HUKUMAN MATI TIDAK CUKUP PANTAS UNTUK PELAKU PEMERKOSAANOleh : Fairuz Akhiarul A
Belakangan ini masyarakat Indonesia sedang diramaikan oleh munculnya berbagai kasus kekerasan seksual. Memang bukanlah hal baru, tapi justru itu permasalahannya. Bagaimana mungkin kasus kekerasan seksual yang sudah menjadi persoalan dari tahun ke tahun, bukannya menurun justru selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dan tentunya pihak yang selalu menjadi korban adalah pihak wanita.
Berdasarkan data dari CATAHU Komnas Perempuan pada Tahun 2020 angka kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan sekitar 31,5% dari tahun sebelumnya. Yang penting menjadi menjadi catatan adalah, penurunan jumlah kasus pada tahun 2020 (299.911 kasus terdiri dari 291.677 kasus di Pengadilan Agama dan 8.234 kasus berasal dari data kuesioner Lembaga pengada layanan) daripada tahun sebelumnya (431.471 kasus –416.752 kasus di pengadilan agama dan 14.719 data kuesioner), bukan berarti jumlah kasus menurun, akan tetapi terdapat beberapa alasan dibalik hal tersebut.
Sejalan dengan hasil survei dinamika KtP di masa pandemik penurunan jumlah kasus dikarenakan 1) korban dekat dengan pelaku selama masa pandemik (PSBB); 2) korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam; 3) persoalan literasi teknologi; 4) model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi (belum beradaptasi merubah pengaduan menjadi online).
Salah satu kasus terbaru adalah kasus Herry Wirawan yang berkedok sebagai ustadz yang mendirikan pesantren melalukan pemerkosaan kepada 13 santri yang bahkan sampai menghasilkan anak, dan lebih parahnya lagi anak-anak tersebut dijadikan budak untuk mencari nafkah. Sedemikian bejatnya perilaku pelaku sampai membalut pemerkosaan dengan motif agama. Bukan hanya mencoreng tapi menodai kesucian agama. Sesuatu yang tidak terpikirkan bahkan oleh iblis sekalipun.
Berdasarkan putusan pengadilan, pelaku diberikan hukuman kebiri dan hukuman mati. Pertanyaannya adalah apakah hukuman mati cukup pantas untuk menjadi hukuman pelaku? Sebegitu beratkah hukuman mati bagi pelaku?
Mari berbicara dalam lingkup hukum positif, tanpa perlu repot-repot membawa hukum-hukum akhirat yang bersifat sakral dan imajinatif. Apabila diberikan hukuman mati, penderitaan dia sebagai pelaku, secara fisik hanya akan berlangsung beberapa detik setelah eksekusi. Mungkin hanya terasa beberapa menit bahkan detik setelah eksekusi. Dan hukuman sosial yang dia terima akan berhenti setelahnya. Sementara dia bisa dengan mudah terlepas dari semua beban tersebut.
Sedangkan santriwati yang menjadi korban akan menanggung beban moral seumur hidup, menanggung beban merawat anak seumur hidup sembari menafkahi anak-anaknya, bayangkan seberapa parah luka psikis yang mereka tanggung. Dan hal-hal semacamnya. Cita-cita dan masa depannya dihancurkan begitu saja.
Jangan lupakan beban yang akan ditanggung oleh anak-anak yang dia hasilkan. Rasa malu yang akan mereka tanggung seumur hidup dikarenakan ketidakjelasan ayahnya. Tidak memiliki ayah yang seharusnya berperan dalam merawat, menafkahi, membantu berbagai urusan administrasi. Kehidupan yang bahkan tidak mereka pinta dan harapkan dengan berbagai beban yang harus mereka tanggung bahkan sebelum mereka lahir.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwasannya dalam hal ini hukuman mati menjadi hukuman yang salah sasaran. Karena bukan pelaku yang oaling menderita, akan tetapi justru korban lah yang paling menderita atas hukum tersebut. Mengapakita sedemikian memikirkan hak asasi manusia atas manusia yang merusak hak asasi manusia lainnya?
Mengadopsi undang-undang dari zaman Hammurabi untuk diterapkan pada era modern bukanlah hal yang relevan dan layak. Sedemikian melekatnya kah hukum dengan masyarakat sehingga begitu sulit untuk dirubah. Sebagaimana merekatnya kulit dan daging? Hukuman mati bukanlah hukuman yang paling menyakitkan. Seharusnya bisa lebih dari itu!