Santap Karya : Menjadikan Peserta Didik Cukup Pintar untuk Merasa bahwa Dirinya Bodoh

 Menjadikan Peserta Didik Cukup Pintar untuk Merasa bahwa Dirinya Bodoh

Oleh : fairuz akhiarul

Disebuah pagi hari yang indah, cahaya matahari muncul nampak menyilaukan dari arah timur menandakan hari ini belumlah kiamat. Terlihat sebuah gumpalan bulat, besar, putih, empuk, yang sedang terlentang. Sehari-hari hanya ia habiskan untuk tidur dan bermalas-malasan, sesekali ia mengeong ketika merasa lapar. Mencoba menarik perhatian dengan membuat gerakan yang seolah-olah menggemaskan. Hah, tentu saja itu tidak akan berpengaruh padaku! ucapnya dalam hati. 

Terdengar kicauan burung yang bersorak gembira menyambut hari dengan penuh semangat. Nampak sekelompok semut yang sedang kerja bakti, bahu membahu, gotong royong bahkan sebelum jam menunjukan pukul tujuh. Pagi itu turut dihiasi oleh beberapa tanaman yang sudah mulai memasak hidangan lezat yang biasa disantap oleh seluruh mahluk hidup bernama oksigen. Bahkan tuan kaktus yang biasanya berdiam diri sekalipun turut meramaikan suasana pagi itu. 

Sementara alam menikmati pagi hari yang indah, tampak gerombolan-gerombolan hewan mamalia yang menyebut dirinya manusia tengah sibuk untuk menyiapkan harinya. Sebagian dari meraka adalah buruh, budak korporat, beberapa kapitalis, penjilat, pendusta, dan pegawai negara. Tapi itu tidak cukup buruk, beberapa diantaranya bahkan tidak memiliki status yang jelas, beban kerja yang berat, tentu dilengkapi dengan penghasilan yang tidak sepadan, salah satu dari jenis ini bernama guru honorer. Setidaknya begitulah orang-orang memanggilnya. 

Selepas meneguk secangkir kopi hitam yang terhidang panas diatas meja, ia berangkat menuju sekolah, sebuah tempat bagi puluhan bahkan ratusan anak mempelajari ilmu, bertumbuh dewasa, agar dapat menjadi manusia yang siap untuk terjun ke masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 2003. Dalam suasana jalanan pedesaan yang damai dibalut dengan peluk hangat mentari pagi, langkah demi langkah ia menyusuri jalan sebagaimana yang sering dilakukan Rousseau.

Sembari terus melangkahkan kakinya secara bergantian ia terus berpikir. Pagi itu ia terperosok kedalam sebuah lobang kontemplasi yang mengaburkan fokusnya pada jalanan didepan bahkan sapaan dari hembusan angin pun tak ia hiraukan. Sesekali wajahnya terlihat muram, sesekali ia tersenyum berseri-seri, sesekali bahkan tertawa terbahak-bahak selayaknya orang yang tidak waras. Akan tetapi satu hal yang tidak berubah, sedari awal tidak pernah sekalipun tatapannya terlihat kosong. 

Apa itu ilmu? Bagaimana mendapatkannya? Bagaimana memilah dan memilih ilmu apa yang patut ia terima? Bagaimana cara dapat mempraktikannya? Bagaimana cara memastikan suatu ilmu, memang cocok dan layak ia pelajari? Bukankah terkadang terlalu banyak cabang ilmu yang harus dipelajari oleh siswa diantara banyaknya ranting yang tebentuk dari dahan alam, sosial, dan budaya yang menginduk pada sebuah pohon besar, kuat, kokoh, sangat tua namun terus bertumbuh keatas menembus cakrawala kebawah kuat mencengkeram bumi sebagaimana Yggdrasil, kita menyebut pohon itu sebagai filsafat. Lebih lanjut benaknya terus bertanya-tanya.

Mengapa manusia tidak dapat menjadi seperti kucing yag dapat bermalas-malasan seharian tanpa perlu bekerja? Mengapa manusia tidak begitu saja pergi bekerja dari terbit pagi sampai sore sebagaimana burung tanpa perlu pergi bersekolah? Mengapa manusia tidak bergotong royong saja dalam memenuhi kebutuhan pokok selayaknya sebuah koloni semut tanpa memikirkan naik atau turunnya suatu jabatan yang ia peroleh? Atau menghasilkan sesuatu yang berharga tanpa perlu merusak hal berharga lainnya sebagaimana pohon menghasilkan oksigen? Mengapa untuk menjadikan satu orang yang bernilai saja harus melewati berbagai proses rumit nan panjang dengan resiko yang tidak sebanding dan hasil yang tidak menentu? Mungkinkah ada hal yang salah dalam tatanan sosial yang meliputi berbagai aspek kehidupan termasuk ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan pendidikan yang selama ini dijalankannya?

Begitu banyak pertanyaan yang menjangkiti isi kepalanya saat itu, sampai-sampai ia harus berhenti sejenak dan menuliskan semua pertanyaan tersebut untuk dijawab dilain waktu. Ia sadar kemampuan dan waktu yang ia miliki tidaklah cukup untuk menjawab semua pertanyaan itu. Ia penasaran apa yang mendasari keluarnya semua pertanyaan tersebut sampai-sampai sedemikan menyebar tak sanggup ia bendung. Aaah, ternyata akar pertanyaan itu begitu sederhana “apa tujuan seorang guru dalam mendidik anak didikanya? Terlebih, bagaimana caranya agar seorang siswa mendapatkan ilmu yang layak dan memang ia butuhkan dimasa mendatang tanpa mengesampingkan bahkan mengubur minat yang dimilikinya, sementara kurikulum pembelajaran saat ini terlalu luas sekaligus terlalu sempit untuk mengakomodasi hal tersebut?”.

Mari kita berandai-andai, kamu adalah seorang gembala domba. Tugas seorang gembala adalah mengembalakan domba yang tuanmu miliki. Kamu perlu memastikan bahwa domba tersebut keluar dari kandangnya dipagi hari, mendapatkan makanan berupa rumput hijau segar, meminum air segar, dan menghirup udara segar, serta memastikan tidak ada serigala yang akan memangsanya. Tujuannya tentu supaya domba itu menghasilkan susu segar yang berkualitas, atau daging yang lembut, atau bahkan benang wol yang halus.

Sayangnya menjadi seorang pendidik tidak sama seperti gembala domba. Domba tidak memiliki kreatifitas, minat, cara berpikir, cara bersikap, atau bahkan hobi. Tidak seperti siswa di sekolah yang memiliki semua hal diatas, bahkan lebih. Lantas mengapa siswa hanya terus diberikan “rumput” tuan? Padahal di antara siswa-siswa tersebut ada pula yang menginginkan daging, susu, keju, coklat, bahkan nasi padang. Mengapa tuan merasa puas hanya karena siswa-siswa tersebut menghasilkan susu, daging dan wol? Padahal di antara mereka ada yang dapat menghasilkan kulit, tulang, gading, taring, atau bahkan goresan-goresan yang elok yang dapat menggetarkan jiwa orang yang melihatnya. Mereka bukanlah sekawan domba, tuan!

Mereka tidak hidup disebuah peternakan, mereka hidup di tengah hutan dengan tempat, lingkungan, kondisi, situasi, kebutuhan, dan keinginan yang berbeda-beda. Hanya saja kebetulan sang tarzan mengundang mereka untuk berkumpul, bercerita, dan berbagi pengalaman. Maka bukanlah seorang gembala yang mereka butuhkan, karena sedari awal mereka bukanlah gembala untuk digembalakan. Yang mereka butuhkan adalah dukungan supaya mereka dapat terus berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka tanpa malu dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka atau bahkan melupakan identitas mereka.

Katakan pada si ayam, tidak apa untuk tidak dapat berenang seperti si ikan. Katakan pada si monyet untuk tidak merasa sombong hanya karena bisa memanjat sebuah pohon, lihatlah monyet lain yang dapat meloncat dari pohon ke pohon yang sungguh jauh lebih menakjubkan. Katakan pada si gajah jangan merasa paling kuat hanya karena tubuhnya paling besar. Katakan pada si singa kecil jangan merasa sombong hanya karena ayahnya adalah raja hutan, karena itu pencapaian orang tuanya bukan dirinya. Katakan pada si burung untuk tidak takut meloncat dan mencoba terbang untuk yang pertama kalinya, karena ayahmu sang elang pun pernah berada pada posisimu. Dan katakan pada si buaya untuk tidak melulu mengucapkan janji manis, jika akhirnya berniat untuk pergi. 

Mereka harus memahami siapa diri mereka sebenarnya, apa yang dapat mereka lakukan, apa yang tidak perlu mereka lakukan, apa hal penting bagi diri mereka. Kabar baiknya karena siswa di sekolah adalah manusia dan bukanlah spesies khusus seperti hewan-hewan dihutan, mereka memiliki sebuah pilihan yang tidak dimiliki oleh semua hewan di atas. Mereka dapat memilih “mau jadi apa?”. Maka sebagai pendidik yang kita lakukan bukan menunjukan mereka cara berenang, cara berlari, cara terbang, atau cara memanjat pohon. Tapi membangun akal mereka untuk dapat mempelajari dan memilih apa yang mereka kehendaki. 

Hal ini hanya bisa diwujudkan apabila yang dibentuk dan dibangun adalah kerangka berpikir, metodologi, kemampuan beradaptasi, dan keyakinan bahwa mereka dapat terus bertumbuh tanpa mengenal batasan. Akan selalu ada pintu baru yang masih tertutup, ketika pintu sebelumnya berhasil terbuka. Percayalah mereka memiliki cukup akal untuk berpikir, selayaknya akal manusia memang diciptakan untuk melakukan hal itu. Tidak pernah ada satu orangpun yang berhasil menyentuh garis finish, tidak ada yang namanya akhir, ini adalah sebuah permainan yang dirancang bukan untuk ditamatkan, akan tetapi untuk menguji sejauh mana seseorang dapat bertahan dan terus melanjutkan perjalanannya. Permainan ini tidak akan berakhir sampai dengan tahap 100 atau 1000 atau 10.000 atau berapapum jumlah angka yang dapat dibayangkan. 

Kerangka berpikir siswa sangat penting untuk dibentuk sebaik mungkin, bukan hanya memerintahkan menghafal rumus, menghafal sejarah, menghafal struktur otak manusia, tapi justru hal-hal mendasar yang perlu dibentuk dan diperkuat. Sebelum siswa memutuskan untuk membangun TH, elixir, atau tembok terlebih dahulu ia harus memahami fungsi dasar dari bangunan-bangunan tersebut.

Tidak lupa untuk memberikan akses terhadap cheat yang dapat mereka gunakan untuk mempermudah permainan ini. Cheat tersebut diberin nama “buku”. Benar, buku adalah sebuah cheat dalam kehidupan, bagaimana tidak. Seseorang dapat mempelajari sesuatu tanpa perlu merasakan terlebih dahulu sesuatu tersebut. Seseorang dapat berpindah dimensi baik ke masa lalu maupun masa depan hanya dengan sebuah buku. Seseorang dapat memahami cara mudah menaklukan bos di level 99 sementara ia masih berada di level 70. Semakin banyak buku yang ia baca, maka semakin banyak pula cheat yang ia dapatkan. 

Tentunya hal ini tidak hanya berlaku bagi peserta didik, akan tetapi juga bagi sang guru. Karena biar bagaimanapun sejatinya kita adalah siswa, sang pembelajar yang tidak akan dan memang tidak layak untuk merasa puas akan pencapain yang sudah didapatkan, akan ilmu yang sudah dipelajari, dan akan pengalaman yang telah dilewati. Semuanya harus didasarkan pada kesadaran yang tersusun dan terstruktur bukan pada kebiasaan semata. 

Maka sampai dengan tahap manakah seorang peserta didik dapat dikatakan cakap, mumpuni, atau bahkan pintar? Tentu bukan saat ia mampu naik kelas, mendapat nilai 100, atau mempresentasikan materi di depan kelas. Namun, justru ketika ia merasa bahwa dirinya merasa masihlah bodoh dan tidak mengetahui apapun. "Aku tahu bahwa aku tidak mengetahui apa pun" demikian tulis Plato sebagaimana yang dikatakan oleh Socrates. Sehingga dengan demikian dapat mendorong siswa untuk terus mempelajari hal baru. 

Pada satu titik ia terhenti dari lamunannya, akhirnya ia dapat sedikit lebih memahami apa makna pendidikan dan apa yang harus ia lakukan sebagai seorang guru. Walaupun hanya sedikit, setidaknya sekarang ia telah menjawab satu dari sekian banyak pertanyaan yang masih ia simpan. Sesampainya di depan sebuah gerbang sekolah. Anehnya gerbang itu nampak tertutup, sepi, tanpa penjagaan. Bahkan tukang dagang yang biasa berkumpul di sekolah pun tidak tampak pada pagi itu. Sampai akhirnya dia menyadari ternyata itu adalah hari minggu.