Mengamati Toilet Dalam Perjalanan Hidup Saya Adalah Proses Panjang Menelusuri Peradaban

Oleh: Sansa Bunga Agista 

Percayalah, tulisan ini saya buat sambil nonton serial populer anak-anak “SpongeBob SquarePants”, menemukan scene dimana sebuah toilet duduk keluar dari ruangan dan merintih kesakitan lalu menghampiri Squidward yang ada di dekatnya. Memang tak ada yang istimewa dari adegan ini, selain gagasan yang tidak masuk akal tentang ‘toilet yang bisa berjalan dan merasakan sakit’, tapi memang seperti itulah film ini berfungsi, mendukung dunia anak-anak yang penuh dengan imajinasi.

Tapi gausah nanya kenapa saya, seorang mahasiswi semester 3 justru nonton itu, hehe. Selain karena nostalgia masa kecil, setidaknya bagi saya film animasi SpongeBob SquarePants memberikan pemahaman filsafat stoikisme yang membantu saya berbahagia melalui hal-hal sederhana yang seringkali diremehkan oleh kebanyakan orang, dan bagusnya saya menyadari hal itu justru ketika saya sudah dewasa. Tapi skip kita ga akan bahas itu.

Melalui kejadian kecil itu, saya dibawa pada sebuah ingatan tentang salah satu buku yang pernah saya beli di suatu gerai yang mungkin menjadi gerai terbesar tempat menjual berbagai macam buku di kota Bandung, teman-teman pasti tau nama tempat itu. Sebuah buku karangan Profesor Emeritus Sosiologi berkebangsaan Inggris “Ken Plummer” yang dengan renyahnya menyampaikan hal lucu berkaitan dengan Sosiologi melalui apa yang dinamai “3T”, saya ikut ketawa aja ketika membaca bagian itu, bukan karena benar-benar lucu. Tapi karena saya ikut mengalami apa yang di ulas dalam buku ini.

Salah satu dari 3T itu adalah Toilet, apa yang saya lakukan setelahnya adalah menyaksikan sebuah film dokumenter Paromita Vohra berjudul Q2P yang berlatar kehidupan di Mumbai, tidak ada visualisasi ataupun adegan yang epik nan eksotis, hanya sebuah film dokumenter yang menampilkan kondisi apa adanya dari orang-orang yang harus mengantri untuk buang air kecil dan menunjukan bahwa perbedaan jenis kelamin dan tingkatan begitu tampak dalam sebuah tempat yang kita kenal dengan sebutan toilet.

Berbagai tempat yang saya kunjungi menampilkan potret toilet dengan vibes, gaya dan warna yang berbeda-beda. Seperti di mall, masjid, kampus dan tempat-tempat lainnya, semakin indah dan modern ruang utama maka toilet yang disiapkan di dalamnya juga sama indah dan modernnya. Contoh pertama adalah mall, menyenangkan mengunjungi toilet dalam sebuah mall. Pencahayaan, fasilitas dan suasana di dalamnya bisa jadi lebih nyaman dan mewah dari kamar tidur kita sendiri di rumah. Kemudian saya juga menemukan bahwa terkadang (meski tidak semua) toilet wanita dan pria memiliki kerumitan yang berbeda, toilet wanita cenderung memiliki interior lebih rumit, berliku-liku, bersekat-bersekat, mirip labirin dengan ukuran yang lebih luas dan furniture bermacam ragam.

Memang tidak ada yang salah dengan hal ini. Mari kita lanjut. 

Contoh selanjutnya adalah masjid, potret toilet yang ditampilkan tentu saja berbeda, di dalamnya seringkali kita melihat interior yang lebih sederhana dengan gaya klasikal pada umunya. Namun tetap sama, kerumitan dan luas yang dimiliki toilet wanita di berbagai masjid yang pernah saya kunjungi ini pun (meski tidak semua) selalu lebih unggul. Begitu pula dengan  SMA saya dulu, toilet yang diperuntukan untuk laki-laki lebih sederhana, bahkan saya dan seluruh warga sekolah masih bisa melihat kepala mereka yang sedang buang air kecil itu muncul di balik tembok. 

Lalu apa yang salah? Tidak ada. Tapi sejak saat itulah ditemukan gugatan filsafat pertama saya : “Mengapa toilet wanita setidaknya selalu lebih luas dan lebih rumit dalam berbagai aspek, mengapa wanita harus mengantri lebih lama, mengapa kaum wanita senang berlama-lama di dalam toilet, berbincang-bincang, padahal banyak keindahan lain yang bisa dinikmati, banyak tempat lain yang nyaman di gunakan untuk sekedar berbincang, dan yang lebih penting kaum laki-laki jarang sekali melakukan hal itu?” 

Toilet telah mengangkat spektrum utama atas berbagai persoalan. Berabad-abad lalu toilet menjadi dasar bagi dunia modern yang kita miliki saat ini yang kemudian dikenal sebagai simbol modernitas—sebuah lambang kekayaan. Kita lihat bagaimana Jepang menciptakan fasilitas umum berupa toilet transparan dan berbagai toilet canggih berbasis artificial intelligence. Peran toilet sama pentingnya dengan kendaraan yang kita gunakan untuk ber-mobilisasi saat ini. 

Mengapa toilet menjadi sangat penting dalam kehidupan kita?

Tak hanya simbol modernitas dan kekayaan, toilet juga merupakan perwujudan dari kesenjangan sosial, lebih dari dua setengah miliar orang hidup tanpa toilet, meraka menggunakan ruang-ruang terbuka, ladang, semak-semak, lumpur, hutan. Coba bandingkan dengan mereka yang memiliki toilet layak bahkan kamar mandi mewah. Jelaskah diantaranya?

Pada abad ke-19 perubahan sanitasi yang diakibatkan toilet terbukti menjadi faktor penentu perubahan tingkat kesehatan dan penyakit. Menjadi sepenting ini lah toilet dalam kehidupan kita. Dari toilet lah, tingkatan, karakter, pola perilaku, perbedaan kepentingan seseorang nampak dengan jelas, dari toilet juga kita dapat menemukan pemahaman bahwa kehidupan sehari-hari kita diatur oleh sistem-sistem baku berupa aturan dan kebiasaan yang justru seringkali luput dari pandangan kita. 

Berbicara mengenai toilet tidak hanya berbicara mengenai defekasi dan urinasi, jauh daripada itu kita juga beribicara mengenai konstruksi sosial, kita menemukan peradaban.