Santap Karya : Keluarga tempat yang aman atau rawan? (Seksual Harrasment : Incest di Lingkungan Keluarga)
Keluarga tempat yang aman atau rawan?
(Seksual Harrasment : Incest di Lingkungan Keluarga)
Oleh: Annisa Fadillah
Keluarga yang merupakan unit terkecil di masyarakat seharusnya menjadi tempat teraman dan ternyaman bagi tumbuh kembang anak. Namun, keluarga justru menjadi tempat terawan bagi terjadinya tindakan kejahatan kekerasan seksual oleh kerabat dengan ikatan darah yang dapat mempengaruhi mental anak (Keristiawan dan Swardhana, 2021). Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat dan masih memiliki ikatan darah seperti keluarga dinamakan incest (Komalasari dan Paraniti, 2020). Dalam hal ini, Incest merupakan hubungan seksual antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan bersaudara yang dianggap melanggar adat, hukum, dan agama.
Sebagaimana Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2021 menyatakan bahwa kekerasan seksual di ranah privat atau personal dilakukan oleh anggota keluarga. Incest atau kejahatan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat korban tercatat sebanyak 215 kasus, yang mana hal ini bukanlah angka yang sedikit. Tingginya kasus kekerasan seksual incest ini menjadi suatu permasalahan sosial yang memerlukan perhatian banyak pihak. Sebagaimana pelaku incest dikategorikan sebagai perilaku penyimpangan sosial karena melampiaskan hasrat seksualnya kepada keluarga yang masih terikat darah.
Seperti kasus yang viral dan menjadi perbincangan publik di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Seorang ibu bernama Lidya (nama disamarkan) mendapati pengakuan ketiga anaknya yang dilecehkan oleh ayah kandungnya sendiri. Kasus yang terjadi pada tahun 2019 ini menjadi perhatian bersama, yang mana kasus kekerasan seksual ini dihentikan oleh Polres Luwu Timur dengan dalih kurangnya bukti dan sang ibu dianggap memiliki gangguan mental. Kejanggalan yang terjadi pada kasus kekerasan seksual incest di Luwu Timur seharusnya mendapatkan pendampingan. Sebagaimana Polres Luwu Timur dianggap menyingkirkan bukti ketiga korban berupa luka di bagian vital dan pengakuan yang saling diperkuat satu sama lain oleh ketiganya (Salam, 2021).
Kasus kekerasan seksual incest yang terjadi di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan seharusnya diusut secara tuntas. Sebagaimana bentuk laporan yang disampaikan oleh seorang ibu untuk keadilan ketiga anaknya bukanlah hal yang mudah. Kekerasan seksual incest yang merupakan bentuk penyimpangan sosial ini telah berpotensi mempengaruhi tumbuh kembang sang anak. Dalam hal ini, kasus kekerasan seksual insect di Kabupaten Luwu Timur bukan pertama kalinya terjadi di ranah keluarga. Sebagian besar kasus lainnya masih belum terungkap akibat terhalang oleh sistem keadilan bagi korban, yang mana terjadi karena ketidakberanian dalam melapor dan terancam serta malu akan sanksi sosial yang akan diberikan oleh masyarakat.
Ketidakberdayaan korban dan adanya kesempatan bagi pelaku membuat kekerasan seksual yang dilakukan oleh kerabat dengan ikatan darah mudah terjadi. Sebagaimana kekerasan seksual incest dapat terjadi akibat adanya kesempatan bagi seorang devian melakukan penyimpangan. Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin, menyatakan bahwa munculnya kejahatan dan bentuk-bentuk perilakunya bergantung pada kesempatan yang diberikan masyarakat (Parwata, 2017). Hal ini didukung oleh lemahnya kontrol sosial yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat, yang mana membuat nilai dan norma sulit ditegakkan. Sehingga komunikasi dapat terhambat yang akan menimbulkan macetnya integrasi di keluarga dan masyarakat.
Mirisnya tindakan kekerasan seksual incest yang terjadi di ranah keluarga menarik perhatian banyak pihak. Ketidakberdayaan korban yang banyak menimpa anak di bawah umur membuat tindakan pelecehan mudah terjadi (Wirayatni et al., 2021). Peran keluarga sangat penting dalam memperhatikan perubahan sikap yang terjadi pada korban. Sebagaimana ketika pelecehan seksual terjadi, anak seringkali menjadi pemurung karena merasa dirinya rendah dan tidak berharga. Peran ibu dan saudara terdekat sangat diperlukan untuk mencegah kekerasan seksual incest oleh kerabat terdekat dengan melakukan komunikasi yang aktif dan keterbukaan di dalam keluarga. Selain itu, keluarga dan para pekerja sosial juga dapat bersama-sama melakukan pendampingan bagi korban kekerasan seksual incest untuk mengembalikan mental dan psikis yang terguncang (Krisnani dan Kessik, 2020).
REFERENSI
Salam, F. (2021). Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan. Diambil dari Project Multatuli website: https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/?__cf_chl_captcha_tk__=pmd_S_Jak2a0oDQyJEUuXara7nTR_znfmm7bf2.ARHp8vPE-1633739933-0-gqNtZGzNA5CjcnBszQil
Keristiawan, P.A., Swardhana, G.M., 2021. Penanggulangan Terhadap Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dalam Lingkup Keluarga (Incest) Di Wilayah Hukum Polres Buleleng. J. Kertha Desa 9, 13–23.
Komalasari, G.A.K., Paraniti, A.A.S.P., 2020. Incest in the Dimension of Sexual Violence Against Children. South East Asia J. Contemp. Business, Econ. Law 21, 232–239.
Komnas Perempuan. 2021. Perempuan Dalam Himpitan Pandemi : Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, Dan Keterbatasan Penanganan Ditengah Covid-19.
Krisnani, H., Kessik, G., 2020. Analisis Kekerasan Seksual Pada Anak dan Intervensinya oleh Pekerjaan Sosial (Studi Kasus Kekerasan Seksual oleh Keluarga di Lampung). Focus J. Pekerj. Sos. 2, 198.
Parwata, I.G.N., 2017. TERMINOLOGI KRIMINOLOGI.
Wirayatni, S., Andini, P., Tantimin, Riandini, V.A., 2021. Perlindungan Anak Perempuan Penyandang Disabilitas Sebagai Korban Kekerasan Seksual Incest Di Kota Batam, Indonesia. J. MEDIA Komun. 3, 14–21.