Toxic Productivity Pada Kalangan MahasiswaOleh : Devi Shinthia
Pandemi covid-19 ini membuat semua aktivitas terganggu termasuk dalam hal perkuliahan. Seperti yang sudah kita ketahui, semenjak adanya pandemi covid-19 ini, kegiatan perkuliahan dilakukan secara daring. Meskipun kegiatan perkuliahan dilakukan secara daring, tidak meruntuhkan semangat mahasiswa untuk menjadi mahasiswa yang produktif di tengah pandemi. Menjadi produktif merupakan suatu hal yang baik bagi mahasiswa. Hal ini akan menunjukkan bahwa mereka memiliki kesadaran terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya sekaligus dedikasinya sebagai seorang mahasiswa.
Menjadi mahasiswa yang produktif pasti akan disibukkan dengan tugas kuliah yang menumpuk, beban organisasi yang berganda ditambah lagi keaktifan mahasiswa dalam mengikuti komunitas ataupun UKM. Semua itu akan menjadikan mahasiswa menjadi semakin ‘produktif’, mereka akan melakukan pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawabnya tanpa mengenal waktu, mereka bahkan rela mengorbankan jam tidurnya karena adanya pemikiran bahwa mahasiswa harus ‘produktif’.
Kondisi ini lah yang menjadi pertanyaan apakah mahasisa sudah produktif? Atau ini hanyalah sebuah obsesi belaka yang sembunyi di balik kata ‘produktif’?
Produktif merupakan hal yang baik, namun semua hal yang berlebihan itu belum tentu baik. Disadari maupun tidak, bisa jadi produktivitas yang berlebihan ini dapat meracuni kehidupan kita. Jangan sampai kita malah terjebak dalam toxic productivity. Adapun yang dimaksud dengan toxic productivity adalah mindset seseorang yang terobsesi untuk mengembangkan diri dan merasa bersalah jika tidak bisa melakukan banyak hal. Hal ini akan membuat seseorang berpikiran untuk terus menjadi produktif setiap saat dengan cara apapun hingga minim waktu untuk untuk beristirahat.
Produktivitas yang toxic ini merupakan suatu hal yang tidak baik, karena toxic productivity hanya akan berdampak pada kesehatan mental mahasiswa. Mahasiswa yang terjebak dalam toxic productivity akan merasa mempuyai peran dalam mengambil banyak tanggung jawab dan menjadikan semua kesibukkannya sebagai suatu tantangan tersediri sehingga mereka berpikir tidak boleh melewatkan satu kesempatan pun. Pada akhirnya, hal ini hanya akan membuat kewalahan, lelah berkepanjangan, cemas, dan terparah yaitu depresi.
Dengan hadirnya situasi yang demikian, membuat mahasiswa terbelenggu oleh pikiran dan keinginan untuk melakukan banyak hal dalam satu waktu, yang katanya demi kebaikan diri di masa depan, alias toxic productivity.
Bagi sebagian mahasiswa, tentu ini menjadi hal yang menyenangkan. Tetapi tidak sedikit pula yang merasakan beban berat. Beban karena terbelenggu perasaan untuk selalu terlihat produktif, padahal masih banyak tanggung jawab lain yang mereka emban. Kemudian berakibat tidak baik bagi kesehatan mereka secara mental.
Tidak sedikit dari mereka yang merasakan burnout sehingga dia tidak bisa meng-handle semua target yang sudah direncanakannya. Kesehariannya diisi dengan suasana hati yang gelap dan air mata yang terus turun karena merasa tertekan dengan beban berat yang dipikulnya.
Ketika melihat teman kita yang sedang produktif, memang tidak bisa dipungkiri pasti akan terbesit di pikiran kita bahwa kita juga harus produktif bahkan harus bisa lebih produktif. Namun kita harus berada pada produktivitas yang sehat. Sangat penting untuk memperhatikan cara kerja dan usaha apa yang cocok untuk diri kita sendiri untuk memenuhi target kita karena masing-masing orang memiliki batas untuk melakukan suatu hal.
Istirahat sangat diperlukan untuk mengisi ulang energi kita. Handphone saja perlu di-charge saat mati supaya bisa digunakan kembali. Apalagi kita yang manusia. Selain itu, jangan egosi dengan tubuh sendiri. Isitirahat lah ketika kamu merasa cape, karena dengan istirahat tidak akan membuat kamu kehilangan banyak hal. Rebahan juga bukan suatu kesalahan. Jadi, tidak perlu merasa kurang nyaman ketika kamu beristirahat.