Untukmu, Untukku, Untuk Kita Semua
Oleh: Widya
Puspita
Sudah terhitung 7 bulan (atau baru 7 bulan? semoga bukan kata ‘baru’ yang tepat, siapapun ingin ini cepat berakhir). Selama 7 bulan ini, bagaimana kabarmu? Sudah berapa kali memimpikan berjumpa dan bercanda tawa dengan teman-teman di ruang kelas? Sudah berapa kali mengeluh atas tugas-tugas yang terus beranak pinak? Sudah berapa kali mengharapkan dirimu melangkah ke luar rumah dengan leluasa tanpa rasa cemas dan khawatir akan si virus sialan menjengkelkan itu? Sudah berapa kali membayangkan dirimu pergi kemanapun yang kamu mau tanpa waspada akan si pembunuh kecil yang ikut menumpang dalam tubuhmu?
Sudah berapa kali
kamu terdiam dengan pikiran yang tidak mampu menjelaskan bagaimana perasaanmu
saat itu? Lelah, frustasi, membenci diri sendiri. Ingin pergi, namun ada banyak
hal menghalangi.
Tetapi di balik
segala keterpurukan itu, hey, ada banyak hal baru yang kamu sadari dari dalam
rumah. Mungkin, kamu mendapati ibumu sesulit itu menyeimbangkan berbagai
kewajibannya, antara mengurus suaminya, anak-anaknya, hingga seisi rumah.
Mungkin, kamu mendapati ayahmu yang akhir-akhir ini sunyi terduduk di teras
rumah untuk memikirkan bagaimana keluarganya tetap bertahan di masa sulit
seperti saat ini. Mungkin, kamu mendapati bagaimana kakakmu kini tidak lagi
sama seperti beberapa tahun lalu, di saat kalian masih bocah kecil yang suka
bermain mobil-mobilan atau boneka barbie.
Mungkin, kamu mendapati adikmu yang kini bukan lagi bayi yang bisa kamu timang,
mereka kadang mengundang tawamu, tapi sesekali membuatmu jengkel. Saudara-saudarimu
semakin tumbuh, bersama masalah mereka masing-masing.
Sementara kamu,
yang sebelum ini disibukkan berbagai kegiatan di kampus, bertemu dengan mereka hanya setiap malam, atau satu kali
setiap bulan, atau satu kali setiap beberapa bulan, atau satu kali setiap
tahun. Kamu baru saja menyadari itu semua.
Sehingga kamu
beberapa kali terdiam untuk memikirkan itu. Bertanya-tanya. Dari mana saja kamu
selama ini? Kapan pandemi ini berakhir? Mengapa semua terjadi? Mengapa bumi
berputar? Mengapa air mengalir? Mengapa udara berembus? Banyak sekali. Banyak
sekali yang kamu tanyakan.
Kalau kamu
mengalami itu semua, tidak apa. Kita sama. Kita memiliki masalah masing-masing.
Kamu tidak sendiri. Tidak perlu terpuruk lagi, oke?
Namun, apabila
setelah ini, kamu masih belum
baik-baik saja, itu juga tidak apa-apa. Akan datang suatu masa ketika kamu akan
kembali tersenyum. Tawamu akan hadir lagi. Setelah hujan lebat di malam yang
dingin, akan ada matahari hangat di pagi hari.
Dan aku pesan
sesuatu untukmu,
Setelah kamu
baik-baik saja, air matamu sudah surut, pikiranmu kembali ringan, perasaanmu juga
lega, terlebih tugas-tugasmu yang sudah kamu selesaikan dengan baik. Simpan
ponsel pintarmu, matikan laptop atau komputermu, mereka butuh istirahat
sejenak. Sama seperti kamu.
Apabila kamu
merasa kelelahan setelah perjuanganmu yang hebat itu, dapatkanlah suatu hadiah
untuk dirimu sendiri, dirimu juga butuh apresiasi.
Setelah mendapat
apresiasi dan cukup istirahat, keluarlah dari kamarmu. Selesaikan apapun yang
bisa kamu lakukan untuk membantu ibumu, ajak pula kakakmu. Temani adikmu
belajar dan bermain, kakaknya terlalu sibuk, adikmu kesepian. Juga duduklah di
samping ayahmu, ajak beliau berbicara dan saling bertukar pikiran, agar kalian
bisa saling menumpahkan beban.
Apabila suatu
keadaan membuatmu sulit melakukan sebagaimana pesanku, tidak apa. Tidak perlu
memaksakan diri. Kita semua berada di kondisi yang berbeda. Kamu sudah bekerja
keras. Dan kerja keras kalian akan terbayarkan suatu saat nanti.
Tetapi, untukmu
yang sudah melakukan apa yang aku pesankan (bahkan sebelum aku menulis ini),
terima kasih banyak. Kamu sudah bekerja keras. Dan kerja keras kalian akan
terbayarkan suatu saat nanti.
Mari kita bertemu
lagi nanti, dengan suasana yang lebih baik.
Meskipun berat,
setidaknya kita bisa jadikan hari yang kita lewati sebagai hari yang baik-baik
saja. Aku percaya sama kamu.
.
.
Rangkaian alinea ini
untukmu, untukku, untuk kita semua.
-211020-