Jam berdetak, keringat bercucuran, nafas menghela. Tiga kejadian dalam satu waktu yang hanya dijumpai pada saat bangun tidur. Hari itu suasana gelap, dengan rintih hujan irama lamban, detakan butir air hujan membentur genting yang terdengar di penjuru sudut kamar. Mataku tertutup selimut, seketika terbangun merasakan pusing karena tidur siangku melebihi kapasitasnya, lebih dari 4 jam.
Suara misterius berbisik di telingaku, tanpa kusadari ternyata suara itu adalah suara ibuku yang membisikan takhyul tidur di waktu magrib. “nak, jangan tidur waktu magrib, ‘pamali’”. Satu kata yang tak bersalah dan tidak patut dipertanyakan meskipun itu dalam sidang skripsi.
Duduk pada tingkat sekolah dasar, tepatnya kelas 6. Masa di mana mulai mengenal wanita dengan ketertarikannya tersendiri. Orang bilang sih katanya ‘cinta monyet’, entah cintanya mirip monyet atau monyetnya??? Apa yah? Pokoknya gitu deh. Ketertarikan itu hanya sebatas mengikuti tren teman agar dapat pengakuan dan terlihat keren.
Merenung di sandaran pintu kelas adalah kebiasaanku, sambil membayangkan bahwa dia adalah istriku untuk hari esok. Tiba-tiba langit berubah gelap, rasa pusing itu begitu kuat, dan terasa pukulan keras dari sahabatku Sopyan, ternyata aku sedang ketiduran di bawah pohon samping lapangan basket.
Ekspersi muka bantal dengan cairan yang membasahi pipi bagian kiriku, ternyata aku ketiduran sampai air liurku mengalir sampai ke muaranya (telinga). Dengan cepat aku bangun dan membasuh mukaku dengan air botol minum punya sahabatku itu. Aku baru menyadari ternyata baju yang ku pakai berlogo Osis SMP.
Dalam hati berdiskusi, bukannya baru tadi aku bersandar di depan pintuk kelas sekolah SD, lantas apa yang terjadi? Apa itu tadi bunga tidur? Tapi mengapa terasa begitu nyata, meskipun aku tahu benar hukum dari mimpi adalah 95 persen terlupakan dan 5 persen akan tersimpan di memori otak, tetapi ini menunjukkan presentase sebaliknya. Apa yang terjadi?
Aku tersadar, ternyata sebelum aku pergi ke lapangan basket, aku membaca sebuah buku novel yang berjudul “Lorong waktu” dan di sana di bahas tentang Hukum Mimpi. “Berarti benar itu hanya sebuah mimpi”-ucapku dalam hati.
Gawaiku bergetar, notif dari seseorang yang dikontak ku Bernama ‘sayang’, “siapa ini”-pikirku dalam hati. Setelah dibaca riwayat pesan sebelumnya, terdapat kata “sayang, kau lah cinta sejatiku, kenyamanan adalah bahasa cinta, ketika kamu ingin mengerti bahasa itu, tetaplah bersamaku”. Geli dengan riwayat pesan tersebut, membuatku semakin bingung. Apa iya diriku 2 menit setelah bangun tidur berada pada titik konsentrasi mengumpulkan nyawa? yang memengaruhi kewarasan dan daya ingatku, ataukah penyakit pikun turunan yang sewaktu-waktu saja bisa kambuh. Entahlah aku berharap 2 menit itu cepat berlalu.
Betul saja, ingatan itu sudah kembali tempat di menit ke 3 setelah aku bangun tidur. Ternyata nama kontak dari gawai yang bertuliskan ‘sayang’ adalah pacarku yang baru minggu kemarin aku tembak eaksssss. Oke bakal aku kenalin siapa dia hehehhe.
Sebenarnya dia adalah sainganku di kelas, wanita cantik sekaligus cerdas, dan terkenal jutek dengan setiap cowok, sebetulnya aku juga tidak begitu tertarik dengan dia, karena sikapnya yang bikin mental cowok langsung down ketika mencoba mendekatinya.
Namun, awal motif aku mendekatinya hanya karena ingin menjatuhkan prestasi dia di kelas karena asyik dengan kebucinannya. Tetapi nyatanya, renacanaku itu tidak berjalan mulus, kami akhirnya saling mencintai, dan aku berusaha menghatamkan deretan buku dengan judul cinta dan kenyamanan, trik PDKT, dll. Tidak aku spill semua di sini, takut jadi referensi buat kalian yang sedang PDKT hehehe.
Merasakan kebahagian itu, rasanya aku ingin mengubah hukum relativitas waktu, aku ingin berhenti di detik kebahagian ini dan terus hidup dalam getarannya. Namun aku bukanlah Tuhan ataupun seorang Einstein. Semuanya berlalu dengan cepat~
Hari itu, tepatnya hari pembagian raport kenaikan kelas, rasa tidak pecaya menghampiri, bahwa aku menduduki peringkat pertama di kelas, disusul oleh pacarku di urutan kedua. Dalam hati kecil aku berkata “rencanaku sebagian berhasil dan bisa melampaui dia,” tapi hati besarku tidak merespons itu dengan hormon kebahagiannya. Namun, kebahagianku hanya tertuju dan ingin ku persembahkan pada kedua orang tuaku.
Jarum speedometer motorku menunjuk ke angka 100, dan terus ku tarik pedal gasnya sampai berhenti di angka 120. Sungguh kecepatan yang baru aku rasakan, dan naas nya motorku menabrak sebuah tiang trotoar di belokan tepat 200 meter menuju rumah. Tubuhku terpental sepersekian detik, ingin ku memberhentikan waktu dan berharap bisa bangun di fase lain dalam kehidupan dengan cerita cinta yang sering ku anggap konyol di kemudian hari.
Sekian~~~