yang semakin besar jika tiak ada ebvaluasi
bertahap dari Pemerintah, apalagi wacana yang dipatenkan, tentu harus dipertimbangkan,
Persoalan selanjutnya apabila tetap mau seperti itu, maka Pak Nadiem hendaknya
terlebih dahulu membenahi fasilitas dan kemampuan siswa serta orangtuanya dalam
menjangjkau teknologi, termasuk pemerataan jaringan, penguasaan teknologi dan
tentunya ketersediaan penunjang seperti gawai dan paket datanya. Lebih dari itu
harus diperhatikan juga aspek psikologis pelajar dari sistem pembelajaran ini.