KETIKA KAMPUS MENJADI SARANG TIKUS BERDASI

KETIKA KAMPUS MENJADI SARANG TIKUS BERDASI

Oleh : Ai Nurul Fahmi


Baru-baru ini, sebuah berita mengejutkan datang dari lembaga pendidikan tinggi. Prof. Karomani yang merupakan rektor dari Universitas Negeri Lampung tertangkap tangan oleh KPK atas dugaan suap Penerimaan Mahasiswa Baru jalur Seleksi Mandiri tahun 2022. Dilansir dari laman Kompas.com (23/08/2022), Karomani bersama dengan tiga orang lainnya yaitu Heryandi (Wakil Rektor I Bidang Akademik), Budi Sutomo (Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat), dan Muhammad Basri (Ketua Senat) mengatur sendiri mekanisme pelaksanaan seleksi mandiri dengan jual beli kursi mahasiswa senilai 150 juta hingga 350 juta rupiah. Nominal tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pelaku dengan keluarga mahasiswa baru yang langsung digelontorkan ke rekening pribadi.

Kasus di atas merupakan bukti dari lemahnya pengawasan internal di lingkungan kampus. Hal ini perlu dibenahi oleh setiap kampus di Indonesia agar tidak terjadi kasus serupa yang sangat mengecewakan. Kampus yang seharusnya menjadi media bagi penanaman nilai-nilai anti korupsi kepada mahasiswa, justru dilakukan sendiri oleh pimpinan perguruan tinggi terkait. Kredibilitas dan akuntabilitas sebuah lembaga perguruan tinggi malah dilunturkan oleh komponen penyelenggaranya sendiri. Ini baru satu kasus yang terungkap. Ke depannya pihak Kemendikbudristek akan terus melakukan investigasi terhadap seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berfokus pada sistem seleksi jalur mandiri. 

Praktik suap menyuap di lingkungan pendidikan sudah bukan merupakan rahasia umum lagi. Terlebih pada penerimaan mahasiswa baru jalur seleksi mandiri yang mana berdasarkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 90 Tahun 2017 Pasal 3 Ayat 2 menyatakan bahwa “PTN dapat melakukan seleksi mandiri yang diatur dan ditetapkan oleh masing-masing PTN”. Dengan adanya kewenangan ini terkadang dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan sejumlah kecurangan demi keuntungan pribadi. Meskipun dalam peraturan menteri sendiri sudah tercantum dengan jelas bahwa Penerimaan Mahasiswa Baru harus dilaksanakan dengan prinsip adil, akuntabel, dan transparan.

Korupsi yang dilakukan oleh petinggi perguruan tinggi berdasarkan GONE Theory yang diilustrasikan oleh Jack Bologne (2006) termasuk ke dalam korupsi karena kerakusan/ketamakan atau dalam istilahnya disebut corruption by greed. Perilaku korupsi ini juga terjadi karena adanya peluang (opportunity) dan kebutuhan mental (needs) yang tidak pernah merasa cukup sehingga berani melakukan berbagai cara demi tercapainya kepuasan pribadi. Faktor-faktor tersebut bisa dialami oleh siapapun, tidak terkecuali oleh orang yang berpendidikan sekalipun. 

Kompleksnya permasalahan korupsi di Indonesia membuat kita sulit untuk menemukan benang merah dari permasalahan tersebut. Sekalipun sudah dibentuk KPK dan aparat penegak hukum tidak lantas membuat para pelaku korupsi jera. Justru para pelaku ini seolah difasilitasi dengan manajemen yang terstruktur dan rapi sehingga tidak mudah tercium oleh aparat penegak hukum maupun KPK. Namun, sepandai-pandainya orang menyembunyikan kejahatan, suatu saat akan tetap terbongkar juga.

Dalam mewujudkan birokrasi dan sistem pendidikan yang bersih dari korupsi di lingkungan kampus, pihak Kemendikbudristek perlu mengandalkan strategi yang preventif, investigatif, dan edukatif yang mampu terhubung ke berbagai elemen kampus. Tindakan korupsi sekecil apapun harus dikupas tuntas secara tegas tanpa pandang bulu. Selain itu, pendidikan anti korupsi juga perlu disisipkan di setiap mata kuliah agar mahasiswa semakin paham dan sadar akan bahayanya korupsi terhadap sistem sosial, sistem politik, sistem hukum, dan sistem ekonomi di Indonesia.

Selain dari strategi yang telah dipaparkan di atas, hal utama yang paling fundamental sebenarnya adalah penguatan etika akademik yang harus terintegritas dalam diri setiap pimpinan perguruan tinggi, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Hal ini karena etika akademik seperti bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi moral dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, menjadi teladan, dan ketentuan umum lainnya seringkali disepelekan. Maka dari itu, perlu adanya sebuah sistem yang dapat memastikan bahwa semua pihak yang ada di perguruan tinggi mampu mengamalkan etika akademik tersebut.