Wanita Masih Menjadi Korban SeksismeOleh : Devi Shinthia
Tanpa kita sadari, seksisme selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan seksisme ini sudah menjadi hal yang lumrah bagi sebagian orang. Pengertian dari seksisme sendiri merupakan suatu anggapan yang memandang salah satu gender lebih superior daripada gender yang lain. Secara tidak langsung, seksisme ini bisa menjadi stereotip berdasarkan gender sejak lahir. Seksisme ini merupakan suatu topik yang penting untuk dibicarakan. Karena kalau kita acuh, seksisme ini bisa menjadi normalisasi bagi setiap orang. Seksisme bisa terjadi pada pria maupun wanita. Namun, yang lebih sering menjadi korban seksisme ini adalah kaum wanita. Jadi disini konteksnya kita akan berbicara dari sudut pandang wanita yang lebih rentan untuk menjadi korban seksisme.
Seseorang yang seksis akan melihat dirinya “the superior” dan akan memperlakukan lawan gendernya dengan cara yang terkesan “menggurui”. Menjadi seorang wanita itu tidak mudah, banyak sekali ekspetasi yang membebani kita. Wanita sering mengalami ketidakadilan, ketimpangan, dan standar berlebihan. Wanita dituntut untuk cantik dan bisa segala hal. Segala gerak-gerik yang dilakukan, seakan-akan menjadi bahan untuk bisa dikritik. Wanita yang memakai baju kelonggaran dianggap tidak “desirable” sedangkan wanita yang memakai baju terbuka dianggap wanita “nakal”, wanita yang umurnya sudah beranjak 20-30 tahun sering kali dicecar pertanyaan “kapan menikah?”, jika diumur tertentu seorang wanita belum juga menikah, maka wanita tersebut akan dilabeli sebagai “perawan tua”. Setelah menikah pun mereka akan ditanya “kapan punya anak?” karena katanya seseorang belum 100% menjadi seorang wanita jika belum tau rasanya melahirkan. Jika seorang wanita belum memiliki anak, maka ungkapan “mandul” lebih banyak dilabeli kepada seorang wanita daripada pria.
Seksisme-seksisme lain yang sering kita temukan di kehidupan sehari-hari adalah wanita yang memilih untuk berkarir setelah menikah akan di-judged “menelantarkan” anak dan suaminya, sedangkan laki-laki berkarir akan dianggap sebagai “husband goal”. Wanita dituntut untuk bisa masak dan serba bisa dalam segala hal. Wanita disuruh untuk tidak terlalu pintar dan sukses karena katanya nanti susah dapat jodoh. Anggapan wanita yang tidak usah menempuh pendidikan tinggi karena nantinya akan tetap saja berkubang di dapur.
Wanita yang menjadi korban pelecehan seksual kerap kali disalahkan karena memakai pakaian terbuka yang mengundang aksi kejahatan. Padahal pelecehan terjadi karena “pikiran kotor” pelaku, bukan karena pakaiannya. Wanita dianggap tidak capable jadi pemimpin karena katanya suka terlalu emosi dan cenderung pakai perasaan. Wanita yang tidak memakai make up dianggap tidak bisa mengurus dirinya. Sedangkan, wanita yang memakai make up dianggap ingin menggoda laki-laki. Dan masih banyak lagi “ketidakadilan” yang dialami oleh kaum wanita yang membuat terciptanya batasan mengenai apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seorang wanita.
Berbicara mengenai “keharusan” wanita, banyak hal yang menjadi fokus pembicaraan, karena wanita merupakan mahluk yang dituntut untuk “serba bisa”. Ketika wanita tak mampu lagi berperan, budaya patriarki akan semakin menampakan diri. Oleh karena itu, kesetaraan gender perlu dijunjung tinggi untuk lebih menghargai kaum wanita dan membuktikan bahwa wanita juga memiliki hak untuk menentukan pilihan yang seharusnya ia miliki tanpa melalaikan kewajibanya.