Shalom Duta Putra Harahap
Pada dasarnya, semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berbeda. Manakala kita melihat karakteristik dari masing-masing secara fisik, kita akan dengan mudah membedakannya. Perbedaan alami yang dikenal dengan perbedaan jenis kelamin sebenarnya hanyalah segala perbedaan biologis yang dibawa sejak lahir antara perempuan dan laki-laki. Namun meskipun hanya keadaan biologis, hal itu lah yang justru menjadi faktor utama mengapa terjadi ketimpangan atau perbedaan kedudukan pada gender.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kedudukan diterjemahkan sebagai tingkatan atau martabat, status (keadaan atau tingkatan orang atau lembaga) (Umar, 2010). Kata kedudukan merupakan kata yang memilkiki multi makna. Bila disandingkan dengan perempuan, maka kedudukan dipahami sebagai martabat, kuasa, kontrol atas sumber daya yang penting, bebas dari kontrol orang lain, atau rasa hormat yang diberikan kepada perempuan (Umar, 2010).
Untuk mengembangkan konsep ini, Peggy Sanday mengusulkan agar konsep kedudukan dibedakan antara “derajat seorang perempuan yang dihormati di wilayah domestik dan publik, dan derajat seorang perempuan memegang kuasa dan kewenangan di wilayah domestik atau publik, artinya bahwa kedudukan seorang perempuan dalam sebuah keluarga sangat dipengaruhi oleh status seorang perempun memegang kendali di wilayah domestik, atau sejumlah hak ekonomi dan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya dalam sebuah keluarga.
Ketimpangan ini pula terlihat dengan jelas pada budaya Jawa. Dalam budaya Jawa, banyak istilah-istilah yang mendudukkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Dan istilah-istilah itu sudah tertanam dalam dalam hati masyarakat, sehingga dimaklumi dan diterima begitu saja. Kita ambilkan saja contohnya, dalam istilah Jawa ada menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking, artinya teman belakang, sebagai teman dalam mengelola urusan rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak, mencuci dan lain-lain. Ada lagi istilah lain suwarga nunut neraka katut. Istilah itu juga diperuntukkan bagi para istri, bahwa suami adalah yang menentukan istri akan masuk surga atau neraka. Kalau suami masuk surga, berarti istri juga akan masuk surga, tetapi kalau suami masuk neraka, walaupun istri berhak untuk masuk surga karena amal perbuatan yang baik, tetapi tidak berhak bagi istri untuk masuk surga karena harus katut atau mengikuti suami masuk neraka.
Ada lagi istilah yang merupakan istilah yang sering sekali disebutkan, yaitu bahwa seorang istri harus bisa manak, macak, masak dan berapa kata yang berawal ‘m’ yang lain lagi. Bahwa seorang istri itu harus bisa memberikan keturunan, harus selalu berdandan untuk suaminya dan harus bisa memasak untuk suaminya. Istilah lain yang melekat pada diri seorang perempuan atau istri yakni dapur, pupur, kasur, sumur dan mungkin masih ada akhiran “ur-ur” yang lain yang bisa diteruskan untuk dilekatkan pada perempuan (Hermawati, 2007).
Dari beberapa contoh di atas terlihat bahwa Perempuan masih dianggap the second-class yang sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Im- plikasi dari konsep dan common sense tentang pemosisian yang tidak seimbang telah menjadi kekuatan di dalam pemisahan sektor kehidupan ke dalam sek- tor “domestik” dan sektor “publik”, di mana perempuan dianggap orang yang berkiprah dalam sektor domestik sementara laki-laki ditempatkan da- lam sektor publik. Ideologi semacam ini telah disyahkan oleh berbagai pra- nata dan lembaga sosial, yang ini kemudian menjadi fakta sosial tentang sta- tus dan peran yang dimainkan oleh perempuan (Abdullah, 1997).
Daftar Pustaka
Abdullah, I. (1997). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Hermawati, T. (2007). Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender. Jurnal Komunikasi Massa, 18-24.
Umar, N. (2010). Argumen Kesetaraan Gender. Jakarta: Dian Rakyat.