Oleh : Annisa Fadhilah
Pelecehan seksual terhadap seorang perempuan merupakan fenomena sosial yang sulit dikendalikan. Bahkan era globalisasi dan modernisasi semakin mempermudah seseorang untuk melakukan tindakan pelecehan seksual kepada perempuan, baik secara verbal maupun nonverbal. Oknum yang tidak bertanggungjawab biasanya menjadikan perempuan sebagai objek keindahan atau hiburan semata tanpa memaknai seorang perempuan sebagai manusia dengan pikiran, perilaku yang bermoral serta memiliki hak asasi manusia. Perempuan juga dianggap sebagai “aset berharga”, salah satunya sebagai akar dari keberlangsungan suatu zaman dengan melahirkan anak-anak yang cerdas dan berkualitas. Namun, anggapan tersebut tidak menjadi landasan untuk lebih menghargai perempuan. Tidak hanya sekedar pandangan dan kodrat perempuan untuk melahirkan, tetapi perempuan juga memiliki hak untuk berkontribusi dalam ruang lingkup masyarakat yang luas. Dengan banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap wanita menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mampu menghargai perempuan sebagai seorang manusia. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2020, sebanyak 431.479 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019 di Indonesia dan merupakan peningkatan sebanyak 6% dari tahun sebelumnya yang menyentuh 406.178 kasus.
Apa itu Victim Blaming?
Pada beberapa kasus kekerasan dan pelecehan seksual, ada banyak pelaku beserta masyarakat yang melakukan tindakan victim blaming untuk membuat dirinya merasa aman dengan menyalahkan korban. Victim blaming merupakan perilaku seseorang atau kelompok yang menyalahkan korban kekerasan dan pelecehan seksual. Dalam fenomena sosial ini paling banyak dialami oleh perempuan sebagai korban kekerasan dan pelecehan seksual. Victim blaming biasanya dilakukan oleh pelaku tindakan pelecehan seksual itu sendiri maupun masyarakat yang tidak terkait. Pelaku kekerasan dan pelecehan seksual biasanya tidak ingin disalahkan sehingga ia menyalahkan korban atas tindakan amoral tersebut. Victim blaming ini juga menjadi istilah untuk seseorang yang menjadi korban dan harus bertanggungjawab sendiri atas kejadian buruk yang terjadi pada dirinya. Hal ini terjadi dibanyak kasus, namun lebih sering terjadi pada kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Menurut Barbara Gilin, profesor pekerjaan sosial di Universitas Widener yang dikutip oleh orami.co.id menyatakan bahwa ada penjelasan psikologis di balik fenomena victim blaming. Kebanyakan orang menyalahkan korban, karena mereka ingin merasa aman sendiri. Mereka merasa ketika melakukan victim blaming, tidak ada yang mengecap mereka sebagai pelaku kekerasan dan pelecehan seksual.
Alasan Perilaku Victim Blaming
Fenomena victim blaming juga dapat terjadi karena sebagian masyarakat yang tidak peduli mengenai kronologi kejadian perihal kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di sekitar mereka. Korban biasanya akan menjadi fokus perhatian masyarakat dalam menanggapi kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Selain itu, perilaku menyalahkan korban dianggap sebagai bentuk tidak ingin disalahkan dalam tindakan amoral yang di lakukannya. Masyarakat yang tidak peduli pada kronologi dan melakukan tindakan victim blaming ini juga didasari agar pikiran dan perasaan bahwa mereka aman. Rasa aman ini menyatakan secara tidak langsung bahwa masyarakat menyangkal ada kasus tindakan atau perilaku menyimpang disekitarnya.
Alasan lainnya yang digunakan oleh pelaku kekerasan dan pelecehan seksual yaitu mereka beranggapan bahwa tidak ada orang yang ingin merugikan atau mencelakakan orang lain, jika bukan dipicu oleh korban itu sendiri. Contohnya dalam sebuah kasus pemerkosaan. Orang yang victim blaming akan menyalahkan pakaian korban saat peristiwa terjadi atau mencari kondisi lain yang menunjukkan bahwa korban bersalah. Misalnya, perempuan tersebut pulang malam sendirian dengan pakaian yang pendek atau terbuka. Contoh lainnya yang sering ditemukan pada kasus pelecehan seksual di media sosial adalah pelaku menyalahkan postingan korban yang memakai pakaian terbuka saat liburan di pantai. Adapula kasus pemerkosaan, pelaku kekerasan dan pelecehan seksual pada kasus ini melakukan tindakan victim blaming dengan cara mengeluarkan kalimat pembelaan seperti, “Tapi, kamu juga menikmatinya kan?” “Kok nggak teriak atau melawan?”.
Menurut hellosehat.com, sensasi kelumpuhan sementara yang terjadi pada korban pemerkosaan dikenal dengan istilah tonic immobility. Reaksi fisik ini sangat mirip dengan reaksi seekor hewan mangsa yang diserang oleh predator dan ternyata manusia bisa merasakan reaksi yang sama. Jadi, hal ini bukan karena korban “mengizinkan” tetapi ketika dalam situasi menegangkan, seseorang dapat kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Dampak dan Tindakan
Korban yang mengalami tindakan victim blaming, baik dari pelaku pelecehan seksual maupun masyarakat luas cenderung akan merasa bahwa kekerasan dan pelecehan seksual yang dialaminya adalah suatu aib sehingga korban menjadi enggan melaporkannya kepada pihak berwajib dan memilih untuk menyimpannya sendiri sehingga menjadi trauma dan depresi. Korban yang mengalami trauma dan depresi ini akan memiliki pikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri karena merasa tidak ada dukungan dari lingkungannya.
Tindakan yang dapat dilakukan oleh orang-orang terdekat yang berada dalam lingkungan korban adalah dengan memberikan dukungan dan semangat kepada korban. Sebaiknya juga tidak berkomentar mengenai hal-hal buruk soal kejadian tersebut agar tidak memunculkan kembali trauma korban. Masyarakat perlu mulai memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa ketika ada tindakan kekerasan dan pelecehan seksual, dalam hal ini yang terjadi pada perempuan, maka tidak boleh menjadikan korban sebagai pusat perhatian dalam kasus tersebut. Masyarakat akan lebih baik memberikan dukungan kepada korban serta mencari tahu kronologi kejadian terlebih dahulu untuk mencegah tindakan victim blaming hingga merugikan korban.
Untuk itu, kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai bentuk menghargai perempuan sebagai manusia yang layak mendapatkan perilaku baik dari lingkungannya dan mendapatkan hak asasi manusia secara menyeluruh, baik yang mengalami pelecehan seksual maupun tidak yaitu dengan cara berhenti menyalahkan korban atau melakukan tindakan victim blaming, terlebih lagi ketika tidak mengetahui kronologi kejadian secara mendalam karena hal tersebut dapat menyebabkan ketakutan dan trauma luar biasa kepada korban kekerasan dan pelecehan seksual.