Alifiyah Puteri As-Syifa
Pernah mendegar istilah ‘manusia merupakan makhluk sosial?’
Ya, istilah tersebut setidaknya seringkali kita dengar ketika kita belajar dibangku sekolah, tepatnya saat mata pelajaran IPS berlangsung. Hal tersebut seolah-olah terpatri menjadi pegangan, bahwa sampai kapanpun tiada seorang pun yang dapat berdiri sendiri tanpa ada campur tangan orang lain.
Keluarga, istilah kedua ini pun nampaknya tak asing di telinga kita, bukan?
Sebuah sistem sosial dasar yang terdiri dari anggota keluarga; ayah, ibu, dan anak. Juga merupakan salah satu bukti bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Duvall (1976) sendiri mengartikan keluarga sebagai sekumpulan orang yang terhubung, baik hubungan perkawinan, adopsi, ataupun yang bersifat kelahiran yang dimana tujuannya menciptakan dan mempertahankan budaya, sosial, dan emosional anggota, juga sebagai sarana meningkatkan perkembangan mental dan fisik.
Melihat dari pernyataan Duvall, mari kita telisik sedikit lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Siapakah yang kita lihat pertama kali saat kita terbangun dari tidur? Siapakah yang kita temui terakhir kali saat kita hendak tertidur? Siapakah yang berada disisi kita sejak kita lahir, kemudian melewati fase kehidupan, hingga kita berada diusia sekarang? Siapakah orang yang kita sebut dengan sebutan Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik? Tentu jawaban dari semua pertanyaan tersebut akan mengarah kepada satu jawab; Keluarga.
Lantas bagaimana pemaknaan keluarga dalam konteks yang lain? Mungkin seperti dalam pertemanan yang acap kali kita menyebutkan ‘pertemanan ini adalah keluarga’. Lantas, sampai mana batas dalam pendefinisian keluarga?
Mari kita biarkan tanda tanya itu sejenak.
Kembali, di dalam keluarga yang umumnya kita ketahui, kita melihat sebuah perbedaan dengan contoh ayah dan ibu. Terdapat perbedaan secara fisik antara ayah dan ibu, terdapat perbedaan emosional antara ayah dan ibu, terdapat perbedaan peran antara ayah dan ibu; ibu memasak dan ayah bekerja. Hal lumrah tersebut tentunya seringkali kita temui, lantas dengan apa hal tersebut dapat kita sebut?
Tentunya, kita dapat menyebutnya dengan sebutan gender.
Pendapat mengenai pendefinisian datang dari HT. Wilson (1998), menurutnya gender merupakan dasar penentuan perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan kebudayaan serta kehidupan koletif yang dimana nantinya mereka akan menjadi laki-laki dan perempuan.
Kemudian, apakah keluarga dan gender saling terikat?
Sosiologi keluarga dan gender sebagai cabang dari ilmu sosiologi datang sebagai jawaban. Mata kuliah ini membahas mengenai keterkaitan antara keluarga dan gender, serta bagaimana ruang lingkupnya sebagai sebuah komponen dalam masayarakat.
Ditengah hiruk pikuk dunia yang membaur, keadaan masyarakat yang modern membuat sistem sosial, nilai dan norma, serta budaya kian meluntur. Sebagai contoh:
“Tegur suami yang suka mabuk tapi malah divonis penjara setahun”
“Bocah 6 tahun dicongkel matanya untuk pesugihan sang ayah dan ibu”
“Karena TikTok, suami cemburu dan bunuh istri”
Ketiga headline berita tersebut merupakan kasus KDRT yang viral sepanjang tahun 2021. Dilansir dari IDN Times, Komnas Perempuan merilis pernyataan bahwa sebanyak 6.480 kasus tercatat sebagai kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Ranah Personal. Kasus tersebut melibatkan keluarga sebagai sistem sosial dan melibatkan peran gender antara laki-laki dan perempuan.
Dengan merebaknya kasus serupa, pembelajaran sosiologi keluarga dan gender menjadi pembelajaran yang dianggap penting sebagai langkah preventif dalam kontrol sosial. Definisi keluarga dan gender sudah tidak berfungsi sebagaimana seharusnya saat kasus-kasus tersebut bermunculan.
Keluarga sebagai agen sosialisasi pertama bagi seseorang dapat menjadi tempat utama bagi seseorang untuk belajar; bagaimana peran seseorang di tengah masyarakat, apa saja kebiasaan yang dapat dibentuk dana pa saja budaya yang seharusnya dipertahankan. Maka urgensi dari mata kuliah sosiologi keluarga dan gender adalah untuk memupuk mahasiswa Pendidikan Sosiologi UPI agar di masa yang akan datang mereka dapat membentuk keluarga yang aman, nyaman, dan menjadi ‘rumah’ yang sebagaimana mestinya.
Manfaat-manfaat lain dari mempelajari mata kuliah sosiologi keluarga dan gender pun dapat kita ketahui, seperti:
1. Dapat meluruskan bias gender yang sudah melekat di masyarakat
‘Laki-laki itu maskulin! Mainnya bola, warna kesukaannya biru, dan gak boleh menangis!’
‘Perempuan itu harus pakai rok, mainannya masak-masakan, gak boleh teriak, pokoknya harus feminim!’
‘Perempuan itu gak boleh sekolah tinggi-tinggi!’
‘Laki-laki kok takut sama istri?’
Seseorang berhak untuk menentukan untuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Tidak terpaku kepada warna, pakaian, pendidikan, perasaan ataupun hal lainnya yang bersifat merugikan. Seseorang berhak untuk menentukan peran di dalam kehidupannya.
Perempuan boleh bekerja, laki-laki boleh menangis. Konstruksi sosial yang memicu timbulnya bias gender perlu untuk diluruskan karena hal tersebut bersangkutan dengan Hak Asasi Manusia.
2. Dapat memupuk sikap Toleransi yang menjadi kunci kerukunan masyarakat
Toleransi merupakan kunci. Seseorang tidak berhak untuk terlalu mencampuri pilihan hidup orang lain. Maka, toleransi lah jalan tengah nya. Untuk menerima apa yang tidak biasa, untuk menghormati apa yang sudah menjadi sebuah keputusan, untuk menghargai eksistensi dari sesuatu. Dengan toleransi, kerukunan di masyarakat dapat terjamin.
Akan ada lebih banyak manfaat lain yang tentunya akan kita dapatkan ketika kita memperlajari mata kuliah sosiologi keluarga dan gender.
Harapan saya, dengan adanya mata kuliah ini, mahasiswa dapat mengerti mengenai keluarga dan gender terlebih berdasarkan sudut pandang sosiologi. Akan ada banyak hal menarik yang dipelajari dari mata kuliah ini, semoga pertanyaan yang bersemayam dalam pikiran kami akan segera bertemu jawab dengan disertai bimbingan dari dosen-dosen kami, dosen Pendidikan Sosiologi yang hebat.
Sumber lainnya:
Kian Mengkhawatirkan, Ini Deretan Kasus KDRT Sepanjang 2021
https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/news/indonesia/amp/lia-hutasoit-1/deretan-kasus-kdrt-sepanjang