Sebenarnya Arkam telah melarangku untuk menulis apapun tentang kasus-kasus yang telah kami lalui bersama. Tetapi, aku pastilah orang yang bodoh bila tidak memberitahu semua orang di negara –bukan, bahkan dunia ini- mengenai kehebatan, kecerdasan, dan kecerdikan temanku ini. Sebagai permulaan, biarkan aku menceritakan dahulu awal pertemuanku dengannya. Pertemuan yang tentu saja, akan mengubah segalanya.
***
Ah, sungguh menyebalkan.
Hari ini adalah hari pertamaku memulai kembali dunia sekolah sebagai siswa tingkat IX. Dengan terpaksa aku harus rela meninggalkan semua console game berharga, beserta dengan setiap kenangan indah bersama masing-masing dari mereka.
Segera setelah membuka mata, kuarahkan tubuhku untuk segera bergegas menuju kamar mandi. Rutinitas pagiku berlanjut dengan menyantap nasi goreng telur mata sapi buatan ibu, lalu berpamitan dan berangkat sekolah menggunakan sepeda kesayangan.
Udara dingin khas pagi hari mulai merayap menyelubungi kulit di balik seragam tipis yang kukenakan. Aku memang sengaja berangkat lebih awal hari ini. Semua ini kulakukan agar aku dapat menempati tempat duduk di ujung belakang kelas. Tidak seperti siswa sekolah menengah kebanyakan, kesendirian menjadi satu-satunya hal yang membuatku betah berlama-lama di sekolah.
Tanpa terasa gerbang sekolah sudah terlihat di depan mata. Setelah memarkirkan sepeda, dengan cukup tergesa aku melangkahkan kaki menuju ruang kelas yang sebelumnya telah diumumkan saat pembagian rapot minggu lalu.
Sepertinya aku datang terlalu awal, pikirku.
Tak menunggu lama, mataku langsung tertuju pada tempat duduk terisolasi di belakang. Setelah menyimpan tas, mencari posisi duduk yang nyaman sambil bersandar ke tembok, aku pun mengambil novel kesukaanku –Sherlock Holmes- dari dalam tas.
Jangan salah sangka dulu. Aku bukan hanya seorang penyendiri yang kecanduan video game, aku pun cukup sering mengolah pola pikir dengan mengonsumsi segala hal yang berkaitan dengan detektif. Terutama Sherlock Holmes. Hal tersebut cukup tercermin dari semua novel, film, bahkan poster bernuansa The World’s Greatest Detective yang memenuhi setiap sudut kamarku.
Saking fokusnya dengan dunia novel yang sedang aku salami, tanpa sadar seisi ruangan telah dipenuhi oleh wajah-wajah yang terasa asing bagiku. Tetapi tentu saja, aku tidak memiliki ketertarikan sedikitpun untuk berkenalan dengan siapapun. Diriku sendiri sudah lebih dari cukup untuk melewati semua ini.
Bel masuk pun berbunyi
Arlojiku menunjukkan pukul 07.00. Tak berselang beberapa menit, seorang guru melangkah masuk ke ruangan kelas. Beliau adalah Bu Nancy, sosok yang ramah dan tak jarang menyempatkan untuk tersenyum di sela-sela perkenalannya. Aku mulai menyukai guru ini.
Di tengah momen perkenalan Bu Nancy, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa dari koridor sebelah kelasku.
“Maaf, saya terlambat, bu.”
Kalimat itu terlontar dari seorang murid dengan perawakan tubuh yang lumayan tinggi, berambut hitam, mata berwarna cokelat, dan yang paling menonjol adalah ekspresi wajah polosnya yang seakan tidak menunjukkan rasa bersalah apapun.
Orang ini pasti menyebalkan, batinku.
“Baiklah nak, silakan duduk di bangku ujung kelas itu.” Ucap Bu Nancy sambil mengarahkan telunjuknya ke arah meja yang ku tempati.
Sialan
Akhirnya aku harus rela berbagi tempat duduk dengan orang aneh ini. Kehampaan dalam raut ekspresi wajahnya memberikan kesan kalau dia tidak memiliki semangat hidup sama sekali. Ditambah lagi dengan rambut acak-acakkan miliknya, menambah kesan aneh yang melekat dalam diri orang yang berada di sampingku ini.
Segera setelah Bu Nancy memperkenalkan diri, beliau pergi keluar ruangan dan berganti dengan masuknya guru mata pelajaran Matematika.
Sebenarnya, rasa penasaran akan siapa sesungguhnya orang yang duduk di sampingku saat ini cukup membuatku gelisah. Tentang mengapa ia bersikap aneh dan tidak wajar, pertanyaan itu terbesit di benakku. Namun apa daya, memulai obrolan dengan seseorang yang belum kukenal bukanlah hal yang dapat dengan mudah kulakukan. Aku hanya dapat duduk terdiam, sambil mencoba untuk memahami materi rumit yang sedang diajarkan oleh guru di depan kelas.
“Namaku Arkam Zulham.”
Apa? Dia menyapaku duluan? Secara tidak sadar aku menoleh ke arahnya yang padahal berbicara dengan pandangan yang terpaku pada guru yang sedang menjelaskan.
“Aku tau kalau dari tadi kau bermaksud untuk memulai percakapan denganku. Tetapi kau mengurungkan niatmu itu karena kemampuan memulai obrolan dengan orang yang belum kau kenal tidak termasuk dalam keahlianmu. Jadi, siapa namamu?” Ucap Arkam panjang lebar dengan nada bicara yang terbilang cepat.
“Namaku... Genta Kusuma. Me..mengapa kau bisa tau kalau aku mau memulai percakapan denganmu?” Ucapku dengan nada bicara yang terasa gugup.
“Ah, itu terlalu mudah ditebak. Sepertinya kau tidak sadar kalau aku memperhatikanmu sedari tadi. Dan kau juga sesekali melirik kearahku. Awalnya aku mengira kau adalah seorang Gay, tetapi setelah melakukan observasi singkat, tidak ada tanda-tanda kelainan seksual di tubuhmu. Maka dari itu, aku simpulkan bahwa kau hanya seorang penyendiri yang ingin memulai sebuah obrolan.”
“Gay? Yang benar saja!”
Aku sedikit tersinggung dengan pernyataan tak berdasarnya itu. Tapi, sepertinya aku memang cukup sering melirik kearahnya, bahkan tanpa sepengetahuanku sendiri. Mungkin dorongan rasa keingintahuanku yang tinggi ini menjadi pemicunya.
“Apakah kau tidak bosan selama liburan ini bermain video game setiap hari?” Tanya Arkam tiba-tiba.
Hah? Rasanya ini bukan hanya suatu tebakan sembarang. Aku pun bertanya, “Bagaimana kau bisa tau?”
“Kantung matamu yang menghitam itu yang mengatakannya. Lalu, telapak tangan yang terlalu banyak berkeringat karena terlalu sering memegang console. Dan aku juga tau kalau kau tipe orang yang suka menyendiri dan cenderung menghindari keramaian. Fakta bahwa kau lebih memilih duduk sendirian di ujung kelas, meskipun semua murid duduk berpasangan menjadi alasannya. Pandangan tak acuh yang kau tunjukkan seakan menyiratkan jiwa yang tidak mampu bersosialisasi dengan orang banyak. Trauma? Hm, bukan. Anti sosial, lebih tepatnya.”
“Itu... MENGAGUMKAN!”
Seketika seisi ruangan menatap ke arahku.
“Kau tidak sadar kalau kau berteriak?” Ucap Arkam perlahan.
“Maaf, aku tidak sengaja.” Kataku pada seisi kelas, diiringi dengan sepintas senyuman palsu.
Sisa waktu pembelajaran berjalan dengan cukup lancar, sampai akhirnya bel istirahat berbunyi. Suara hentakan kaki murid-murid yang berlarian terdengar seusai guru Matematika meninggalkan ruangan. Berbeda dengan Arkam, yang hanya duduk diam dengan tenang di bangkunya. Aku pun mencoba untuk mengajaknya ke kantin, tetapi ia menolak dengan alasan bahwa makan dapat menghambat kerja otaknya.
Dasar aneh.
Akhirnya aku meninggalkan Arkam sendirian di kelas dan bergegas menuju kantin. Setelah selesai mengisi perut, aku pun berjalan kembali menuju kelas. Kulihat Arkam masih duduk di bangkunya dengan posisi yang belum berubah sedikitpun.
Bel masuk berbunyi.
Semua murid kembali duduk di bangkunya masing-masing. Suasana kelas terasa cukup tenang dengan sedikit suara murid yang berbincang antar satu sama lain.
“AHHH, HANDPHONEKU HILANG!!!”
Terdengar teriakan seorang siswi yang seketika memecah ketenangan seisi ruangan. Seketika, ruang kelas dipenuhi dengan adu mulut dan kalimat saling tuduh yang menambah kacau suasana.
“Diam, semuanya!”
Entah mengapa, Arkam langsung berteriak dan memerintahkan semua murid untuk berdiam dan menenangkan diri mereka masing-masing. Suasana kelas pun akhirnya kembali tenang, walaupun sebenarnya masih terasa kegelisahan dan rasa waspada akibat hilangnya Handphone salah satu siswi tersebut.
“Baiklah, sekarang aku minta semua murid laki-laki untuk berdiri di depan kelas.” Ucap Arkam, sedikit berteriak.
Anehnya, semua murid laki-laki terlihat patuh dan menuruti perintah itu. Aku dan yang lainnya mulai melangkah ke depan kelas, lalu berdiri satu baris menghadap seisi kelas.
“Sekarang aku akan memeriksa kalian satu-persatu.” Ucap Arkam.
Momen ini semakin menambah rasa penasaranku pada Arkam. Mengapa semua orang dengan patuh menuruti perintahnya? Siapa dia sebenarnya? Pikiranku yang sedang melayang-layang akhirnya teralihkan dengan cara aneh Arkam untuk ‘memeriksa’ tiap murid laki-laki di hadapannya. Ia memulainya dengan menjabat tangan setiap orang, kemudian mendekatkan telinganya ke dada mereka, mengamati secara jeli tiap wajah mereka, dan terakhir, memeriksa bagian depan tiap sepatu mereka.
“Sudah aku temukan pelakunya. Sebelumnya, Genta, bisakah kau pergi ke toilet pria dan memeriksa atap setiap bilik disana?” Ucap Arkam di hadapanku.
Aku dengan kepala yang masih penuh dengan rasa ingin tahu ini hanya dapat mengiyakan perkataannya. Dengan langkah yang cukup tergesa, akhirnya aku sampai di toilet laki-laki. Setelah sampai, aku langsung mencari ke setiap bilik yang ada. Tak disangka, Handphone itu aku temukan dalam bilik paling ujung, tempat dimana terdapat lubang besar di langit-langitnya.
Dengan perasaan bangga, aku langsung berlari kembali menuju kelas dan berteriak bahwa Handphonenya telah berhasil kutemukan, setibanya di kelas.
Sekarang, tiba saatnya untuk Arkam menunjukkan siapa pelakunya.”
“Terima kasih Genta. Baik, sekarang aku akan menunjukkan siapa pelaku dibalik tindakan pencurian yang ceroboh ini.”
“Dia.” Ucap Arkam sambil mengarahkan telunjuknya tepat kearah wajah seorang siswa benama Hilman.
“Hah? Apa maksudmu, Arkam?!” Ucap Hilman dengan nada yang sangat geram.
“Mengelak hanya akan membuang-buang tenaga. Akan kucoba untuk menjelaskan sesederhana mungkin bagi otakmu yang sempit itu. Pertama, dia sangat gugup sejak berdiri di depan sini, karena telapak tangannya dibanjiri oleh keringat dingin. Rasa takutnya dibuktikan dengan detak jantung yang sangat tidak beraturan. Tidak adanya kerutan di kelopak matanya menunjukkan kalau ia kurang bahagia. Bukan karena ia tidak memiliki banyak teman, tetapi lebih memungkinkan karena ia tertekan dengan keadaan keluarganya yang serba kekurangan. Kenapa aku bisa bilang begitu? Tas dan sepatu kurang terawat yang ia kenakan mencerminkan kalau ia berasal dari keluarga kurang mampu, sehingga cukup jelas bahwa motifnya adalah ekonomi. Kita lihat sepatunya, dibandingkan dengan kalian semua, hanya sepatu Hilman yang bagian depan dan alasnya basah. Tidak lain dan tidak bukan, karena dia masuk ke toilet sebelumnya. Dan lalu mengapa aku bisa yakin kalau Hilman ke toilet bukan untuk buang air? Karena bibirnya kering, itu berarti ia belum memasukkan apapun ke dalam mulutnya sejak jam istirahat dimulai. Dan terakhir soal tempat disimpannya barang curian, hal sederhana itu cukup mudah diterka dari seorang yang dilanda kepanikan, yaitu di bilik paling ujung toilet. Apakah sudah jelas semua?” Jelas Arkam.
Seisi kelas terdiam bisu. Berbeda dengan tatapan bingung mereka, aku secara tidak sadar menunjukkan raut wajah takjub dan tidak percaya akan hal luar biasa yang baru ia lakukan tadi.
Setelah mendengar penjelasan Arkam, semua murid akhirnya membawa Hilman ke ruang BK untuk ditindak lanjuti lebih jauh.
“Hei Arkam, tadi itu sangat menakjubkan!” Ucapku memujinya.
“Ah, aku tidak butuh pujian dari siapapun. Yang terpenting adalah aku dapat mencegah agar otakku tidak terbengkalai saja.”
Kelihatannya pujian bukan hal yang menyenangkan pula bagi Arkam.
“Jadi... apakah aku bisa menjadi temanmu, Genta?” Ucap Arkam tiba-tiba.
“Eh? Mengapa kau ingin berteman dengan seseorang sepertiku, Arkam?”
“Yah, menjadi teman dari seseorang yang terbiasa dengan kesendirian sepertinya dapat dikatakan sebagai sebuah kehormatan bagiku.”
“Hm, baiklah kalau begitu.”
Di hari itu, aku memiliki satu-satunya teman yang sangat berarti di kehidupanku yang hitam putih dan datar ini.
Arkam Zulham, temanku.
-Fin-